Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG akhir Juni lalu, rumah Agrapinus Rumatora alias Nus Kei di perumahan Green Lake City, Kota Tangerang, Banten, mendadak disatroni puluhan preman. Anak buah John Kei menyerbu untuk menuntut bagian duit penjualan tanah di Ambon, yang telah lama menjadi duri dalam daging keluarga Kei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerangan kelompok John Kei langsung menjadi berita besar. Bentrokan dua preman dari Ambon ini juga memantik pertanyaan soal jaminan keamanan di Ibu Kota. Pasalnya, John dan Nus Kei sama-sama memimpin kelompok preman besar yang didominasi anak muda dari Indonesia timur. Ditemui pada Kamis, 30 Juli lalu, di sebuah kafe di dekat Markas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Nus Kei menjelaskan asal-muasal konfliknya dengan gamblang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah konflik Anda dengan John Kei dipicu perebutan duit ganti rugi lahan di Ambon?
Betul. Ada beberapa pihak yang bersengketa terkait dengan ganti rugi lahan Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Ambon. Salah satunya keluarga Yohanes Tisera. Dia menghubungi saya setelah pengacaranya, Tito Kei, meninggal.
Kami lalu bertemu di Jakarta dan membicarakan sengketa itu bersama John Kei. Kasus itu lalu diurus pengacara yang baru dan menang.
Apa yang membuat John marah?
Setelah kasus itu menang, dia tidak sabaran. Saya ditelepon terus soal pembayaran ganti rugi lahan dari Pemerintah Provinsi Maluku. Saya bilang, pemerintah itu punya mekanisme. Uang pembayaran lahan harus dianggarkan lebih dulu dan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tapi dia tidak mau tahu. Di situlah kami mulai ribut.
Itu yang membuat Anda keluar dari kelompok John Kei?
Saya keluar dari Perumahan Tytyan Indah (markas kelompok John Kei di Bekasi, Jawa Barat) pada 2016. Saya lalu pindah ke Bintara, Bekasi. Tapi John Kei makin menjadi-jadi. Dia suruh orang-orangnya meneror saya. Karena tidak nyaman, saya pindah ke perumahan Green Lake, Cipondoh, Tangerang. Semula saya kira teror itu sudah selesai, ternyata tidak....
Anda dianggap tidak loyal karena membuat kelompok baru....
Loyalitas yang mana? Emangnya dia gaji saya? Selama ini kami cari makan sendiri-sendiri, kok. Toh, sebelum masalah ini muncul, apa yang dia suruh kami kerjakan. Adik-adik itu sedari awal sudah sama saya. Mereka anak dari kakak-kakak kami. Orang-orang ini satu kampung semua. Kami ini satu. Saya tidak bikin kelompok baru.
Anda pernah meminjam Rp 1 miliar dari John Kei?
Saya ingin luruskan. Uang Rp 1 miliar itu merupakan pinjaman seorang kawan saya—dia kawan John Kei juga—untuk penyelesaian perkara di Ambon. Setelah putusan pengadilan, John suruh orangnya untuk menagih ke saya. Padahal saya sudah tidak punya urusan lagi di Ambon. Jadi cara-cara dia menyelesaikan masalah itu yang buat kami tidak nyaman.
Soal sengketa lahan di Rumah Sakit Dr M. Haulussy, Ambon, mengapa John Kei gencar menagih bagiannya?
Mungkin karena yang mengurus kasus tersebut pertama kali adalah adiknya yang meninggal itu (Tito Kei). Saya tidak tahu persis komitmen pembagian fee di antara mereka. Menurut saya, ini masalah sederhana jika diselesaikan secara sabar. Apalagi, dari total nilai kompensasi tanah sebesar Rp 49 miliar, sebesar Rp 10 miliar sudah dibayar pemerintah. Pada Agustus ini akan dicairkan lagi Rp 3 miliar.
Apa Anda sempat berusaha berdamai?
Sudah sering. Saya berulang kali menelepon dia, tapi tidak diangkat. Lalu saya kirim pesan lewat WhatsApp: “Ini masalah kita berdua, jangan libatkan orang lain.” Kalau mau ikut aturan adat, semestinya dia yang mendatangi rumah saya, karena saya paman dan lebih tua. Tapi saya mengajak dia bertemu di tempat netral, Plaza Indonesia. Itu pun tidak ditanggapi.
Apa ada kemungkinan bentrokan berlanjut?
Saya tetap memposisikan diri sebagai orang tua, sebagai seorang paman. Saya tidak mungkin berbuat onar. Apalagi dia sekarang sudah di penjara. Buat saya sudah selesai. Saya damaikan orang-orang di sini karena mereka keluarga kami juga. Kita ingin hidup damai sebagai satu keluarga. Saya sudah maafkan kejadian kemarin.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo