Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Investigasi Propam Polda Jawa Barat terhadap dugaan salah tangkap dan penyiksaan terhadap empat anak berhadapan hukum (ABH) di Tasikmalaya menemui kendala. Rekaman CCTV yang seharusnya menjadi alat bukti utama tidak tersedia karena dalam kondisi mati akibat renovasi gedung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabid Propam Polda Jabar Komisaris Besar Adiwijaya mengungkapkan bahwa ada lima titik CCTV di lorong Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tasikmalaya Kota yang seharusnya dapat merekam kejadian tersebut. Namun, rekaman terakhir menunjukkan CCTV berhenti berfungsi sejak 16 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“CCTV yang berada di gedung ada lima titik, namun semuanya dalam keadaan mati karena saat dilakukan renovasi gedung dan belum diperbaiki sampai dengan sekarang,” ujar Adi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR pada Kamis, 30 Januari 2025.
Selain itu, sistem penyimpanan rekaman CCTV di Polres Tasikmalaya Kota, lanjut Adi, hanya mampu menyimpan data selama tujuh hari sebelum otomatis terhapus. “Kami bertujuan mencari alat bukti apakah memang ada, tetapi CCTV semuanya dalam keadaan mati sejak 16 Mei 2024,” katanya.
Propam Polda Jabar juga telah melakukan analisis terhadap ponsel 12 penyidik yang menangani perkara ini. Namun, sejauh ini belum ditemukan bukti percakapan atau pesan yang menunjukkan adanya tindakan kekerasan.
Kasus dugaan penyiksaan ini muncul setelah empat anak yang berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) menyatakan mengalami kekerasan selama proses pemeriksaan di Polres Tasikmalaya Kota. Namun, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Kota Tasikmalaya, keempatnya tidak bisa menyebutkan identitas pelaku maupun memberikan bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Hingga kini, Propam Polda Jabar masih mendalami dugaan kekerasan ini. Rencana selanjutnya yakni meminta keterangan langsung dari keempat anak di Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, dengan pendampingan UPTD P2TP2A.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan penjara terhadap empat anak di bawah umur yang diduga menjadi korban salah tangkap. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan yang menyebabkan korban luka berat.
Ketua majelis hakim, Dewi Rindaryati, memvonis keempat anak itu dengan hukuman bui dimuka persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis 23 Januari 2025. Hakim juga menyebutkan bahwa putusan itu sempat dibacakan pada Kamis, 16 Januari 2025, namun diulang pada 23 Januari 2025.
Putusan hakim ini lebih ringan empat bulan dari tuntutan jaksa. Keempat anak itu yakni FM, 17 tahun, RS (16), DW (16), dan RR (15). Mereka diperintahkan untuk menjalani hukum penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung.
Dalam pembacaan putusannya, pertimbangan hakim yang memberatkan yakni anak dinilai berbelit-belit dalam menyampaikan keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya di muka persidangan. Selain itu, para anak ini juga tergabung dalam komunitas sepeda motor, di mana Kota Tasikmalaya sedang marak kejahatan geng motor yang meresahkan masyarakat.
Pertimbangan hakim yang meringankan anak berhadapan dengan hukum ini yakni diantara mereka masih berstatus pelajar. "Menetapkan para anak tetap berada dalam tahanan. Mengurangi pidana penjara yang sudah dijatuhkan dengan masa tahanan yang telah dijalani," ucap ketua Majelis hakim.
Seperti diketahui sebelumnya, teman korban yang tergabung dalam komunitas Tarung Derajat, kerap mendatangi pengadilan untuk mengawal jalannya persidangan. Mereka juga sempat berunjuk rasa pada Selasa kemarin, agar hakim tidak terpengaruh dalam menentukan putusannya meski ada intervensi dari komisi III DPR.