Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBEBASAN mungkin tak lagi dimiliki Tommy Soeharto. Tapi kekuasaan putra bungsu mantan presiden Soeharto itu sepertinya masih mengakar. Buktinya, senyumnya seolah-olah mampu menyihir dua saksi penting, Noval Hadad dan Mulawarman alias Mola, yang juga terdakwa kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Rabu pekan lalu, di persidangan Tommy di Hall B Arena Pekan Raya Jakarta, Noval dan Mola berbarengan mengaku tak kenal dengan Tommy.
Bukan main. Padahal, menurut dakwaan jaksa, kedua orang itulah yang diperintahkan Tommy menjadi eksekutor pembunuhan Syafiuddin. Sudah begitu, Noval dan Mola menyangkal semua keterangan mereka yang ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) polisi. Bahkan keduanya merangkai cerita lain tentang pembunuhan itu, kendati cerita ini berisiko hukuman hanya buat mereka, tanpa mengaitkan dengan Tommy.
Kata mereka, "order" pembunuhan itu semula berbentuk jasa penagihan utang. Jasa ini mereka peroleh dari seorang pengusaha ke-turunan Cina yang menurut mereka bernama Frans Widjayaentah tokoh ini ada atau tidak. Namun, yang kemudian terjadi di lokasi penembakan Syafiuddin di bilangan Sunter di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, korban ditembak oleh dua orang lainkata mereka jugabernama Alex dan Mufti. Dua orang ini, yang juga entah ada atau tidak, menggunakan sepeda motor Yamaha RX King.
Kontan, Jaksa Hasan Madani berang mendengar nyanyian Noval dan Mola. "Majelis hakim yang terhormat agar memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar. Mohon agar ditetapkan sebagai kesaksian palsu," kata jaksa. Namun ketua majelis hakim, Amiruddin Zakaria, menanggapinya dengan sibuk mengonfirmasikan sosok Noval dan Mola kepada tiga saksi mata yang warga di sekitar lokasi kejadian, yakni Juniarto, Jumbadi, dan Suwarto. Tiga warga ini yakin Noval-lah yang menembak Syafiuddin.
Sebenarnya ulah Noval dan Mola cuma mengulang gaya beberapa saksi sebelumnya, antara lain Hetty Siti Hartika dan Dody Hardjito, yang juga menyangkal isi BAP mereka. Keduanya mengaku me-neken BAP lantaran dipaksa oleh polisi pemeriksa.
Menghadapi gaya Hetty, Jaksa Hasan Madani hanya meminta agar majelis hakim segera mengonfrontasi kebohongan saksi dengan para polisi yang memeriksa. Kali ini sikap sang Jaksa lebih lunak. Katanya, tak bisa sembarangan menjaring orang yang diduga memberi keterangan bohong. "Apa parameternya untuk menyatakan seorang saksi telah memberikan kesaksian palsu?" kata Jaksa Hasan.
Dalih itu terkesan naif lantaran jaksa sebagai pendakwa tentunya sudah mencermati semua BAP para saksi dan terdakwa, sehingga bisa mengetahui secara langsung bohong-tidaknya saksi. Yang pasti, permintaan jaksa hanya ditanggapi enteng oleh ketua majelis hakim, Amiruddin Zakaria. Menurut ketua majelis hakim, konfrontasi dari para saksi polisi pemeriksa akan dilakukan pada akhir acara sidang pemeriksaan saksi-saksi. Artinya masih lama. Maklum, untuk perkara Tommy saja ada 60 orang saksi.
Anehnya, kepolisian juga terkesan enggan proaktif terhadap perkembangan pencabutan kesaksian pada persidangan Tommy. Malah, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Bambang Hendarso, menganggap pencabutan BAP sebagai hal biasa yang terjadi pada suatu persidangan. Kecuali, kata Bambang kepada Bagja dari Tempo News Room, begitu Dody dan Hetty diduga melakukan tindak pidana baru, misalnya mencabut BAP karena disuap, polisi akan segera meringkus mereka.
Yang lebih hebat dari ulah para saksi di atas, apa lagi kalau bukan berbagai jurus yang digunakan Tommy. Ia bisa sampai empat kali tak memenuhi kewajiban undang-undang untuk menjadi saksi di persidangan Dody di Peng-adilan Negeri Jakarta Selatan.
Kali pertama dan kedua, ia beralasan panggilan sebagai saksi belum ada penetapannya dari majelis hakim. Tapi, ketika penetapan itu muncul, mencuat alasan baru bahwa Tommy tak mungkin ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena faktor keamanan untuk memboyongnya dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Begitu faktor keamanan dianggap tak jadi masalah, toh Tommy tak kunjung hadir pula, kali ini dengan alasan sakit gigi.
Anehnya pula, majelis hakim seperti ikut meramaikan dagelan. "Kalau jaksa tak bisa menghadirkan saksi Tommy, tak bisa dilakukan upaya paksa (maksudnya menggiring saksi ke sidang dengan pengawalan polisi)," kata anggota majelis hakim, Syamsul Ali. Hakim ini menambahkan, persidangan Dody tak lagi bisa ditunda-tunda untuk menanti kesaksian Tommy. Sebab, masa penahanan Dody hampir habis.
Merasa terus di atas angin, Tommy kembali menolak hadir sebagai saksi di persidangan Noval dan Mola di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Kata Jaksa Abdul Kamal Badrun, itu karena belum ada penetapan hakim untuk memanggil Tommy. Padahal, jaksa sebagai pelaksana sudah punya surat panggilan bagi Tommy untuk menjadi saksi. Anehnya Hakim Amiruddin Zakaria seperti menyayangkan jaksa kenapa sebelumnya tak minta penetapan dimaksud dan Jaksa Abdul menimpali lelucon itu dengan mengatakan bahwa penolakan Tommy baru terjadi ketika jaksa menjemputnya ke LP Cipinang.
Tak jelas seberapa jauh dagelan hukum ini akan dibiarkan berlangsung. Yang pasti, sampai saat ini baru saksi kelas teri seperti dua mantan satpam Apartemen Cemara, Rahmat Hidayat dan Tatang Sumantri, yang ditahan polisi dengan tuduhan kesaksian bohong. Mereka juga dituduh menerima suap dari Elza Syarief, pengacara Tommy. Perkara mereka bahkan mau dikebut polisi agar bisa dilimpahkan ke kejaksaan pada pekan ini.
Tapi penangkapan Tatang punya bumbu cerita tersendiri. Kabarnya, Tatang mau "bernyanyi" soal suap dari Elza, sehingga ia dan Rahmat menyangkal BAP mereka, setelah dibayar Rp 2,95 juta oleh polisi. Suap melawan suap? Kepala Satuan Reserse Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Anton Wahono, menyatakan bahwa tak benar polisi menyuap Tatang. "Itu memutarbalikkan fakta," ucapnya.
Akan halnya Elza, yang disangka menyuap saksi Rahmat dan Tatang, sampai pekan lalu belum ditindak polisi. "Satu per satulah," ujar Anton Wahono. Katanya, polisi akan memanggil Elza pekan ini dan langsung menetapkannya sebagai tersangka.
Sementara itu, salah seorang pengacara Tommy, Juan Felix Tampubolon, yang juga kuasa hukum Soeharto, juga membantah tudingan bahwa pihaknya me-rekayasa para saksi hingga berulah aneh. "Tak benar sikap para saksi itu direkayasa oleh kami," katanya.
Ardi Bramantyo, Bagja Hidayat, Dewi Retno, Dara M.U., Hps.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo