Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Repotnya mati di laut

Perahu nelayan ditabrak kapal di pantai gresik, jatim. perahu tenggelam, 3 nelayan tewas. perkara selesai dengan membayar ganti rugi rp 12 juta bagi penabrak, kasus pidananya dapat dituntut di pengadilan.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYELESAIAN perkara dengan ganti rugi, tampaknya, akan sering terjadi pada kasus kecelakaan di laut. Cara penyelesaian perkara tanpa lewat pengadilan itu akhirnya juga dilakukan oleh PT Sarpindo, pemilik kapal yang dituduh menabrak perahu nelayan, 23 Juli lalu. Sarpindo, akhir bulan lalu, membayar ganti rugi itu kepada para nelayan yang menjadi korban tabrak lari itu uang sejumlah Rp 12 juta. Peristiwa kecelakaan itu terjadi suatu malam ketika keadaan cuaca buruk, Gansar, sebuah perahu nelayan, lego jangkar di tengah laut. Entah mengapa, tiba-tiba saja perahu berukuran 4 x 11 meter itu ditabrak sebuah kapal tongkang, Samudera 105, yang bersama tongkang lainnya, Cimawis 103, sedang ditarik kapal tunda Setco Pribumi. Lambung kiri perahu nelayan itu terbelah. Dua belas nelayannya terpelanting ke laut. Di tengah malam buta, pada posisi sekitar 40 mil dari pantai wilayah Gresik-Lamongan, Jawa Timur, perahu langsung terkubur di dasar laut. Tiga nelayan hilang, sembilan lainnya selamat. Tapi pihak yang dituduh, Mozes Bawole, nakoda kapal Seco Pnbumi, membantah. "Selama di perjalanan, kapal kami tidak mengalami peristiwa apa pun, selain cuaca buruk itu," katanya. Karena itu, pihak PT Sarpindo menganggap berita acara Kecelakaan Tabrak Larl yang dibikin dinas perikanan itu mengada-ada. "Kami tetap menyanggah," tulis Moegasio Jusuf, Direktur Pelayaran PT Sarpindo, ke Dinas Perikanan Gresik pada 12 Oktober. Sekalipun begitu -- mungkin setelah HNSI Gresik ikut mempersoalkan peristiwa itu lewat DPRD setempat -- ganti rugi akhirnya diberikan juga. Ganti rugi itu, yang Rp 12 juta, Rp 9 juta di antaranya diberikan kepada Amri, pemilik perahu yang ditabrak, sementara sisanya masing-masing Rp 1 juta diberikan kepada keluarga korban yang hilang. Amri sendiri, yang semula menuntut ganti rugi Rp 15 juta, puas dengan uang yang diperolehnya itu. Marli, petugas KUD Mina Budirejo, yang mewakili tiga keluarga korban, juga tak banyak cingcong. "Kami nggak akan memperkarakan. Setuju menerima santunan Rp 1 juta per kepala. Itu lumayan, lho." kata Marli. Penyelesaian ganti rugi mestinya tak berarti proses pidananya ikut selesai. Tapi menuntut perkara itu di pengadilan sering tidak mudah. Apalagi soal kelengkapan surat perahu, surat izin melaut, dan bukti-bukti pemilikan lainnya, yang biasanya tak dipunyai lengkap oleh nelayan, sering membuat mereka dalam posisi terpojok. Sebagai contoh, Subandio, dari Dinas Perikanan Gresik, menyebut kasus nelayan Bawean yang perahunya tertabrak di siang bolong tahun lalu. Pihak penabrak, melalui penengah Syahbandar, sesungguhnya akan memberi ganti rugi Rp 5 juta. Tapi nelayan menolak. Lebih baik ke pengadilan saja. Sampai di pengadilan harapan nelayan ternyata nihil. Ia dikalahkan karena tak punya bukti-bukti surat tadi. "Pengalaman ini membuat nelayan ogah ke pengadilan," kata Subandio. Pendapat Wiyono, Sekretaris Ikadin Jawa Timur, lain lagi. Menurut dia, apa yang telah diterima keluarga korban hanyalah uang duka. "Secara yuridis, sekalipun ada perdamaian, itu tidak menghilangkan perbuatan pidana si nakoda yang main tabrak itu," katanya. Prof. Komar Kantaatmadja, ahli hukum laut, punya pendapat senada. "Pada prinsipnya, pihak yang menabrak dapat dituntut di pengadilan," katanya serius. Sekalipun misalnya, korban karena hilang, belum ketahuan meninggal sehingga tak mungkin diperoleh visum kematiannya. "Orang yang tertabrak tersebut 'kan dinyatakan hilang. Nah, kalau hilang 'kan tak dapat dibuatkan visumnya. Tapi bukannya lantas kasusnya dinyatakan hilang," tambahnya. Caranya, pihak pengadilan akan mengatakan bahwa orang yang hilang itu dikatakan missing person. Dan dibuatlah berita acaranya. "Nah, cara ini sudah langsung dapat untuk menuntut pihak penabrak," kata Prof. Komar Kantaatmadja tegas. Artinya, uang santunan bukan berarti membungkam kasus pidananya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus