Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU palu hakim diketukkan-, sorak-sorai membahana di ruang- sidang Pengadilan Negeri Denpasar. ”Setuju, Pak Hakim!” teriak puluhan aktivis Gerakan Anti Narkotika Bali yang duduk di kursi pengunjung. Di kursi terdakwa, seorang pria berkacamata tertunduk lesu.
Selasa pekan lalu, pria berbaju putih- bernama Andrew Chan itu divonis hu-kum--an mati. Majelis hakim yang dike-tuai- Arif B. Supratman menyatakan pe-muda lajang berumur 22 tahun itu ter-bukti melanggar Undang-Undang Anti-narkotika. ”Saya anggap vonis ini sudah adil,” kata Supratman.
Pengadilan Negeri Denpasar bukan cuma memvonis hukuman mati untuk Chan. Sehari sebelumnya, di ruangan yang sama, majelis hakim yang diketuai I Gusti Lanang, juga telah mengganjar Myuran Sukumaran, 24 tahun, dengan hu-kuman mati. Chan dan Sukumaran me-mang berada dalam satu rangkaian kasus. Keduanya sama-sama warga ne-gara Australia.
Dua majelis hakim yang berbeda itu mempunyai keyakinan yang sama terhadap dua terdakwa ini, yaitu sebagai perencana serta penyandang dana aksi penyelundupan heroin. Dua anak muda ini dituduh sebagai pemimpin geng yang dikenal dengan sebutan Bali Nine.
Menurut hakim, Chan dan Sukumaran- mengendalikan tujuh warga Australia dalam aksi ini, yaitu Marthin Eric Stephens, 29 tahun, Michael William Tzugaj (20), Scott Anthony Rush (19), Renae Lawrence (28), Si Yi Chen (20), Tan Duc Thanh Nguyen (23), dan Mathew James Norman (19). Semua orang itu, dua pekan lalu, dijatuhi vonis penjara seumur hidup oleh PN Denpasar.
Menurut dakwaan jaksa, Chan dan Sukumaran merancang siasat membawa- heroin di Rose Land Shopping Centre, Sydney, Australia, pada 30 Maret 2005. Tujuh terdakwa berdiskusi di situ dan yang tak datang hanya Scott dan Tzugaj lantaran keduanya bermukim di Bris-bane-. Di sinilah Chan menitipkan se-jumlah uang pada Renae untuk mem-biayai rencana itu.
Kemudian, Chan terbang ke Bali pada 3 April. Tujuannya untuk menyiapkan segala sesuatu menyangkut heroin itu. Ia, misalnya, menyiapkan penginapan untuk Si Yi Chen dan James Mathew Norman di Hotel White Rose. Lalu, memesan kamar di Hotel Kuta Lagoon untuk Martin Stephen dan Renae Lawrence, dan kamar di Hotel Aneka Kuta untuk Scott dan Tzugaj.
Selain itu, Chan mengambil 11,25 kilogram heroin dari Cerry Likit Banakhorn, warga Thailand yang hingga- kini be-lum- tertangkap. Tiga hari kemudian-, ba-ru--lah rekan-rekannya muncul- di Denpasar-. Setelah 10 hari di Bali, mere-ka- pun merancang penyelundupan he-roin itu. Chan, Sukumaran, dan Thanh memasang sebagian heroin ke tubuh Renae, Martin, Scott, dan Tzugaj.
Rencananya, heroin ini akan dijemput- oleh seseorang di Australia. Orang itu akan muncul dengan nama sandi Pino-ccio. Setelah itu, para kurir menerima upah Aus$ 10 ribu. Namun, rencana itu berantakan. Aparat Kepolisian Daerah Bali dan Bea-Cukai Bandara Ngurah Rai menggagalkan aksi tersebut. Hari itu juga semua tersangka ditangkap.
Rupanya, polisi telah mengikuti ge-rak-gerik mereka sejak tiba di Bali. Rencana Bali Nine ini juga sudah lebih dulu ter---cium polisi Australia. Karena itu, Aus--tralian Federal Police mengirimkan- informasi ke Polda Bali menyangkut ma-salah ini sebulan sebelum Chan dan kawan-kawan menginjakkan kaki di Bali.
Mata rantai si Pinoccio ini pun ber-gulir ke persidangan. Saat disidang, para terdakwa saling lempar kesalahan-. Tujuh terdakwa mengaku sekadar kurir. Me-reka menunjuk Chan dan Sukumaran se--bagai bos. ”Kalau saya tak melakukan itu, dia akan membunuh saya dan keluarga saya,” kata Tzugaj. Pengakuan yang sama juga datang dari enam terdakwa lainnya. ”Mereka cuma mencari kambing hitam,” kata Muhammad Rifan, kuasa hukum Chan dan Su-kumaran-. ”Tujuannya untuk meringan-kan hu-kumannya sendiri.”
Majelis hakim juga tak percaya de-ngan alasan nyawa yang terancam itu. ”Kalau ancaman benar-benar terjadi, me-reka punya waktu untuk melapor polisi di Australia maupun di Indonesia,” kata Supratman.
Hakim berkeyakinan, mereka semua secara sadar terlibat dalam penyelun-dupan heroin, hanya kadar keterlibatannya yang berbeda. Itulah sebabnya, sebagian terdakwa diganjar hukuman se-umur hidup. Sedangkan Chan dan Su-kumaran yang dianggap sebagai de-dengkot Bali Nine dihukum mati.
Para terdakwa sendiri mengajukan ban-ding atas vonis yang mereka nilai- terlalu berat. ”Anda tahu di Australia- itu ada sebutan Kanguru Court. Itu yang membuat mereka tidak percaya pada sistem hukum Indonesia,” kata Robin Norman, ibu kandung Mathew James Norman. ”Saya sangat kecewa dengan putusan hakim. Anak saya itu belum jelas keterlibatannya dalam sindikat ini,” katanya lagi. Keluhan yang sama disampaikan Cristiene Rush, ibu kandung Scott Anthony Rush. Kedua ibu ini sangat berharap pemerintah dan masyarakat Australia membantu kasus yang menimpa anaknya itu.
Menurut Atase Pers Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neil, pemerintahnya akan mengupayakan pembelaan untuk warganya. Pemerintah Australia, ujar O’Neil, akan terus melakukan upaya diplomatik untuk membela dua war-ganya yang divonis mati. ”Tapi Australia menunggu hasil banding di Pengadilan Tinggi Bali dan kasasi di Mahkamah Agung,” katanya. Sedangkan Perdana Menteri John Howard tak ingin memberi harapan yang muluk kepada war-ganya. Ia secara pribadi menyatakan tak mendukung hukuman mati. ”Saya juga tak bersimpati pada orang yang ingin membawa heroin ke negara kami, apa pun kewarganegaraannya,” katanya.
Palu sudah diketuk, vonis sudah jatuh. Bagi David Ajie, jaksa penuntut umum dalam perkara Sukumaran, komentar-komentar pejabat Australia atas vonis hukuman mati yang menimpa warganya itu dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap hukum Indonesia. ”Ini wilayah yang berbeda, politik dan hukum. Hukum harus berdiri sendiri. Indonesia negara yang berdaulat,” kata David.
Nurlis E. Meuko, Faisal Assegaf, Rofiqi Hasan, dan Rilla Nugraheni (Denpasar)
Narkoba di Pulau Dewata
KENDATI sudah berlangsung lama, boleh dibilang kasus narkoba besar yang terungkap di Bali baru terjadi pertama kali pada 1999. Ketika itu, Federico, warga India, tertangkap saat menyembunyikan narkoba dalam sebuah patung.
Berbeda dengan pengadilan Tangerang, yang rajin mengganjar hukuman mati, PN Denpasar sebelumnya tidak pernah memberi hukuman mati kepada mereka yang terbukti membawa atau menyelundupkan narkoba. Karena itu, vonis hukuman mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada pekan lalu merupakan yang pertama kalinya dijatuhkan pengadilan di Pulau Dewata.
Inilah beberapa kasus penyelundupan narkoba besar yang pernah digagalkan aparat keamanan Bali.
1999
Federico
- Warga : India
- Kasus : 858,5 gram hasis dimasukkan dalam patung.
Kurnia A. Kiang
- Warga : Indonesia
- Kasus : 2.600 gram sabu-sabu ditempelkan di badan.
Lois Blanc
- Warga : Prancis
- Kasus : 2,05 kilogram hasis disimpan dalam tabung selam
2000
Victor Manuel Garcia dan Clara
- Warga : Meksiko
- 15,22 kilogram kokain disembunyikan pada papan selancar
2002
Alpones Simbolon
- Warga : Indonesia
- Kasus : 2,250 kilogram heroin
2003
Steve Turner
- Warga: Inggris
- Kasus : 5.955 ekstasi
Juri Angione
- Warga : Italia
- Kasus : 5,26 kilogram kokain disembunyikan dalam papan selancar
2004
IMmanuel O herejika
- Warga : Sierra Leone
- Kasus : 369,6 gram heroin ditelan dalam bentuk kapsul
Currel Cristopehr
- Warga : Australia
- Kasus : 56.645 Ephederine
Martin Akuyabi
- Warga : Afrika Selatan
- Kasus : 1,12 kilogram heroin disimpan dalam makanan kaleng
Jhon Mpedyane
- Warga : Afrika Selatan
- Kasus : 913,8 gram heroin yang disimpan dalam makanan kaleng
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo