SEJARAH peradilan tampaknya akan diabadikan dalam sebuah tonggak monumental yang, di luar dugaan, tertanam di "bumi" Irianjaya. Untuk pertama kali, aset negara, yang selama ini haram untuk disita oleh pengadilan, telah dieksekusi demi kemenangan hukum warga masyarakat Irian. Terobosan yang mengejutkan itu terjadi baru-baru ini, setelah hakim Pengadilan Negeri Irianjaya mengetuk palu dengan keputusan: memblokir rekening Gubernur Irianjaya, Freddy Numberi, senilai Rp 5 miliar di Bank Pembangunan Daerah setempat. Pemblokiran itu dilakukan karena jauh sebelumnya, Gubernur divonis untuk membayar ganti rugi Rp 18,6 miliar akibat mengambil alih tanah Hanock Hebe Ohee seluas 62 hektare secara tidak sah.
Mungkinkah Ohee, 68 tahun, sang kepala suku Asei, bisa memperoleh seluruh uang ganti rugi itu dari Gubernur? Soalnya, sudah 14 tahun Ohee memperjuangkan keadilan atas tanah milik 308 kepala keluarga anggota masyarakat hukum adat yang tergabung dalam keret Ohee (bagian dari suku Asei). Untuk mencapai tujuannya, Ohee?yang hidup dari uang jasa para pengusaha pengambil batu kerikil di lahan sepanjang sungai milik keret-nya? telah menghabiskan uang paling sedikit Rp 1 miliar.
Tanah milik keret Ohee yang diwarisi secara turun-temurun terletak di Desa Nolokla, Kampung Harapan, sekitar 35 kilometer dari Bandara Sentani, Jayapura. Namun, sejak 1945, lahan itu diduduki tentara Sekutu. Penguasaan tanah secara tidak sah ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda. Saat Irianjaya kembali ke pangkuan Indonesia, pada 1969, sesuai dengan perjanjian New York, lahan itu secara resmi termasuk dalam aset Belanda yang diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sejak itu pula, tanah Ohee dikuasai Pemerintah Daerah Irianjaya, yang kemudian mendirikan kantor-kantor di atasnya.
Pada 1985, Ohee berbulat tekad dan menggugat hak ulayat atau kepemilikan tanah masyarakat adat tersebut. Di tingkat pertama, Ohee menang. Namun, di tingkat banding dan kasasi, ia kalah. Mahkamah Agung (MA) berpendapat bahwa tanah yang digunakan Pemerintah Daerah Irianjaya itu milik negara. Ternyata, melalui vonis peninjauan kembali (PK) pada 28 Juli 1989, MA meralat keputusan sebelumnya. Kali ini, MA menyalahkan tindakan Gubernur Irianjaya, yang mengambil alih tanah Ohee. Karena itu, Gubernur dihukum untuk membayar ganti rugi Rp 18,6 miliar kepada Ohee.
Malang bagi Ohee, eksekusi kemenangannya tak kunjung terwujud. Bahkan, pada 5 April 1995, Ketua MA Soerjono mengeluarkan surat sakti yang isinya menandaskan bahwa vonis PK itu tak bisa dieksekusi. Alasannya, gubernur bukanlah badan hukum publik sehingga tak mempunyai harta kekayaan sendiri. Dengan begitu, gubernur tak mungkin membayar ganti rugi. Tak pelak lagi, surat sakti itu pun menjadi bahan gunjingan di kalangan penegak hukum.
Terpacu oleh semangat reformasi, Ketua Pengadilan Negeri Jayapura, N. Kaban, berani meralat surat sakti tersebut. Pada awal Maret lalu, pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi vonis PK tadi. Namun, pelaksanaannya berkali-kali terhambat. Sampai-sampai, Ohee mengancam akan menduduki lahan tersebut dan mengosongkan seisi bangunannya secara paksa.
Setelah merasa yakin bahwa Gubernur Freddy Numberi tidak sedikit pun menunjukkan itikad baiknya untuk mematuhi putusan MA, pengadilan lantas memblokir dana Rp 5 miliar milik Gubernur di Bank Pembangunan Daerah. Celakanya, Ohee tak bisa langsung mencairkan dana itu karena Gubernur enggan menandatangani berita acara eksekusi. "Sesuai peraturan, untuk mengeluarkan uang negara harus seizin MA. Kalau MA setuju, ya, silakan. Tapi, saya harap pembayarannya secara bertahap atau mencicil," kata Gubernur Freddy.
Sampai pekan lalu, belum ada lampu hijau dari MA. Sementara itu, Ohee, yang tinggal di Perumnas I Waena, Jayapura, amat berharap uang ganti rugi itu bisa digunakan untuk kesejahteraan anggota masyarakatnya, termasuk untuk investasi tambak ikan gabus milik keret Ohee. Namun, paling tidak, Ohee berhasil mencatat langkah maju setelah 14 tahun berjuang dan menunggu. Dan tidak banyak orang yang setangguh dan semujur Ohee.
Bandingkan keberuntungan Ohee dengan nasib sial yang dialami Fistus C. Yom, kepala keret Yom. Sejak Agustus 1992, MA, melalui vonis PK, telah menghukum pemerintah untuk membayar ganti rugi Rp 14 miliar kepada Fistus gara-gara tanah keret Yom seluas 280 hektar dikuasai Komando Daerah Udara VII secara tidak sah dan dijadikan pangkalan TNI-AU. Namun, kemenangan Fistus lagi-lagi ditorpedo oleh surat sakti Ketua MA, saat itu Purwoto S. Gandasubrata.
Terobosan Ohee mungkin saja membuka jalan bagi politik pertanahan yang lebih adil dan memihak rakyat yang berhak.
Hp. S., Kristian Ansaka (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini