Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi Pastikan Kerusuhan di Maluku Tenggara Bukan karena Agama

Polda Maluku memastikan kerusuhan yang terjadi di dua desa di Kabupaten Maluku Tenggara bukan karena soal agama.

15 November 2022 | 15.38 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Polri memastikan kerusuhan yang terjadi di Desa Elath dan Desa Bombay, Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara kini sudah terkendali. Polri bekerja sama dengan TNI telah menerjunkan aparatnya untuk mengamankan kedua desa tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar Muhammad Roem Ohirat mengatakan, pengamanan sudah dilakukan sejak 12 November 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kemarin setelah ada bantuan dari Polres Maluku Tenggara, dipimpin Kapolres sampai ke sana. Alhamdulillah bahwa situasi bisa terkendali dan sudah ada penambahan pasukan juga," kata Roem saat dihubungi pada Selasa, 15 November 2022.

Penambahan pasukan itu, dari Polda sebanyak 2 peleton, satu peleton dari Brimob, dan satu peleton dari Sabhara. Selain itu, kata Roem, ada tiga pejabat utama Polda Maluku Tenggara yang sudah ada di lokasi kejadian, yaitu Komandan Satuan Brimob, Direktur Kriminal Umum, dan Direktur Intelijen.

Bentrokan antarwarga terjadi pada 12 November 2022. Hal itu dipicu konflik lahan warga Ohoi Elath dengan Ohoi Bombay yang akhirnya menyebar ke sejumlah desa lain. Akibatnya, dua warga tewas, puluhan lainnya luka-luka, puluhan bangunan rumah, dan sekolah rusak dibakar.

Roem memastikan konflik antara dua desa itu tak berhubungan dengan masalah agama. Hal itu terbukti dengan tidak adanya tempat-tempat peribadatan yang dirusak pada kerusuhan ini.

"Tidak ada terkait masalah agama karena bangunan-bangunan ibadah seperti masjid, gereja, maupun pastori rumah tinggal pendeta atau Pastor tidak ada yang dirusak," kata Roem.

Kerusuhan tersebut, disampaikan Roem, masih berhubungan dengan kerusuhan yang terjadi pada 6 Oktober lalu. Kerusuhan tersebut pun diawali oleh perkelahian antar pelajar.

"Permasalahan ada kaitannya dengan kerusuhan 6 Oktober, jadi pada saat itu dipicu oleh perkelahian antarpelajar yang sudah diselesaikan, namun pada akhirnya mereka kembali rusuh pada saat itu," kata dia.

Menurut Roem, bentrokan pecah setelah ada salah seorang warga sekitar memasang spanduk yang berisi larangan adat sasi di perbatasan kedua desa.

"Ini kemudian satu desa tidak terima atas perbuatan tersebut sehingga terjadi kembali kerusuhan pada saat itu," kata dia.

Menurut Roem, kepolisian telah mempertemukan tokoh-tokoh dari kedua desa. Mereka terus mengupayakan perdamaian antara kedua desa tersebut.

"Ini semuanya dalam rangka pengamanan dan mempertemukan kedua belah pihak untuk mencari jalan keluarnya," ujarnya.

Menurut Roem, polisi telah melakukan rehabilitasi terhadap rumah yang rusak akibat bentrokan tersebut.

Selain itu, Roem mengimbau masyarakat untuk tidak mengunggah video dan foto mengenai kerusuhan di dua desa tersebut. Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan bisa membuat situasi kembali menjadi panas sehingga kedua belah pihak kembali bentrok.

"Kami berharap kepada semua pihak untuk mari saling membantu untuk menciptakan damai di sana dengan tidak memposting video-video maupun foto-foto terkait dengan kerusuhan di 2 daerah tersebut, karena situasi sudah aman," ujarnya.

Roem merinci, akibat kerusuhan itu sebanyak dua orang meninggal dan 55 orang terluka. Sebanyak 33 bangunan rusak yang terdiri dari rumah penduduk, sekolah, hingga pondok bersalin desa.

Baca juga: Dua Pleton Brimob Dikirim ke Dogiyai Papua Perketat Keamanan Pasca Kerusuhan

 

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus