Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Karikatur dan Kemarahan

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laksmi Pamuntjak

  • Penulis, penyair

    Sebuah gelombang besar kemarahan sedunia, dan 12 buah karikatur di sebuah koran Denmark—inilah yang terjadi sekarang. Haruskah umat Islam marah?

    Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita simak, dengan lebih tenang, karikaturkarikatur itu. Majalah Economist menyebut gambargambar itu tak ubahnya ”lelucon anak sekolah”. Pendapat itu tak sepenuhnya benar. Gambar Nabi sebagai teroris, dengan sorban bomnya, jelas sebuah representasi Islam sebagai kekerasan. Ini, dan bukan upaya menggambar paras Nabi per se, memang menyinggung perasaan orang Islam. Tapi pendapat itu juga tak sepenuhnya salah, dalam arti bahwa kartunkartun itu umumnya merupakan sebuah campuran stereotipe, sikap sok benar, dan komentar tak lucu.

    Salah satunya, misalnya, menggambarkan Nabi sedang berdiri di atas segumpal awan. Di depannya barisan laskar bom bunuh diri. ”Stop, stop, kita sudah kehabisan perawan,” ia berseru. Maksudnya jelas: perawan sama dengan hadiah bagi para martir.

    Sepintas, cukup lucu. Tapi mungkin hanya bagi mereka yang menyikapi humor dengan santai. Atau yang menganggap seks bukan perkara besar. Tapi, bagi mereka yang percaya bahwa Nabi adalah manusia tersuci, kartun itu tentu mengusik. Reaksi kaum feminis pun bisa terbelah: antara mereka yang menolak penggambaran perempuan secara tak terhormat, dalam bentuk apa pun, dan mereka yang melihat kartun itu sebagai pengukuhan ketakadilan lakilaki terhadap perempuan, bahkan oleh Nabi sekalipun. Di sini, pengetahuan sejarah Islam si pembaca mengambil peran penting.

    Hukum Islam, baik yang menyangkut murtad (apostasy) maupun penghujatan terhadap agama (blasphemy), memang tak berlaku di Eropa yang pernah mengalami sejarah buruk ketika agama bercampur kekuasaan dan sebab itu menjadi ”negara sekuler”. Dengan memuat karikaturkarikatur itu, JyllandsPosten tak bisa dituntut secara hukum.

    Masyarakat Islam Eropa, khususnya para imigran, pada umumnya juga sadar akan hal itu. Meski hidup dengan kemiskinan dan keterpinggiran, bagi mereka Eropa adalah sebuah kesempatan dengan kebebasan, dan untuk itu mereka harus rela membaginya dengan yangLain.

    Tak selamanya mudah, memang. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama semenjak ”peristiwa 11 September”, gerakan sayap kanan dan antiimigran, terutama antiIslam, semakin kuat di Eropa. Ada perangkat hukum untuk melindungi agama, seperti undangundang antipenghujatan. Di Prancis, Gereja Katolik memenangi tuntutan perkara atas seorang desainer busana yang mengganti para rasul dalam lukisan Jamuan Terakhir dengan perempuanperempuan berbusana minim. Tapi, dalam hal ini, hukum yang membatasi ekspresi tidak dibuat untuk meningkatkan toleransi dan hormat antaragama, tapi untuk mengukuhkan hegemoni. Ia merupakan simbol konservatisme, bukan liberalisme.

    Sementara itu, agama Islam, sebagai agama minoritas, belum tentu terlindungi. Usaha Perdana Menteri Inggris Tony Blair untuk memperluas hukum antipenghujatan agar mencakup semua agama barubaru ini gagal.

    Dalam kasus JyllandsPosten, diketahui ada kesengajaan dalam keputusan memuat 12 karikatur itu. Harian itu tak hanya pernah menolak memuat karikatur Yesus atas dasar tak hendak menyinggung perasaan pembaca; mereka menolaknya, menurut editornya pada saat itu, karena mereka ”tak meminta (kartunkartun itu)”. Sementara, kita tahu, harian itu khusus mengundang 40 ilustrator untuk menggambar nabinya orang Islam dengan tujuan ”menguji batas sensor diri” warga Denmark.

    Maka, ironis apabila mereka kini mengusung bendera kebebasan bersuara berdasarkan premis ”pertentangan peradaban” ala Samuel Huntington yang menyesatkan itu. Perlu diingat bahwa Denmark, dalam konteks ini, juga jauh dari ”negara bebas suara”. Menurut Artikel 40 dalam kode kriminal mereka, siapa pun yang terbukti menghina ”sebuah komunitas agama yang diakui” wajib membayar denda dan atau masuk penjara paling lama empat bulan. Umat Islam berhak tersinggung; kasus karikatur ini bukan tentang apa yang boleh atau tak boleh dalam Islam, melainkan tentang diskriminasi.

    Tapi, sekali lagi, apakah umat Islam harus marah? Rumus ideal untuk sebuah kehidupan bersama akan kirakira seperti ini: hak untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi sudah seharusnya menjadi landasan setiap masyarakat. Hak ini termasuk ”kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi melalui media apa pun, tanpa mengindahkan batasan” (Artikel 19, Deklarasi Hak Asasi Universal). Sementara, hak itu bukan absolut, baik bagi penciptanya maupun para pengkritiknya. Ia menuntut tanggung jawab, terutama yang mencakup hasutan untuk melakukan diskriminasi atau kekerasan.

    Alangkah indahnya apabila kita bisa menentukan batasanbatasannya bagi setiap individu atau kelompok masyarakat. Tapi, bagaimana kita mencegah perbedaan pendapat? Tafsir yang jamak? Atau keyakinan pribadi?

    Sejarah Yesus dalam seni rupa samasama sebuah sejarah yang berdarah, tapi ia telah mengalami banyak cobaan: dari simbol yang Transenden (Paul Klee) dan metafora yangAbsurd (Francis Bacon), sampai perjalanan ke yangTak Terpetakan (Joseph Beuys) dan renungan tentang yangsamasekaliLain (Mark Rothko, Barnett Newman). Tahun 1926, pada kanvas Max Ernst, ia bahkan si bayi berambut blonda yang sedang dipukuli pantatnya oleh Bunda Maria. Apakah sebagai tanda tanya, obyek cemooh, alter ego atau Pastor Bonus, pada abad ke20 Yesus bukan lagi si gembala muda dalam ikonoklasme abad ke3 atau ke4. Sungguh banyak kepentingan mengatasnamakannya, tapi ia tak untuk dibekukan di dalam sebuah dogma. Dan agama Kristen terus bertahan.

    Mungkin kita juga harus legowo menerima yang niscaya. Seorang kepala sekolah di Kairo menyimpulkannya dengan baik: ”Apabila kita cukup percaya diri dalam keyakinan kita, kita tak perlu bereaksi dengan begitu histeris.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus