PENGGUGAT penasihat hukum kini tampaknya tambah sering dilakukan para klien. Seorang pencari keadilan. Nyonya Tan Ten Nio, misalnya, baru-baru ini mengadu ke LBH Jakarta. Wanita berusia 50 tahun itu mengaku telah ditipu konsultan hukum, Alexander Subekti Hakim. Kejadiannya dimulai Maret lalu. Ketika itu, Nyonya Ten Nio pening memikirkan nasib menantunya, Aus Wibowo, 49 tahun, yang meringkuk dalam sel Polres Jakarta Pusat. Atas saran Agus, yang ditahan dalam perkara penipuan, Nyonya Ten Nio menghubungi Pak Hakim -- panggilan sehari-hari Alexander Subekti Hakim. Agus sudah lama kenal dan juga jadi pasien Pak Hakim. Tawar-menawar pun berlangsung antara Nyonya Ten Nio dan Hakim, di tempat prakteknya, klinik Yayasan Pengobatan Tradisional-Modern, di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Lantas disepakati dana yang diperlukan Rp 3 juta. "Kalau saya tidak mengurus Agus, duit akan saya kembalikan," janji Hakim, seperti dituturkan Nyonya Ten Nio. Sebagai pembayaran pertama, Nyonya Ten Nio memberikan Rp 1,5 juta, hasil menjual motor. "Pak Hakim berjanji, sanggup berusaha agar Agus dikenai tahanan luar," kata Nyonya Ten Nio. Tak lupa, kuitansi pembayaran juga dibuat. Pembayaran berikutnya akan digunakan untuk pengurusan perkara di pengadilan. Dan, "Akan saya bayar kalau Agus sudah bisa sepuluh hari saja di rumah saya," tutur si Nyonya. Tapi harapan Nyonya Ten Nio jadi sirna. Malah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir Juni lalu, mengganjar Agus dengan hukuman 1 tahun penjara, tanpa pernah Agus menikmati tahanan luar sedikit pun. Tentu saja Nyonya Ten Nio berang. Soalnya, si konsultan hukum dituduh tak pernah mengurus Agus, baik saat penyidikan di polisi maupun di pengadilan. Memang, Hakim pernah mewakili sidang praperadilannya. Tapi, setelah itu, "Dia melepaskan tanggung jawab," ujar Nyonya Ten Nio. Sesuai dengan perjanjian, menurut Nyonya Ten Nio, ia berusaha menagih kembali uang Rp 1,5 juta itu. Tugas tersebut diserahkan pada anak lelakinya, Yohannes. Setelah dua kali menemui Hakim, Yohannes bersama empat temannya berhasil memperoleh secarik cek. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan rumah Hakim, kawanan Yohannes itu disergap pihak berwajib. Alexander Subekti Hakim, 45 tahun, rupanya sebelumnya melaporkan kedatangan Yohannes dan kawan-kawannya kepada yang berwajib. Soalnya, sudah lama ia merasa diteror pihak Nyonya Ten. Lebih dari itu, "Saya dikibuli, juga dijebak," kata lelaki yang mengaku konsultan dalam segala bidang, mulai dari soal medis, komputer, psikologi, hingga hukum. Menurut Hakim, yang cuma menyantuni izin praktek medis itu, muslihat Nyonya Ten Nio diketahui pada saat-saat permulaan sidang. Waktu itu Nyonya Ten Nio mengatakan, perkara Aus itu semata perdata, dan penahanan Aus tanpa dilengkapi surat. Ternyata, "Di sidang, Nyonya Ten Nio malah menunjukkan adanya surat penahanan. Ia juga bilang bahwa Agus sudah terlibat empat perkara pidana," ujar Alexander Hakim. Sejak itulah, ia mengalihkan perkara Agus pada pengacara lain. Tentang uang yang sudah masuk koceknya? "Itu hak saya," kata Alexander Hakim tandas. "Waktu saya yang dihabiskan untuk mengurus Agus sudah 15 jam," tambahnya. Di kliniknya, Hakim memasang tarif US$ 100 per jam konsultasi. Menurut Hakim, sekalipun gagal, ia sudah mengusahakan tahanan luar bagi Agus. Di antaranya, mengirim permohonan ke polisi dengan alasan Agus mengidap sakit komplikasi. Siapa yang benar, hingga kini, memang belum jelas. Kalau benar keterangan Nyonya Ten Nio, "Hakim bisa disebut calo hukum yang merugikan masyarakat dan mencemarkan profesi," kata Djoni Irawan, dari LBH Jakarta. Untuk itulah Alexander Hakim dipanggil LBH pada Senin pekan ini. Jika tidak datang, "Perkara akan diteruskan ke polisi," ujar Djoni. Kasus hampir serupa terjadi juga di Pengadilan Negeri Tangerang, akhir September lalu. Begitu palu vonis diketukkan majelis hakim yang diketuai Edison Siahaan, terjadi kericuhan. Pihak keluarga terdakwa protes atas human, masing-masing 7 tahun penjara, bagi keempat terdakwa -- dalam perkara percobaan pembunuhan. Usai sidang, Pengacara Witono kena tumpahan caci maki. "Pak Wit, kok jadi begini?" kata Sidik, salah seorang terdakwanya, "Keluarga saya 'kan sudah bayar?" Menurut pihak keluarga terdakwa, mereka pernah memberi uang Rp 2 juta lebih pada si pengacara. Tak lain guna memperjuangkan nasib anggota keluarga mereka, yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. "Mereka itu kena fitnah," tutur Nyonya Suyani, orangtua tiga terdakwa. "Makanya, Ibu bela-belain, deh, mengumpulkan uang untuk Pak Wit." Kemudian uang diberikan dalam dua tahap pada Maret lalu. Si pengacara menjanjikan, para terdakwa pasti memperoleh tahanan luar. "Pak Wit bilang, uang itu akan dibagi-bagi, untuk polisi, jaksa, dan hakimnya," kata Amu, 35 tahun, kakak Sidik. Kabarnya, begitu besarnya harapan mereka sampai-sampai sempat mengadakan kenduri, sekalipun belum ada keputusan pengadilan. Namun, janji tinggal janji. Hingga putusan hakim dibacakan, mereka tak bisa berkumpul. Witono mengaku hanya menerima separuh uang yang disebut pihak keluarga terdakwa itu. Menurut pengacara ini, ia tidak pernah menjanjikan tahanan luar. "Uan itu untuk membayar jasa saya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan pihak lain, baik polisi, jaksa, maupun hakim," ujarnya. Bahkan kini ia masih mengurus upaya bandingnya. Aib yang melumuri penasihat hukum tampaknya selalu berkait dengan soal honor dan janji. Di Samarinda, hingga pekan ini, Nyonya Margaretha bersengketa dengan bekas penasihat hukumnya, Herry Tombeng. Si klien berdalih, pengacaranya itu berusaha memeras koceknya. Sementara itu, si pengacara menggugatnya agar membayar kekurangan honor setelah perkara dimenangkannya. Belum jelas, memang, adakah dari berbagai kasus di atas, para penasihat hukum itu berada pada posisi salah. Sebab, mungkin para klienlah yang terlalu berharap banyak. Yang pasti, kasus menggugat penasihat hukum kini sering terjadi. Happy S. dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini