Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Orang dari luar Maluku sulit bergabung dengan kelompok Maluku.
Mereka yang bergabung harus mengikuti aturan main.
Di kelompok Maluku berlaku sistem kepangkatan.
IMRON alias Raul Kalila masih ingat betul perkenalannya dengan Umar Ohoteinan alias Umar Kei seperempat abad lalu. Ketika itu, pada 1995, keduanya bertemu karena sama-sama menjaga sebidang tanah sengketa di suatu kawasan di Jakarta. Saat itu, Raul dan Umar belum berada dalam satu kelompok yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, keduanya makin sering bertemu untuk urusan menjaga lahan ataupun penagihan utang. Merasa nyaman dengan temannya itu, Raul mengutarakan niatnya bergabung dengan kelompok yang sedang dibangun Umar. Kepada Raul, Umar mempersilakannya bergabung. “Tapi saya belum diterima dan diakui secara penuh,” ujar Raul ketika dihubungi Tempo, Kamis, 30 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak seperti Umar yang berasal dari Kepulauan Kei, darah Maluku tak mengalir di tubuh Raul. Dia berasal dari Kecamatan Madapangga, Bima, Nusa Tenggara Barat. Jangankan dari daerah lain, kata Raul, orang yang berasal dari Maluku pun sulit bergabung dengan kelompok Umar. Awal bergabung dengan kelompok Umar, dia dicurigai sebagai mata-mata. “Pasukan Bang Umar menganggap saya mata-mata kelompok Flores,” ucapnya.
Ketika itu, kelompok preman memang sedang tumbuh subur di Jakarta. Kelompok Flores yang dimaksud Raul adalah regu Rozario Marshall alias Hercules, yang berasal dari Timor Timur (sekarang Timor Leste). Geng lain dipimpin oleh Basri Jala Sangaji asal Maluku. Ada pula kelompok John Refra Kei yang berasal dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Raul membutuhkan waktu sekitar tiga tahun hingga bisa benar-benar diterima dan diakui oleh Umar Kei serta anggota kelompoknya.
Selama waktu itu, Raul mengalami berbagai pengujian soal kesetiaan, kejujuran, dan nyali oleh Umar serta anak buahnya. Untuk kejujuran, Raul harus menyampaikan segala hal apa adanya dan dilarang mengambil keuntungan pribadi dari nama Umar. Sedangkan soal nyali, Raul tak boleh menolak tugas apa pun yang jatuh kepadanya. Ihwal kesetiaan, ia tak boleh mengkhianati kelompoknya dan selalu berada di dekat Umar dalam kondisi apa pun, termasuk saat keadaan susah. “Ketika Bang Umar sakit dan lagi tidak ada duit, saya ada di sampingnya,” katanya.
Raul tak mau hanya mengandalkan otot untuk mencari duit. Pada 2009, dia mengajak Umar kuliah di salah satu kampus di Jakarta Timur. Raul menjadi sarjana hukum dua tahun kemudian. Dia kini menempuh pendidikan doktoral hukum. Adapun Umar, yang kini berusia 44 tahun, enggan menanggapi soal persyaratan bergabung dengan kelompoknya. Namun, dalam wawancara dengan Tempo pada 2010, Umar mengaku mempersilakan siapa saja bergabung dengan kelompoknya.
Imron alias Raul Kalila. Dok. Pribadi
Menurut Raul, kelompok Umar masih memiliki daya pikat bagi pemuda dari Maluku ataupun Indonesia bagian timur. Organisasi yang didirikan Umar pada 2010, Front Pemuda Muslim Maluku, juga dianggap menarik perhatian anak-anak muda dari daerah tersebut. Selain itu, Raul menilai Umar tak pelit. Dia mencontohkan, Umar kerap memberangkatkan anak buahnya umrah ke Arab Saudi. Begitu pula dalam pembagian duit. “Kalau dapat Rp 1 miliar, setengahnya dibagi ke anggota kelompok,” tuturnya.
Raul menuturkan, pola rekrutmen kelompok itu tak berbeda jauh dibandingkan dengan 1990-an. Pemuda dari Maluku yang datang ke Jakarta bisa langsung bergabung dengan kelompok Umar. Tapi anak-anak baru itu harus mengikuti aturan main dan pantang menolak tugas. “Kalau menolak, kena hukuman,” ujarnya. Salah satu hukumannya, kata Raul, hujan bogem dari anggota kelompok.
Mereka yang mengikuti tugas bakal mendapat ganjaran. Raul mencontohkan, seorang penagih utang bisa mendapat hingga Rp 20 juta dari mobil yang pembayaran kreditnya macet. Seorang pentolan penyedia jasa penjagaan lahan dan penagihan utang mengatakan upah untuk keroco yang menjaga lahan bisa setara dengan upah minimum Jakarta atau lebih dari Rp 4 juta per bulan. Sedangkan bos mereka bisa menerima duit hingga 30 persen harga tanah yang dijual.
Pola perekrutan yang mirip juga terjadi di kelompok Agrapinus Rumatora alias Nus Kei. Salah satu anggota Nus Kei, Jemmy Rema, menuturkan, kelompok itu menampung anak-anak muda dari Maluku yang tak punya tempat tinggal saat merantau ke Jakarta. “Tidak sampai merekrut orang dari kampung dan membawanya ke Jakarta,” ujarnya pada Kamis, 30 Juli lalu.
Nus Kei sebelumnya bergabung dengan kelompok John Refra Kei sejak 1996. Ia memilih keluar pada 2016 karena suatu perselisihan. “Kalau seseorang tidak nyaman, apakah harus bertahan? Tidak, dong,” ucapnya. Nus Kei mengatakan dia tidak merekrut anak muda untuk melakukan pekerjaan semisal menjaga tanah sengketa, menagih utang, ataupun menjadi petugas keamanan. Dia mengklaim mereka direkrut untuk bekerja di perusahaan hukum miliknya. “Bisnis saya banyak,” ujarnya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Tubagus Ade Hidayat, yang memetakan kelompok preman di Jakarta, menuturkan, kelompok dari timur Indonesia yang dikenal sebagai kelompok Ambon berkembang setelah terjadi konflik agama di Maluku pada 1999. Ketika itu, banyak orang Maluku hijrah ke Jakarta karena persoalan ekonomi. Di Ibu Kota, orang-orang dari Maluku tersebut bekerja mengamankan tempat hiburan ataupun perusahaan. “Mereka tumbuh karena ada yang memakai jasanya,” katanya pada Rabu, 29 Juli lalu.
Belakangan, pola kerja kelompok-kelompok itu mulai berubah. Tubagus mencontohkan, mereka membuat badan hukum untuk bekerja sama di sektor keamanan ataupun penjagaan lahan. Imron alias Raul Kalila mengakui kelompoknya pun sudah berbadan hukum. Meski sudah membuka kantor pengacara, Raul juga punya perusahaan penyediaan jasa penagihan dan keamanan. “Untuk kerja sama yang lebih kuat, ada hitam di atas putih,” ujarnya. Dua sumber Tempo yang merupakan pekerja bank dan leasing menyebutkan perusahaannya kini hanya bekerja sama dengan kelompok penagih yang berbadan hukum.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Tubagus Ade Hidayat. Tempo/Egi Adyatama
Menurut Tubagus, kelompok preman juga memiliki sistem kepangkatan. Biasanya yang senior menjadi koordinator dan tak lagi menjadi penagih utang atau penjaga tanah sengketa. Dalam regu itu pun ada perilaku yang membuat bangga. Misalnya, kata Tubagus, mereka yang sering melakukan kekerasan atau pembunuhan akan lebih dipandang. Derajatnya pun makin tinggi jika masuk-keluar penjara berkali-kali. “Yang tertinggi adalah masuk Nusakambangan,” ujarnya.
Tubagus mengatakan ada sejumlah pantangan di dalam kelompok Maluku. Salah satunya adalah mencuri. Kelompok Maluku lebih baik memeras daripada mencuri. Namun Nus Kei menampik pernyataan Tubagus mengenai orang yang dipenjara akan makin dipandang. “Kami suruh tobat dan pulang kampung,” tuturnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, MUSTAFA SILALAHI, GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo