Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERUMUNAN warga di Jalan Ancol Selatan, Tanjung Priok, merasa benar-benar terenyak, me-nyaksikan sepotong kepala ter-lempar dari bangunan ber-tingkat dan jatuh di jalanan. Darah-nya tampak masih segar menetes. Sesaat kemudian, seorang lelaki muda yang me-reka kenal sebagai Meydi Ginting muncul di teras bangunan lantai dua itu.
Meydi, lelaki berumur 26 tahun itu, meng-angkat sesosok tubuh tanpa kepala. Dengan tenang dilemparkannya ke jalan. Tubuh tadi sempat tersan-gkut di sebuah kanopi, sebelum didorong Me-ydi hingga jatuh di jalanan. ”Kami semua benar-benar kaget,” kata Wagiman Sujono, salah seorang warga yang melihat kejadian itu. Potongan kepala yang terlempar itu dikenal warga se-bagai Elomin Ginting, 18 tahun, yang tak lain adik Meydi.
Peristiwa pembunuhan yang terjadi pada Jumat sekitar pukul 19.30 dua pekan lalu itu hingga kini masih segar dalam i-ngat-an Wagiman. Soalnya, se-usai meng-habisi adiknya, Meydi yang ka-la itu hanya bercel-ana pendek dan berkaus menghampiri Wa-giman dengan golok yang masih bersimbah darah. ”Melihat itu, saya lari,” ujar Wagiman.
Beberapa saat kemudian sejum-lah polisi dari Polsek Tanjung Priok dan Polres Jakarta Utara me--ngepung rumah Meydi. Pol-isi me--minta Meydi keluar dan menye-rahkan diri. Tapi permintaan itu tak digubris. Polisi pun, setelah me-nge-luarkan tem-bakan peringatan, merangsek ke lantai atas. Meydi di-bekuk dan di-gelandang ke kantor polisi.
Pembunuhan ini berawal ketika Mey-di bangun tidur dan mengeluh kepalanya pusing. Saat itu Meydi meminta ibunya, Meyke, membawanya ke dokter. Tapi Meyke menolak karena tak memiliki uang. Wanita berumur 50-an tahun itu meminta anak sulungnya itu pasrah kepada Tuhan. Meyke b-ah-kan mengajak Meydi mengikuti dirinya menghadiri acara kebaktian gereja.
Rupanya penolakan ini membuat Mey-di naik pitam. Ia masuk kembali ke kamarnya dan beberapa saat kemudian muncul kembali sambil menenteng sebilah golok yang diayun-ayunkanya ke ibunya. Elomin, adik Meydi yang saat itu berada di rumah, berupaya merebut golok tersebut.
Perkelahian antara kakak dan adik di dalam rumah itu pun pecah. Elsa Pie, istri Meydi, sembari menggendong anaknya yang berumur dua setengah tahun, menyelamatkan diri dengan cara melompat dari lantai dua rumah itu, yang tinggi-nya sekitar dua meter. Meyke juga berusaha melakukan hal yang sa-ma. Tapi malang, kepala dan tangannya terkena bacokan Meydi. Di luar rumah, Meyke meraung-raung. ”Anak saya ma-ti, anak saya mati...,” teriaknya. Bebe-rapa saat kemudian, warga pun melihat pemandangan mengerikan itu: sepotong kepala dan tubuhnya yang sudah terpisah meluncur ke jalanan dan jatuh di depan mereka.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kri-minal Polres Jakarta Utara, Komisaris Polisi Andry Wibowo, Meydi akan dije-rat dengan pasal 338 dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan. Polisi juga menyi-ta golok, baju Meydi, dan baju El-omin yang masih berlumuran darah. Itulah ba-rang bukti yang akan diajukan ke peng-adilan.
Andry menduga, pembunuhan itu di-picu oleh bertumpuknya masalah pada diri Meydi. Tidak hanya persoalan ekonomi lantaran dirinya menganggur, tapi juga karena penyakit liver yang diderita-nya. ”Ini semua membuat dia frustrasi dan kemudian depresi,” ujar Andry.
Saat ditemui Tempo di tahanan Po-l-res Jakarta Utara, Meydi mengaku tak mengetahui pembunuhan yang dilakukannya itu. ”Itu di luar kesadaran saya,” katanya. Ia menyatakan menyesal dan ingin meminta maaf kepada ibunya. ”Saya ingin mencium kaki Ibu,” ujar-nya. Menurut Meydi, se--lama ini ia tak memiliki masalah de-ngan adiknya. ”Saya juga tidak pernah ribut dengan dia,” ujarnya. Berkali-kali ia mene-gaskan dirinya tidak membunuh Elomin. ”Saya bangun tidur siang, saya lihat Elomin sudah terkapar,” katanya.
Namun, menurut Reno Har-sono, sang ketua RT, Me-ydi selama ini memang t-ampak kerap ribut dengan keluar-ganya. ”Entah dengan istri-nya atau ibunya,” ujar Reno. Menurut Reno, Meyke memiliki empat anak, yaitu Me-y-di, Romi, Malvin, dan Elomin. Suaminya sudah meninggal pada 1996.
Dari keempatnya anaknya, yang tinggal di rumahnya ada-lah Meydi beserta keluarganya, dan Elomin. Adapun Romi sudah meninggal dan Malvin kini dipenjara karena terlibat perkelahi-an. Kali ini wanita setengah baya itu rupanya harus kehilangan lagi seorang putranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo