Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Editan Foto Berujung Pidana

Seorang anak menjadi korban pornografi menggunakan kecerdasan artifisial. Polisi sempat bingung menangani laporan ini.

7 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang ibu melaporkan rekannya ke polisi karena mengedit foto putrinya dengan kecerdasan artifisial hingga berbau pornografi.

  • Polisi sempat kebingungan memproses laporan sang ibu karena tak tahu undang-undang mana yang seharusnya diterapkan.

  • Padahal pelaku bisa dijerat dengan beragam undang-undang.

Seorang ibu berinisial RMD melaporkan rekannya ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan karena mengedit foto anaknya menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial sehingga berunsur pornografi. Polisi sempat bingung untuk memproses kasus ini karena menilai tak ada unsur pidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RMD menceritakan bahwa peristiwa ini bermula ketika pelaku berinisial EA mengirim foto seseorang tanpa busana melalui aplikasi perpesanan WhatsApp kepadanya pada 30 Oktober 2024. Dalam keterangan foto itu, EA juga menuliskan bahwa foto tersebut adalah RMD saat remaja. “Kamu waktu 17 tahun nih,” kata RMD membaca pesan EA saat wawancara melalui sambungan telepon dengan Tempo, Selasa, 5 November 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaget dengan kiriman itu, RMD pun memperhatikan wajah dalam foto tersebut yang menurut dia mirip dengan anaknya. RMD yang kesal kemudian menyatakan perbuatannya itu telah kelewat batas. EA pun menyangkal tudingan bahwa foto tersebut adalah putri RMD. EA mengaku menggunakan foto RMD yang dia ubah dengan bantuan kecerdasan artifisial.

Namun RMD sangat yakin wajah dalam foto itu adalah buah hatinya. Dia mengaku pernah mengirim fotonya yang sedang berlibur dengan sang anak kepada EA. Dia menyatakan sempat meminta EA memberi masukan soal teknik pengambilan gambar dalam foto tersebut. Maklum, EA adalah fotografer. Mimik wajah dalam konten pornografi itu, menurut RMD, sangat mirip dengan mimik anaknya dalam foto yang dia kirim kepada EA. 

Khawatir foto itu tersebar luas, RMD melapor ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Jumat, 1 November 2024. Awalnya, petugas mengarahkan RMD ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Di sana, RMD menyampaikan bukti pesan dan foto manipulasi AI yang melibatkan anaknya. Petugas Unit PPA yang ia temui sempat menanyakan di mana saja foto vulgar itu sudah disebar EA. RMD pun mengatakan foto tersebut dikirim pelaku ke WhatsApp pribadinya. Ia tak tahu apakah EA sudah menyebarluaskan foto anaknya atau tidak. 

Unit PPA kemudian menolak laporan RMD. Alasannya, tidak ada tindak pidana pelecehan seksual dalam peristiwa itu. Menurut polisi, tak ada pasal yang dapat dikenakan untuk perbuatan EA. “Dari pihak PPA menyampaikan, ‘Oh, enggak bisa nih. Kalau pelecehan itu, harus ada kontak fisik’. Saya kaget di situ,” tuturnya.

Gedung Polres Jakarta Selatan. ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Petugas kemudian mengarahkan RMD melapor ke Unit Kriminal Khusus (Krimsus). Di sana, seorang petugas awalnya menyatakan pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Ini bisa UU ITE karena kan sudah ada penyebaran elektronik meskipun ke orang tua korban,” kata RMD menirukan perkataan petugas yang membuat dia sedikit tenang.  

Namun tiba-tiba polisi dari Unit PPA menyusul ke ruangan Unit Krimsus. Polisi tersebut berkukuh peristiwa ini juga tak dapat dijerat dengan UU ITE karena tidak ada bukti bahwa foto vulgar itu telah disebarkan di ruang publik. Perbedaan pendapat di antara kedua polisi itu pun membingungkan RMD sebagai pelapor. Bahkan, ia tak berhasil mengisi formulir laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi membenarkan soal laporan RMD. Nurma pun menyatakan laporan tersebut tak bisa diproses oleh Unit PPA karena tidak ada kontak fisik antara korban dan pelaku. “Kemarin, kami sudah berkoordinasi bahwa dia tidak disentuh dan tak ada kontak fisik. Hanya mukanya yang dipakai untuk dijadikan konten,” ucap Nurma kepada Tempo pada Rabu, 6 November 2024. 

Nurma pun membenarkan bahwa RMD kemudian diarahkan ke Unit Krimsus. Namun dia membantah pernyataan bahwa Unit Krimsus menolak laporan tersebut. Menurut dia, kasus ini sebenarnya bisa ditangani oleh Unit Krimsus. “Dia memaksakan untuk diproses di Unit PPA,” ujar Nurma. 

Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Christine Constanta, menyatakan saat ini memang tidak ada undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang pelecehan seksual terhadap anak di ranah digital. “Tapi bisa saja dijerat dengan berbagai undang-undang lain,” tutur Christine saat dihubungi secara terpisah kemarin.

Cristine menyatakan polisi bisa menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia mengatakan polisi bisa menggunakan Pasal 76E UU Perlindungan Anak yang mengatur soal pencabulan anak. Namun, menurut dia, polisi bisa memperluas tafsir soal pencabulan dengan meminta keterangan ahli karena tak ada kekerasan secara fisik dalam kasus ini. “Tafsir tindakan cabul ini juga dipertanyakan apakah sekadar fisik atau bisa ada perluasan ke ranah digital,” kata Christine.

Selain itu, Christine menyatakan polisi bisa menggunakan UU TPKS untuk menjerat pelaku. Pasal 4 ayat (1) huruf i UU TPKS, menurut dia, menyatakan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) merupakan bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 4 ayat (2) huruf b juga mengatur bahwa tindak pidana kekerasan seksual meliputi persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak. Menurut Christine, perbuatan EA sudah memenuhi unsur kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak.

Pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, juga menilai polisi seharusnya tak kebingungan dalam menentukan undang-undang yang tepat untuk menjerat pelaku. Bahkan, menurut dia, dalam kasus ini, RMD turut menjadi korban karena menerima konten bermuatan seksual tanpa persetujuannya.

Orin mengatakan polisi bisa menjerat EA dengan Pasal 14 UU TPKS karena mengirim gambar pornografi itu kepada RMD. Pasal tersebut menyatakan orang yang mengirim gambar bermuatan seksual tanpa kehendak penerima dapat dijerat pidana atas dasar kekerasan seksual berbasis elektronik. Ancaman hukumannya ialah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp 200 juta. “Tentu saja ibunya sebagai penerima mendapat gambar itu tanpa persetujuan,” kata Orin. “Walaupun obyeknya bukan dia.”

Selain itu, Orin menambahkan, polisi bisa menggunakan Pasal 35 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena EA memanipulasi informasi elektronik serta dokumen elektronik. Pengubahan foto korban tanpa izin, menurut Orin, merupakan tindak pidana kategori ini. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal ini adalah penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp 12 miliar. Namun, Orin menegaskan, aturan hukum, terutama yang berkaitan dengan anak dan AI, memang masih perlu disesuaikan karena pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan. 

Orin pun mengingatkan agar anak yang menjadi korban pornografi harus mendapat pelindungan khusus seperti diatur dalam Pasal 67B UU Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyatakan anak yang menjadi korban pornografi mendapat pelindungan, seperti pendampingan ataupun pemulihan psikologis, fisik, dan sosial.

Dosen hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, sepakat bahwa perbuatan EA memang masuk dalam kategori kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain itu, Fatahillah menambahkan, perbuatan EA menggunakan AI untuk menciptakan gambar vulgar melanggar Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 29 Undang-Undang Pornografi (UU Pornografi). “Sudah masuk produksi konten pornografi,” tuturnya saat dihubungi secara terpisah.

Meskipun EA menggunakan kecerdasan artifisial untuk mengedit foto korban, menurut dia, tindakan tersebut memenuhi unsur memproduksi konten pornografi karena mengandung ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Hal itu, menurut dia, melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Pornografi.

Bahkan, Fatahillah menyatakan polisi bisa saja mengenakan pasal berlapis kepada EA. Menurut dia, polisi bisa memisahkan tindakan EA antara membuat konten pornografi dan mengirimnya kepada RMD. Dengan begitu, EA bisa mendapat hukuman yang lebih berat. “Maka setiap pasal bisa dikumulasikan,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan laporan ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus