Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rahardi Membela, Tommy Bebas?

Kepala Bulog Rahardi Ramelan membatalkan ruilslag Bulog-PT Goro, juga meminta kasus ruilslag itu diselesaikan secara perdata. Salah-salah periksa, Tommy, Ricardo, dan Beddu bisa lepas dari perkara korupsi Rp 95 miliar itu.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEUNGGUHAN pemerintah mengusut kasus korupsi lagi-lagi diragukan orang. Yang diharapkan adalah sebuah langkah maju, yang terjadi justru kemunduran. Beddu Amang dan Tommy Soeharto, yang semestinya dijatuhi hukuman, salah-salah bisa melenggang dengan senyum lebar keluar sidang pengadilan. Kalau hal ini sampai terjadi, aktor intelektualnya tak lain dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan?dalam kasus ini bertindak sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog). Seperti ramai diberitakan, pekan-pekan ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang menyidangkan kasus korupsi senilai Rp 95 miliar, yang berkaitan dengan proses ruilslag (tukar-menukar) tanah antara Bulog dan PT Goro Batara Sakti. Proses pengadilan ini tiba-tiba seperti dimentahkan hanya karena ada semacam pleidoi (pembelaan) dari Rahardi Ramelan. Meski belum secara resmi diutarakan di pengadilan, pleidoi Rahardi itu menyatakan pembatalan ruilslag dan kasusnya akan diselesaikan secara perdata. Peradilan perdana kasus itu, dengan terdakwa mantan kepala Bulog, Beddu Amang, dan mantan direktur utama Goro, Ricardo Gelael, bisa kian semarak, lantaran Senin pekan ini Hutomo Mandala Putra?bekas komisaris utama Goro?yang disebut jaksa dengan nama alias Tomi bin Soeharto, juga akan duduk di kursi terdakwa. Sedangkan manuver Menteri Rahardi itu membuat orang cemas, jangan-jangan kasus korupsi itu akan bernasib serupa dengan kasus korupsi dana cengkeh senilai Rp 115,7 miliar yang menghebohkan itu. Walaupun ditentang keras, persidangan kasus korupsi itu berakhir dengan vonis bebas atas terdakwa Nurdin Halid, Direktur Utama Goro, yang juga anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Mirip dengan korupsi dana SWKP cengkeh, manipulasi ruilslag tanah Bulog cukup menggambarkan betapa para pengusaha dan kerabat dekat Soeharto bisa dengan gampang mengeruk laba. Seperti diungkapkan dalam dakwaan Jaksa Soehardjono dan Dachamer Munthe, kasus ruilslag dimulai hanya satu hari setelah Beddu Amang, 62 tahun, dilantik menjadi Kepala Bulog. Hari itu, 16 Februari 1995, Beddu langsung meneken kesepakatan ruilslag tanah 50 hektare milik Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan tanah 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara, yang akan disediakan Tomi. Tanah di Kelapa Gading akan dijadikan Pusat Perkulakan Goro, sementara tanah di Marunda digunakan untuk pergudangan Bulog. Kesepakatan itu dipertegas pada 11 Agustus 1995. Ternyata, tanah calon pengganti belum ada, pihak Tomi sudah membongkar 11 gudang Bulog di lahan seluas delapan hektare di Kelapa Gading. Mereka juga menggunakan lima gudang Bulog. Lebih tak masuk akal, Bulog mesti membayar uang sewa dua gudang kepada Goro, padahal gudang itu masih milik Bulog. Jurus kilat Goro untuk menguasai lahan Bulog itu bersandar pada alasan bahwa pembangunan pusat perkulakannya di Kelapa Gading sudah dijadwalkan secara ketat. Memang, pada Oktober 1996, Goro rampung dibangun dan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Urusan selesai? Tentu saja belum. Selanjutnya, untuk pembelian tanah di Marunda, Goro meminjam Rp 20 miliar dari Bukopin. Jaminan kredit itu tak lain tak bukan adalah deposito Rp 23 miliar punya Bulog. Belakangan, kredit itu macet, sehingga Bukopin mencairkan deposito Bulog. Sekalipun begitu, tanpa malu-malu Goro menyatakan dana untuk pembelian tanah calon pengganti masih kurang. Bulog, anehnya, setuju saja dan lagi-lagi mengucurkan dana Rp 32,5 miliar kepada Hokiarto selaku penyedia tanah. Patgulipat terus berlanjut dan tanah pengganti tak kunjung berwujud. Sementara itu gedung perkulakan Goro sudah berdiri megah di Kelapa Gading, bahkan kemudian, pada 4 Mei 1998, 52 persen saham perusahaan itu dijual ke Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) dan 48 persen sahamnya dijual ke 23 Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud). Pilihan waktu untuk divestasi saham itu pas sekali, hanya 17 hari sebelum Soeharto menyatakan dirinya berhenti selaku Presiden Republik Indonesia. Nah, setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 dan posisi Beddu Amang selaku Kepala Bulog digantikan oleh Rahardi Ramelan, bisa dikatakan baik Tommy, Ricardo, maupun Hokiarto sudah tak punya urusan dengan kasus ruilslag itu. Apalagi kepemilikan Goro telah beralih ke Inkud dan 23 Puskud. Padahal, menurut tuduhan jaksa, akibat patgulipat kasus tersebut, Bulog sebagai perusahaan milik negara telanjur merugi Rp 95.466.986.000. Itulah yang kemudian membuat Kejaksaan Agung mengusutnya menjadi kasus korupsi. Namun, sesampainya perkara itu ke pengadilan, keluarlah surat keputusan Kepala Bulog Rahardi Ramelan. Melalui surat tertanggal 31 Maret 1999 itu, Rahardi membatalkan ruilslag tanah Bulog dan Goro. Selain itu, dalam suratnya ke Kejaksaan Agung tertanggal 3 Maret 1999, Rahardi menghendaki agar kasus tersebut diselesaikan secara perdata, dan menambahkan bahwa penggunaan tanah Bulog seluas 8 hektare di Kelapa Gading oleh Goro akan diperhitungkan sebagai penyertaan modal ataupun sewa-menyewa selama 20 tahun. Upaya mereduksi berbagai kasus manipulasi uang negara itu tak beda dengan cara-cara penyelesaian yang ditempuh pemerintah selama ini. Sekadar contoh, pengalihan dana reboisasi ratusan miliar yang "diselewengkan" untuk kepentingan bisnis Grup Nusamba milik Bob Hasan ataupun Industri Pesawat Terbang Nusantara jadi sekadar penyertaan modal pemerintah pada Nusamba dan IPTN. Begitu pula kasus ruilslag tanah Departemen Kehakiman, yang kini menjadi gedung Mulia Center di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan demikian, unsur manipulasinya seolah-olah "dimaafkan". Sewaktu dihubungi Setiyardi dari TEMPO, Rahardi membantah bila dikatakan pembatalan ruilslag dan penyelesaian secara perdata itu dianggap sebagai upaya membebaskan para terdakwa. Menurut Rahardi, pembatalan itu semata-mata berdasarkan pertimbangan bisnis. "Sesuai dengan perjanjian ruilslag-nya, pembatalan secara sepihak memang dimungkinkan. Itu supaya Bulog tidak rugi. Sama sekali bukan dimaksudkan untuk membebaskan Beddu Amang. Persidangan kasusnya tetap bisa dilanjutkan," kata Rahardi. Bagi tim pembela Beddu Amang, yang dikoordinasi Amir Syamsuddin, dan juga dalam pandangan tim pengacara Ricardo Gelael?dipimpin O.C. Kaligis?keputusan pembatalan ruilslag dan pernyataan Rahardi tentang penyelesaian secara perdata itu semakin memperkuat dalil mereka bahwa kasus tersebut semata-mata perkara perdata. Sebab, sejak kesepakatan awal, proses pembongkaran gudang Bulog, sampai pencarian tanah pengganti, semuanya dilakukan pihak Goro berdasarkan perjanjian dengan Bulog. Artinya, urusan perjanjian yang masuk lingkup hukum perdata itu tentu tak bisa dipidanakan. Kalaupun kemudian Goro tak bisa melaksanakan perjanjian, itu semata-mata perbuatan wanprestasi alias ingkar janji. Menurut kedua pengacara itu, unsur kerugian negara juga tak ada. "Malah Bulog yang diuntungkan," ucap O.C. Kaligis. Rekannya, Amir Syamsuddin, lantas merinci keuntungan Bulog, antara lain tanah di Kelapa Gading tetap milik Bulog, begitu pula tanah seluas 71 hektare di Marunda. Bahkan, selain memperoleh dana kompensasi sekitar Rp 10 miliar akibat pembatalan ruilslag, Bulog juga akan menerima bagian 0,5 persen dari omzet kotor Goro di Kelapa Gading. Demikian pula unsur melawan hukumnya, seperti yang ditandaskan oleh Beddu Amang. Itu karena proses ruilslag tersebut, katanya, sudah disetujui Presiden Soeharto dan Menteri Keuangan?waktu itu?Mar'ie Muhammad. "Saya hanya merealisasi ruilslag yang sudah direncanakan sejak Kepala Bulog sebelumnya, Ibrahim Hasan. Sama sekali ruilslag itu tak saya rencanakan untuk berkolusi dengan Tommy Soeharo, apalagi untuk keuntungan pribadi," tutur Beddu. Menurut Beddu, pembatalan ruilslag itu sebetulnya sudah dua kali diusulkannya ke Menteri Keuangan. Hal itu ditempuhnya lantaran Goro, yang terlibas krisis ekonomi, ternyata tak mungkin lagi memenuhi kewajibannya. Jadi, "Kasus perdata ini terlalu dipaksakan menjadi tuduhan korupsi. Saya dijadikan korban permainan politik. Atau barangkali saya dianggap chicken oleh Kejaksaan Agung, sehingga dicari-carilah kesalahan saya pada kasus ruilslag itu," Beddu menambahkan. Tapi kejaksaan tetap yakin, unsur pidana pada proses ruilslag untuk membobol dana Bulog sangat kuat. Pembatalan ruilslag oleh Rahardi Ramelan dilakukan Maret 1999, sementara pengusutan kasus itu oleh kejaksaan sudah berlangsung sejak Oktober 1998. Inisiatif ini sama sekali tak bisa menghapuskan delik korupsi yang telah terjadi. "Bagaimana bisa dianggap perdata? Barangnya sudah dicuri, perjanjian sewa-menyewanya muncul kemudian," kata seorang jaksa. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Antonius Sujata, juga berpendapat, keputusan pembatalan ruilslag itu sudah ketinggalan. "Ini kasus korupsi. Sama sekali bukan sewa-menyewa," ujarnya. Berdasarkan itu, Sujata menegaskan bahwa kasus tersebut tak akan bernasib seperti kasus Nurdin Halid. "Negara dirugikan. Proses ruilslag-nya melanggar peraturan. Tanah yang akan dipertukarkan pun tak ada," tuturnya. Tinggal kini sikap hakim, yang pada Senin pekan ini akan menentukan nasib kasus tersebut, melalui keputusan sela tentang kategori perkaranya: pidana ataukah perdata. Kalaupun hakim melanjutkan kasus Goro, upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah masih perlu diuji, sehingga tak berujung pada vonis bebas seperti kasus Nurdin Halid. Happy S., Iwan Setiawan, dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus