Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djoko Susilo*
BOROS, suka ngutang, konsumtif, dan berbelanja tanpa rencana, itulah yang kerap dilakukan pemerintah dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista). Duit cekak dan anggaran mepet bukan halangan bagi pemerintah untuk boros. Persenjataan didatangkan dari ratusan negara yang mengakibatkan manajemen senjata dan tetek-bengeknya jadi rumit dan tidak efisien.
Analogikan saja tentara kita dan perusahaan angkutan umum. Jika perusahaan itu mempunyai ratusan kendaraan dari pelbagai pemasok, bayangkan bagaimana sulitnya mendatangkan suku cadang dan memilih bengkel.
Keputusan pembelian senjata kita masih sering didorong oleh rayuan pemasok dan bukan karena pertimbangan ra-sional. Tidak jarang pula selera pimpinan unit organisasi mempengaruhi keputusan membeli. Akibatnya, ganti pimpinan, ganti senjata.
Ambil contoh rencana pengadaan empat kapal korvet sigma class dari Belanda. Rencana ini sempat akan dianulir dan diganti dengan rencana membeli kapal dari Rusia. Untung, Menteri Pertahanan menolak sehingga rencana pengadaan kapal korvet tidak jadi diubah.
Majalah Tempo beberapa pekan lalu melaporkan kekisruhan pengadaan Heli Mi-2 yang sudah empat tahun tidak tuntas. Bukan saja program pembelian 16 heli gagal diselesaikan, rekanan yang menerima uang muka US$ 1,676 juta kabur tak tentu rimbanya. Dua heli yang sudah dikirim dan kini berada di Surabaya kondisinya tidak brand new and good condition—sesuatu yang diamanatkan kontrak antara Mill Rostov sebagai penjual dan TNI AL sebagai pembeli. Anehnya, TNI AL tidak menjatuhkan sanksi yang berarti kepada Mill Rostov kecuali, kabarnya, perusahaan itu dicoret dari daftar rekanan TNI AL.
Kasus serupa pernah juga terjadi dan diusut Komisi I DPR periode 1999–2004 dengan membentuk panitia kerja. Waktu itu TNI AD gagal membeli heli Mi-17 meskipun pemerintah sudah membayar uang muka US$ 3,2 juta. Dari investigasi DPR ternyata banyak prosedur yang dilanggar: penunjukan pemenang tender yang ganjil dan garansi bank yang bodong.
DPR pernah mempersoalkan mengapa, meski pemenang tender adalah PT Putra Pobiagan Mandiri, yang menjalankan adalah Swifth Air International. Berdasar pelacakan Panitia Kerja DPR, terungkap bahwa Swifth Air hanya perusahaan di atas kertas dengan kantor di Singapura berupa gudang. Bahkan Altarig Bhd., yang digandeng sebagai penyandang dana, alamatnya di Jalan Rebana, Johor, Malaysia, ternyata toko alat pancing.
Jika kepada Departemen Pertahanan ditanyakan soal ”kontrak aneh” semacam ini, jawabnya umumnya seragam: semua sudah sesuai dengan prosedur. Memang, urusan kontrak, tender, dan penunjukan rekanan adalah wewenang pemerintah. Sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan, hak melakukan pengadaan alat utama sistem senjata ada di tangan Menteri Pertahanan. Namun, dalam prakteknya, pengadaan ini kerap didelegasikan ke unit organisasi baik Angkatan maupun Markas Besar TNI.
Kerugian negara dalam pengadaan senjata sebetulnya bisa dicegah jika prosedur tidak dijadikan formalitas belaka. Dalam kasus Mi-17, misalnya, syarat baku pengadaan adalah adanya garansi bank dari bank pemerintah. Namun, garansi bank yang diberikan adalah dari Bank Yudha Bhakti, bank swasta yang ternyata berkantong kempis. Ketika uang negara sudah keluar dan heli tidak terkirim, pemerintah hanya bisa melongo.
Kejelian dan ketelitian kadang tidak diperhatikan pemerintah. Dalam kasus heli Mi-2, sangat mengherankan TNI AL tidak tahu bahwa heli itu tidak diproduksi lagi di Rusia. Bukankah atase pertahanan kita Di rusia bisa mengecek? Bukankah hal semacam ini bisa diketahui hanya dengan membuka internet, bahwa kini produsen heli Mi-2 adalah PZL Swidnik Polandia?
Belum lama ini Departemen Pertahanan memesan pesawat UAV (tanpa awak) buatan Israel lewat pabrik mi Kittal Corporation yang bermarkas di Manila, Filipina. Ketika diprotes, Menteri Pertahanan menjawab enteng: kami sudah menjalankan prosedur. Jawaban yang buat saya teramat menggelikan.
*Anggota Komisi I DPR RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo