SEORANG saksi di pengadilan harus disumpah. Kewajiban ini, selain berlaku sangat umum, juga tercantum dalam KUHAP. Karena itu, ketika terdakwa perkara kejahatan komputer di BNI 1946, New York, Seno Adji, menolak disumpah, kejadian ini segera saja mengundang persoalan. Seno, yang dituduh jaksa terlibat komplotan pembobol uang BNI sebanyak US$ 18 juta atau Rp 30 milyar, menolak diambil sumpahnya ketika dihadapkan sebagai saksi dalam perkara rekannya, Rudy Demsi. "Saya bersedia memberikan keterangan sebagai saksi, tapi saya menolak untuk disumpah berdasarkan pasal 168 sub B, KUHAP," kata Seno Adji di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Sikap Seno Adji menjadi menarik karena belum pernah terjadi selama ini. Padahal, dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, pihak kejaksaan sudah biasa memisahkan terdakwa dalam kasus yang sama, agar terdakwa yang satu menjadi saksi untuk terdakwa lainnya, begitu pula sebaliknya. Dalam kasus Jhony Ayal (pembunuhan Roy Bharya), kasus Jhony Sembiring (pembunuhan Steven Adam), misalnya, semua terdakwa bersedia menjadi saksi untuk perkara terdakwa yang lain. Dengan cara itu pula seorang terdakwa yang berniat berbohong bisa terjebak. Sebab, ketika menjadi saksi, karena diikat sumpah, ia wajib memberikan keterangan sebenarnya -- bila melanggar bisa dituntut pasal sumpah palsu, yang diancam hukuman 7 tahun. Kasus pembobolan BNI 1946 itu termasuk kategori yang rumit dalam pembuktiannya. Rudy dan Seno dituduh jaksa, di akhir Desember 1986, dengan sebuah Personal Computer (PC), melalui modem (alat yang memungkinkan komputer berkomunikasi lewat telepon), mentransfer uang BNI 1946 Pusat dan BNI 1946 New York di City Bank beberapa bank di Panama, Hong Kong, dan Luksemburg. Kejahatan dengan teknologi canggih itu konon dilakukan kedua terdakwa dari sebuah kamar hotel di New York, tanpa ada saksi lain yang melihatnya (TEMPO, 24 Oktober). Sebab itu, penolakan Seno Adji untuk diambil sumpahnya sebagai saksi mengagetkan hakim dan jaksa. Penegak hukum itu terpaksa membalik-balik pasal KUHAP yang menyinggung soal itu. Begitu juga pengacara mereka, Hotma Sitompul dan M. Asegaff. Pasal yang ditunjuk Seno itu mengatur orang-orang yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi yaitu: "... saudara dari terdakwa atau 'yang bersama-sama sebagai terdakwa'...." Dalam penjelasan undang-undang hanya disebutkan pasal itu "cukup jelas". "Ternyata, pasal itu kini masih memerlukan penjelasan lebih lanjut," kata Asegaff. Ia mendukung pendapat kliennya itu. "Seno memang menafsirkan pasal itu secara harfiah, tapi menurut saya penafsirannya itu mendekati maksud kata-kata yang ada di pasal itu," kata Asegaff lagi. Penafsiran Seno itu tidak bisa diterima majelis hakim maupun jaksa. Jaksa Chairuman Harahap menganggap yang dimaksud pasal itu, yang tidak bisa didengar kesaksiannya adalah orang yang masih bersaudara dengan terdakwa atau bersaudara dengan rekan terdakwa. "Jadi, seseorang yang masih bersaudara dengan Seno misalnya tidak bisa menjadi saksi dalam perkara Seno dan juga Rudy. Sebab, Rudy sama-sama terdakwa dengan Seno, kata Chairuman. Majelis Hakim yang diketuai Gde Sudharta pun membantah keras penafsiran Seno Adji atas pasal yang diributkan itu. "Yang bisa mengundurkan diri itu adalah saudara sedarah atau berhubungan semenda dengan terdakwa," ujar Gde Sudharta, yang mengakui kasus itu baru pertama kalinya terjadi. Kata-kata yang menyebutkan "yang bersama-sama sebagai terdakwa" ditafsirkan Sudharta sebagai bersama-sama dalam satu berkas perkara. "Lha kalau Rudy dan Seno itu 'kan perkaranya di-split (dipisahkan)," kata Sudharta, yang sudah 23 tahun menjadi hakim. Perbedaan penafsiran tentang pasal 168 sub B KUHAP itu sempat membuat persidangan menjadi tegang. Sebab, Seno bertahan pada pendapatnya sendiri, sementara majelis hakim dan jaksa juga ngotot dengan penafsirannya. "Seharusnya kalau ia konsekuen dengan sikapnya, ia bukan tidak mau disumpah tapi mengundurkan diri dari saksi," kata Sudharta lagi kepada TEMPO. Setelah dua kali sidang diskors akhirnya majelis hakim memerintahkan agar Seno yang memang sudah ditahan, dikenai kurungan 14 hari karena membandel perintah hakim untuk disumpah. "Kurungan itu di luar jangka waktu penahanannya," tambah Sudharta. Baik Seno maupun Rudy, yang pada Kamis pekan lalu juga menolak mengucapkan sumpah dalam perkara Seno, tetap bertahan tidak mau disumpah walau harus dikurung. Sementara itu, Rudy mengatakan tidak bersedia disumpah karena takut kesaksiannya akan berbeda dengan keterangan di dalam perkaranya sendiri. "Daripada saya plintat-plintut, dan hukuman saya bertambah berat, lebih baik dikurung, katanya. Persoalan yang belum tuntas adalah tentang berhak tidaknya Seno atau Rudy mundur sebagai saksi di perkara rekannya. Baik hakim, Jaksa, maupun pengacara, selain berbeda pendapat, juga beranggapan ketentuan yang diatur KUHAP itu tidak jelas, sehingga megundang berbagai penafsiran. "Belum ada yurisprudensi tentang itu," kata Sudharta. "Dalam hal itu KUHAP masih mengandung kelemahan," komentar Seno, yang mengaku baru mempelajari KUHAP sejak di tahanan. Kecuali itu di KUHAP juga tidak diketemukan maksud pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal itu (memorie' van toelichting), yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk menafsirkannya. Tapi V.B. Da Costa, bekas anggota DPR, yang ikut aktif merumuskan undang-undang itu, menganggap undang-undang itu sudah jelas. "Jangan pasal itu ditafsirkan sepotong-sepotong tapi harus keseluruhan," katanya. Jadi maksud pasal itu, menurut Da Costa, tidak bisa menjadi saksi saudara terdakwa atau orang yang bersama-sama terdakwa. Persis dengan penafsiran Jaksa Chairuman Harahap. Artinya Seno Adji memang harus dikurung. "Guna kepentingan negara kok enak saja tidak mau menjadi saksi," ujar Da Costa. Karni Ilyas, Happy S., dan Agus Wahid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini