Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Awas, Rambu-Rambu Baru

Undang-undang unjuk rasa lahir pekan depan. Kuat terkesan, perangkat peraturan tentang hak-hak menyatakan pendapat itu dibuat terburu-buru.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA aktivis prodemokrasi tampaknya harus lebih piawai mengatur langkah mereka sebelum berunjuk rasa. Rambu-rambu unjuk rasa, yang merupakan tata tertib baru, tak lama lagi akan diberlakukan. Rancangan undang-undang itu kini memang masih digodok di DPR, di bawah nama "Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum". Namun, tak mustahil, pada Kamis pekan depan, DPR mengesahkannya menjadi undang-undang. Sekarang saja, pembahasan seputar rancangan undang-undang tersebut dikebut cepat. Prosesnya dipersingkat. Setelah keterangan pemerintah, pada Jumat dua pekan lalu, pembahasannya dilangsungkan ke tingkat tiga berupa rapat Komisi I. Dengan demikian, proses tingkat kedua, yakni pandangan umum fraksi-fraksi di DPR, ditiadakan. Menurut Wakil Ketua DPR Hari Sabarno dan Ny. Farida S. Chadaria dari Fraksi Karya Pembangunan, proses singkat itu sesuai dengan peraturan tata tertib DPR dan sudah diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR. Sebetulnya, kesepakatan proses singkat itu diketuk sewaktu berlangsung silaturahmi antara pemerintah dan DPR di Wisma Ahmad Yani, Jalan Diponegoro, Jakarta, pada Senin malam, 28 September lalu. Waktu itu, karena pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Unjuk Rasa di DPR terasa alot, ditempuhlah jalan tengah. Caranya, pemerintah akan menarik Perpu dari DPR--dilakukan Selasa esoknya--tapi menggantikannya dengan rancangan undang-undang. Karena materinya serupa, pemerintah meminta agar rancangan undang-undang itu langsung dibahas pada tingkat tiga. Beberapa anggota DPR beranggapan proses pembahasan singkat itu tak prinsipil. "Itu cuma soal teknis prosedur," ujar Farida S. Chadaria. Dia mengaku pernah mengalami pembahasan singkat untuk Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya pada 1993 dan Pengadilan Tata Usaha Negara di Dili pada 1997. Pembahasanya sendiri, menurut Farida, tetap intensif dan substansial, sebagaimana lazimnya proses penyusunan undang-undang di DPR. Contohnya, menurut Ketua Komisi I Aisyah Amini, soal lembaga perizinan untuk unjuk rasa diulas secara serius dan fraksi-fraksi menyepakati untuk menghapuskannya. Jadi, unjuk rasa hanya perlu pemberitahuan ke polisi. Ketentuan jumlah maksimal demonstran sebanyak 100 orang juga bisa fleksibel. Artinya, bisa lebih dari 100 orang. Yang penting, setiap 100 orang pengunjuk rasa ada penanggung jawabnya. Maksudnya, agar demonstrasi tak sulit diawasi polisi. "Intinya, demonstrasi merupakan hak masyarakat. Namun, demonstrasi harus berjalan dengan baik, tanpa mengganggu kepentingan orang lain," kata Aisyah. Sepintas, alasan para wakil rakyat itu sangat masuk akal. Tapi benarkah jumlah demonstran yang 100 orang itu bisa fleksibel? Adakah ayat yang menjamin fleksibilitasnya? Proses kelahiran Undang-Undang Unjuk Rasa yang dipercepat itu sendiri sulit dimungkiri. Padahal, dengan tenggang waktu tiga minggu, sejak 2 Oktober sampai 22 Oktober 1998, agak susah untuk mengakomodasi tanggapan masyarakat di luar DPR--terutama kalangan prodemokrasi--tentang aturan yang menyangkut kebebasan berpendapat itu. Adakah fenomena itu bisa ditafsirkan sebagai kerasnya sikap pemerintah dalam menangani demonstrasi? Atau karena perkembangan kondisi dan situasi mengharuskan demikian? Yang jelas, mulai 23 Oktober sampai 6 November 1998, DPR akan reses. Dan, selama tiga hari sejak 10 November 1998, MPR akan menggelar sidang istimewa. Bisa saja, sebagai upaya mengantisipasi reaksi masyarakat terhadap sidang tersebut, pemerintah buru-buru mematok rambunya. Dalam pandangan Menteri Muladi, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Unjuk Rasa tergolong normal saja. "Nggak terburu-buru dong," ucap Koordinator Tim Pakar Departemen Kehakiman, Dr. Romli Atmasasmita. Diingatkannya, penyusunan aturan unjuk rasa itu sudah dirintis sejak 1993 oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet. Hp. S., Agus S. Riyanto, dan Arief A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus