Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gumilar Rusliwa Somantri*
TOPIK kemiskinan tak putus-putusnya menjadi pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Ini karena kita semua terus asyik bersolek dengan narasi-narasi besar sebagai utopi ”negatif”, yang dibangun dari teori, opini publik, dan commonsense.
Akibatnya, kita menjadi ”tumpul” dalam memahami dan menangani kemiskinan. Gejala ini kami rangkum dengan frasa ”delusion of grandeur”, atau ”khayalan kemegahan”, yang membuat kita lupa memulai langkah pertama menuju Indonesia Baru ”bebas” kemiskinan.
Sebetulnya, ilmu-ilmu sosial turut memberikan kontribusi pada lahirnya gejala di atas. Banyak hasil kajian dan teori mengenai kemiskinan bermunculan dan menjadi resep sui-generis setengah keramat. Bahkan hasil kajian dan teori menjadi perisai konseptual yang kebal terhadap falsifikasi. Pada titik itulah kita telah menjadi tawanan utopi ”negatif”.
Contoh menarik adalah tradisi besar dalam ilmu sosial bernama Marxisme. ”Tradisi” tersebut dibangun dari teori tertutup pada falsifikasi. Ia selalu menyediakan jawaban dari ”dalam” untuk menanggapi kegagalan di tataran empiris. Jargon delusif mereka adalah ”tidak ada yang tidak dapat dijelaskan oleh Marxisme”. Padahal itulah lon-ceng kematiannya sendiri, yang telah menguburnya di jeram mistifikasi.
Apa yang harus dilakukan ilmu-ilmu sosial, dengan mengambil pelajaran dari kasus ”kematian” Marxisme, adalah menjalankan tiga langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan ”indigenisasi” teori-teori, yaitu merumuskan preskripsi spesifik agar relevan dan tepat guna untuk konteks masalah tertentu. Kedua, menjadikan teori-teori terbuka pada falsifikasi. Persinggungan teori dengan aneka konteks empiris menempatkannya dalam wujud tentative theory yang produktif dan setiap saat dapat diperbaiki melalui pengujian. Ketiga, membuka diri pada konvergensi teori dan ilmu, sehingga mampu melihat persoalan sebagai bagian dari sebuah konfigurasi permasalahan lebih luas. Inilah yang dinamai reformed social science. Ilmu sosial semacam ini lebih menjanjikan untuk menjawab kompleksitas persoalan bangsa.
Sebagai contoh, De Soto (2001) dalam The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumph in the West and Fails Elsewhere menyoroti pentingnya legalisasi aset ”mati” orang miskin dalam rangka membuka akses positif mereka pada praktek kehidupan kapitalistik. Sedangkan Yunus (2003), dalam Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle Against World Poverty, menekankan pentingnya modal sosial perempuan dalam struktur ekonomi rumah tangga yang mampu menjadi motor perbaikan ekonomi di tengah gegap-gempita kapitalisme.
Kedua pemikiran di atas telah memukau banyak kala-ngan di Tanah Air, seperti para pengambil kebijakan, penggiat civil society, dan ilmuwan. Ada kecenderungan menjadikannya sebagai ”grandeur” yang menyilaukan pandangan atas realitas khas kemiskinan di Indonesia. Teori dan pengalaman De Soto dan Yunus yang terbukti sukses untuk konteks masyarakat tertentu lalu menjadi utopi yang hendak diterapkan tanpa refleksi di Indonesia. ”Kemiskinan refleksi” itu terjadi karena tidak ditempatkannya teori-teori tadi dalam bingkai reformed social science.
Selain teori-teori dalam ilmu sosial, yang berkontribusi pada berkembangnya ”delusion of grandeur” adalah pemahaman ilusif kita sendiri atas realitas. Meminjam pemikiran nihilistik Nietzsche (Michael Payne, 1996) tentang kritik rasionalisme, humanisme, dan saintisme Barat, narasi menggiring kita pada ceruk kehampaan, ”goes for nothing”. Misalnya romantisisme kebangsaan berupa utopi masyarakat adil-makmur-loh jinawi dikaitkan dengan suatu fase tertentu dalam sejarah. Khayalan tentang kemegahan tersebut menjadi candu pengalihan masalah, seperti kemiskinan, secara gampang, sesaat, tapi menyisakan akumulasi persoalan.
Contoh lain adalah euforia demokrasi. Sebenarnya ”nothing wrong” dengan demokrasi itu sendiri. Namun, euforia yang berlebihan telah menempatkan demokrasi dalam ruang mimpi yang identik dengan kesejahteraan. Demokrasi seakan langsung menciptakan rasa keadilan, pemerataan, dan kebahagiaan. Padahal demokrasi adalah alat untuk mencapai kesejahteraan, bukan kesejahteraan itu sendiri.
Demokrasi adalah sebuah perjuangan panjang, sebuah utopi positif yang harus dikonstruksi dan dijalankan hari demi hari dalam masyarakat yang senantiasa berubah. Demokrasi mesti dijalankan, bukan dipikirkan. Untuk itu, demokrasi mesti bisa menjawab dengan putusan tepat untuk mengatasi persoalan dinamis yang sedang berjalan, yang dalam kenyataannya malah sering lamban dalam mencapai konsensus.
”Delusion of grandeur” lain yang menghinggapi masyarakat kita adalah pra-anggapan ”modal sosial” sebagai hal ”terberi” (given). Ada ilusi di kalangan kita semua tentang realitas di tingkat mikro. Sebagai contoh, kita yakin bahwa kepercayaan (trust), nilai-nilai (values), dan jaringan, sebagai indikator dari modal sosial, bersifat telah tersedia dan ”mengada”.
Berangkat dari sana, kita mengatakan bahwa masyarakat mempunyai karakter suka bergotong-royong, guyub, damai, serta penuh harmoni. Padahal, di tataran kenyataan, egoisme merebak, persaingan tidak sehat menjadi umum, letupan konflik muncul bertubi-tubi, serta disharmoni terjadi di mana-mana. Modal sosial, yang penting bagi orang miskin dalam bertahan hidup dan mengembangkan diri di tengah kepungan kapitalisme, sebenarnya bersifat constructed.
”Delusion of grandeur” di atas, baik yang berasal dari teori-teori ilmu sosial maupun ilusi tentang fakta, telah menyisakan akumulasi masalah kemiskinan yang ironis. Sebagai contoh, jumlah penduduk miskin pada 1970 tercatat 70 juta jiwa atau 60 persen dari semua penduduk Indonesia. Pada 1996, angka itu menurun cukup tajam menjadi sekitar 22,5 juta jiwa atau 11,3 persen dari total jumlah penduduk. Namun, di awal 2000, jumlah penduduk miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa (24,2 persen total penduduk).
Data terakhir yang dilansir Bank Dunia, dengan menggunakan indikator kemiskinan moderat, yaitu pendapatan kurang dari US$ 2 per hari, mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 49 persen atau separuh total jumlah penduduk (The World Bank, Making the New Indonesia Work for the Poor, 2006). Ditinjau dari sudut sebaran wilayah, angka kemiskinan di perkotaan sekitar 39 persen dan tingkat kemiskinan di pedesaan sekitar 53 persen.
Pada 2004, misalnya, dalam angka sangat konservatif, sekitar 1,5 juta balita di Indonesia menderita busung lapar dan 3,6 juta balita menderita kurang gizi. Pada 2005, 1,67 juta anak balita (8 persen) menderita busung lapar dan 5,7 juta balita (27,3 persen) kurang gizi. Juga tercatat 2-4 dari 10 anak di 72 persen kabupaten di Indonesia menderita kurang gizi. Apa yang terjadi dengan hak kultural, seperti hak atas pendidikan-sekolah?
Hanya 46,8 persen anak usia sekolah yang menyelesaikan 9 tahun pendidikan dasar dan 4,2 juta anak berumur 7-15 tahun tidak pernah menikmati pendidikan-sekolah (data-data tersebut dikutip dari B. Herry Priyono dalam Prosiding Seminar Pancasila, 2006). Data di atas menunjukkan kemiskinan telah menjadi epitom paradoksal pembangunan negeri ini.
Kita kini dituntut ”goes beyond the trodden path, beyond delusion of grandeur”, membuka sungkupan naratif. Seorang bijak dari Timur, Lao Tzu, mengatakan perjalanan ribuan mil dimulai dengan langkah pertama. Syekh Ahmad Atailah, seorang sufi, menegaskan bahwa harapan (raja’) adalah kehendak yang harus diikuti perbuatan. Jika tidak, ia hanya angan-angan yang tidak akan terwujud. Senada dengan hal tersebut, Cheng Yen berpendapat, mulailah memahami satu langkah dan perlahan-lahan akan memahami seribu langkah. Seribu langkah inilah yang akan menjadi pijakan untuk melihat jalan, dan selanjutnya melangkah dengan rasa percaya diri. Langkah itu sama sekali tidak berpretensi untuk melakukan ”overall problem solving”. Justru, meminjam istilah Karl Popper (1957) dalam Poverty of Historicism, kita melakukan ”peace-meal problem solving”.
Memang, ”delusion of grandeur” sebagai utopi, dengan menyetujui pendapat Paul Ricoueur (1991) dalam ”From Text to Action”, tidak selalu bersifat negatif. Ia dapat pula memunculkan karakter positif. Ia biasanya lahir melalui kompetisi diskursif masyarakat demokratis yang terbuka pada kebebasan berpikir dan berpendapat. Ciri utopi positif adalah ia menjadi petunjuk tentang tujuan yang ideal sekaligus langkah pertama yang konkret dan kontekstual untuk merealisasinya. Istilah ”bebas kemiskinan” seyogianya dipahami dalam konteks itu, sehingga kita terlepas dari godaan menciptakan ”grandeur” baru.
Sebagai contoh, upaya nyata pengentasan masyarakat miskin di perkotaan perlu dimulai dengan ”langkah pertama” legalisasi hak atas tanah, pemberdayaan ekonomi rumah tangga, dan kanalisasi politik. Sementara itu, pengentasan masyarakat miskin di pedesaan seyogianya dimulai dengan reformasi agraria (land-reform), modernisasi pertanian, ”industrialisasi” pascapanen, pengembangan industri kecil, dan transmigrasi format penumbuhan ruang sosial baru.
Langkah nyata mengatasi kemiskinan di atas perlu dirangkai dalam semangat pengembangan masyarakat ”industrial”. Masyarakat yang dimaksud ditandai dengan tumbuh suburnya ”komunitas” yang mempunyai sensibilitas, nilai, semangat, dan etos kewirausahaan, sehingga ia adaptif dengan dinamika dan logika ekonomi pasar. Ia kreatif menorehkan sejarah kesejahteraannya sendiri.
Sistem dan budaya ”industrial” tecermin dalam kehidupan ekonomi rumah tangga, industri kecil hingga besar, bahkan birokrasi pemerintah. Jadi, masyarakat industrial lahir sebagai representasi ”penghayatan” rasionalisasi sejalan (dengan) penetrasi kapitalisme alamiah, tidak dipaksakan negara ataupun kekuatan ekspansi pasar. Pembangunan struktur, kultur, dan sistem wirausaha, serta lahirnya capacity building inkorporatif masyarakat, adalah penting sebagai dasar dari ”character building Indonesia” Baru.
*) Disarikan dari pidato pengukuhan penulis sebagai guru besar tetap FISIP UI, 7 Maret 2007. Penulis adalah Dekan FISIP UI 2002-2006/2006-2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo