Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA memungut koran di depan pintu rumahnya, Rabu pekan lalu, Sri Winarsih menemukan amplop berwarna cokelat. Di dalamnya sepucuk surat: perempuan 33 tahun itu diminta hadir ke ruang 304 Gedung Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI pada 12 April. ”Saya tersangka penipuan dan penggelapan,” kata ibu dua anak itu.
Di koran yang dibacanya pagi itu ada berita: ”Kantor SBY diancam dibom, peneror tuntut Kapolri mundur.” Sri Winarsih tiba-tiba mendapat ide, mengirim pesan pendek ke nomor 1717 milik Polri. ”Saya tulis, keluarga Presiden SBY pencuri, sebentar lagi Mabes Polri meledak,” katanya.
Pesan Sri bersambut: ”Silakan Saudara berhati-hati dan jangan menebar teror berakibat meresahkan masyarakat, kami akan melacak nomor Anda.” Sri menjawab, ”Lacak dan tangkap saja saya di Perumahan Permata Sari, Jalan Taman Nilam 1 B5 Nomor 2, Bekasi. Saya tunggu.”
Tim Gegana kemudian menyisir Mar-kas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hasilnya nihil. ”Saya memang tak mengirim bom. Kasus sayalah yang bakal meledak di Mabes Polri,” kata perempuan yang akrab disapa Wita itu. Kasus?
Syahdan awal Januari lalu, Wita melaporkan dua pejabat Bea-Cukai Tanjung Priok, yang dituduh telah menipunya, ke Mabes Polri. ”Tapi tak digubris polisi,” katanya. Padahal, menurut Wita, pejabat itu telah menyuruhnya menjual empat kontainer tekstil sitaan. ”Tapi ternyata barang itu tak bisa dikeluarkan,” katanya. Padahal calon pembeli telah menyetorkan Rp 400 juta.
”Saya broker,” Wita bercerita. ”Saya sepuluh tahun berbisnis di Pelabuhan Tanjung Priok.” Di PT Seta Sentral Sejahtera, dia tercatat sebagai direktur utama. Tapi lain kali dia mengaku wartawan pula. ”Saya adalah pemimpin perusahaan Tabloid Hukum dan Kriminalitas,” katanya.
Di arsip Pelindo II, Tanjung Priok, Wita tercatat beraliansi dengan 10 LSM buruh di pelabuhan. Beberapa kali dia ikut berdemonstrasi menolak Undang-Undang Kepabeanan. Wita mengatakan ”jabatan”-nya yang macam-macam itu membuat dia mudah berhubungan dengan para pejabat Bea-Cukai. ”Tapi saya tak memeras,” katanya.
Dia menyebut nama Sutejo, sahabatnya sejak delapan tahun lalu, ketika menjabat Kepala Seksi Pencegahan Bea-Cukai Tanjung Priok. Begitu juga dengan beberapa anak buah Sutejo, di antaranya Rahargo. Itulah sebabnya banyak urusan bisnisnya berjalan mulus.
Menurut catatan kantor Bea-Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Desember 2005, PT Seta Sentral mengimpor empat kontainer pakaian dari Ko-rea Selatan. Kontainer itu diangkut dengan KM Buxhill Voy 5115. ”Itu barang pesanan,” kata Wita tanpa mengungkap identitas pemesan.
Waktu itu barang impornya belum sempat dikenai bea masuk karena Seta Sentral mengajukan reekspor tekstil tersebut ke Singapura pada 1 Agustus 2006. ”Alasannya tak sesuai pesanan,” kata Agus Purnadi, Kepala Seksi Pencegahan Bea-Cukai Tanjung Priok. ”Nyatanya, tekstil itu tersimpan di Bea-Cukai Tanjung Priok.”
Belakangan Wita bersepakat dengan Sutejo dan Rahargo untuk menjual teks-til itu. ”Karena tak ada duit operasio-nal, mereka meminjamkan Rp 100 juta,” kata Wita. ”Merekalah yang mengenalkan saya dengan calon pembeli, Ibu Citra Indra Sonata,” ia menambahkan.
Wita dan Citra sepakat pada angka Rp 1,25 miliar, yang tertuang dalam surat perjanjian jual-beli bertanggal 14 September 2006. Sebagai panjar, Citra menyerahkan uang Rp 400 juta.
Ternyata tekstil tak bisa dikeluarkan. Karena itu, Citra melaporkan Wita ke Mabes Polri pada 11 Desember 2006. Tuduhannya penipuan dan penggelapan. Wita, yang merasa terpojok, akhirnya melaporkan Sutejo dan Rahargo ke Mabes Polri pada Januari lalu. ”Merekalah yang sesungguhnya menipu saya,” katanya.
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri belum tahu perkembangan penyidikan kasus yang dilaporkan Wita itu. ”Saya akan mempelajari kasusnya dulu,” kata Bambang.
Direktorat Penyidikan dan Pencegahan Bea-Cukai sudah turun ke Tanjung Priok, bulan lalu. Sutejo dan Rahargo dipanggil dan diperiksa oleh Bea-Cukai pusat. Namun sejauh ini mereka masih dianggap belum bersalah. Sutejo memang sudah dimutasikan, tapi jabatannya tak turun. Dia kini Kepala Bidang Pencegahan dan Penyidikan di Bea-Cukai Gedebage, Bandung.
Agus, pengganti Sutejo, menampik tuduhan Wita. Ia mengaku sudah melihat empat kontainer yang bermuatan 34 ton tekstil itu. ”Kalau bermasalah, tak mungkin Sutejo berada di jabatan itu lagi,” kata Agus. Sedangkan Rahargo masih di Tanjung Priok, menjadi anak buah Agus.
Menurut dugaan Agus, yang bermasalah justru PT Seta Sentral. ”Dia tak bisa memenuhi persyaratan impor,” katanya. Persyaratan yang dimaksud meliputi laporan surveyor dari negara asal, mendapat izin khusus untuk mengimpor tekstil dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta membayar bea masuk. ”Dia belum punya izin itu,” kata Agus.
Dalam catatan Bea-Cukai, bukan kali ini saja Wita bermasalah. Pada Maret tahun lalu, ia berusaha mengeluarkan enam kontainer tekstil yang juga berasal dari Korea Selatan. Tekstil itu disita karena dokumennya palsu. ”Upayanya gagal,” kata seorang petugas. Dia melihat Wita memprotes sambil membawa kamera video dan merekamnya. ”Entah untuk apa.”
Kasus Wita ini ternyata dianggap sepele oleh para ”pemain” pelabuhan. ”Ah, kasus seperti itu hampir tiap hari di sini, cuma enggak muncul saja,” kata satu sumber Tempo. ”Mobil mewah impor yang di dokumennya disebut mebel saja bisa dikeluarkan, kok,” ia menambahkan.
Dia percaya Wita juga tak akan berani sesumbar jika bukan ”pemain” pelabuhan. Wita kini menunggu panggilan polisi, menyangkut ancamannya ke 1717. Dia mengakui, tujuannya mengirim pesan pendek itu cuma agar kasusnya mendapat perhatian. Jadinya malah tambah repot.
Nurlis E. Meuko, Ibnu Rusydi, Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo