Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antisubversi Diganti Antikomunisme

UU Antisubversi dicabut, tapi pemerintah menyodorkan penggantinya: pasal-pasal antikomunisme. Tepatkah alasan hukum yang menilai komunisme sebagai ancaman potensial?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIDAKSIAPAN hidup di tengah alam demokrasi rupanya tetap mewarnai cara pandang pemerintah. Belum lagi masyarakat sempat mensyukuri pencabutan Undang-Undang Antisubversi, pemerintah sudah menyodorkan calon aturan baru, yakni delik antikomunisme. Dengan pasal itu, mereka yang menganut, menyebarkan, atau mendirikan organisasi ataupun berhubungan dengan organisasi yang menganut komunisme bisa dihukum. Semula, banyak orang mengacungkan jempol terhadap semangat pemerintah mencabut Undang-Undang Antisubversi. Peraturan yang menjadi sumber ketakutan selama 36 tahun itu bagaikan pedang Domocles yang setiap saat bisa memenggal kepala pengkritik dan pembangkang pemerintah. Kuncinya ada pada rumusan mengenai subversi, yang luas bak jaring karet yang kenyal dan bisa menjerat ke sana kemari. Undang-undang dengan ancaman hukuman mati itu bisa menahan seseorang sampai setahun tanpa kepastian tentang proses peradilannya. Ternyata, penghapusan Undang-Undang Antisubversi produk 1963 itu tak lantas menjamin rasa tenteram. Soalnya, bersamaan dengan pengajuan rancangan undang-undang pencabutan Undang-Undang Antisubversi, akhir Maret lalu, Menteri Kehakiman Muladi juga menyampaikan pasal tambahan tentang antikomunisme pada rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR. Itu disebut pasal tambahan karena tak semua pasal KUHP diubah. Menteri Muladi hanya menambah enam pasal pada Pasal 107 KUHP tentang makar. Keenam pasal itu berisi larangan mengganti Pancasila serta larangan terhadap komunisme, marxisme-leninisme, dan sabotase. Prakarsa Muladi ini mengejutkan banyak orang. Itu bukan hanya lantaran pengaturan delik ideologi tersebut bertepatan waktu dengan masa rawan menjelang pemilu dan ketika banyak partai politik tumbuh tanpa berasas tunggal Pancasila, tapi juga karena sikap politik yang melatari enam pasal tersebut. Sikap itu mencerminkan kewaspadaan berlebihan terhadap komunisme sehingga pemerintah mengganggap perlu menerjemahkannya ke dalam sejumlah pasal tambahan. Kewaspadaan seperti itu berkesan agak mengada-ada. Selain itu, ada kekhawatiran, karena kekenyalannya, enam pasal tambahan itu bisa saja dikenakan terhadap berbagai perbuatan yang dianggap makar kendati tak ada kaitannya dengan komunisme. Berbicara tentang komunisme, sejarawan Onghokham menyatakan bahwa komunisme sudah bangkrut di seluruh dunia sehingga tidak merupakan ancaman lagi (TEMPO, 29 Maret 1999). Sebagai ideologi pun, komunisme, marxisme, ataupun leninisme, kata pengacara T. Mulya Lubis, sudah kalah, sudah ditinggalkan orang. Jadi, "Komunisme sudah tak relevan untuk diperlakukan sebagai momok. Kalaupun di Indonesia kekuatan komunis dianggap masih ada, berapa sih jumlah mereka? Apa mereka juga bisa melawan kekuatan yang lebih besar, yakni semangat zaman yang tak lagi berpihak pada ideologi pengungkung kebebasan?" ujar Mulya. Apa pun alasan dan kenyataan yang tersaji di depan mata, Muladi tetap berpendapat bahwa komunisme tak pernah mati. Bahkan di Rusia, katanya, kini ideologi kiri tersebut bangkit kembali. Di Indonesia pun, menurut Muladi, dengan masyarakat yang terpuruk dalam kesulitan ekonomi, tak mustahil komunisme akan kembali tumbuh subur. Karena itu, ia beranggapan bahaya komunisme masih potensial untuk merongrong Pancasila sebagai dasar negara. Lagi pula pertimbangan itu bukan hanya berdasarkan pengalaman traumatis Indonesia pada 1948 dan 1965, tapi juga beralaskan ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, yang menegaskan larangan terhadap komunisme, marxisme, dan leninisme. Dari segi hukum positif, berhubung ada ketetapan MPR-nya, alasan Muladi benar. Namun, dari perspektif sosiologis, "Sia-sia bila membuat hukum yang tak sesuai dengan perkembangan sosial," ujar Mulya Lubis. Penyebabnya, tak lain, calon delik ideologi tadi tidak tepat. "Ideologi tak bisa dibendung oleh hukum. Ia hanya bisa dibendung oleh kemakmuran dan keadilan," kata Mulya, sinis. Pendapat senada diutarakan ahli hukum tata negara Sri Soemantri. "Pemerintah berkesan melepas kepala Undang-Undang Antisubversi tapi memegang erat-erat ekornya," ucap Sri Soemantri. Baginya, Undang-Undang Antisubversi mutlak harus dicabut, tanpa ada penggantinya ataupun penyisipan substansinya pada KUHP. Untuk membidik delik keamanan negara, katanya lagi, cukup digunakan pasal-pasal KUHP. Kini terpulang pada DPR untuk mencermati secara serius persoalan itu, supaya tak dianggap ikut punya andil dalam menciptakan sumber kesewenang-wenangan baru. Happy Sulistyadi, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus