Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) baru perihal HAM. Yusril menuturkan upaya itu meneruskan kebijakan sebelumnya yang sudah dimulai pada pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.
“Sudah ada draf atau konsep tentang Rencana Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mudah-mudahan mengadopsi prinsip-prinsip universal tentang KKR ini yang dipelajari dari banyak negara,” kata Yusril saat menghadiri peringatan Hari HAM Sedunia di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma yang ada di dalam UU KKR tidak memiliki kepastian hukum untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Putusan MK itu dibacakan dalam sidang pleno pada 7 Desember 2006 yang dipimpin Ketua MK ketika itu Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (sekarang Ketua Majelis Kehormatan MK) mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Palguna, permohonan uji materi yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) itu seharusnya tidak dapat diterima. Palguna mengatakan kebenaran akan sulit diungkap jika UU KKR ‘dicabut’.
Komisi XIII DPR Dukung RUU KKR demi Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mendukung komitmen pemerintah membahas RUU KKR baru karena diperlukan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“UU ini perlu untuk adanya penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu, perlindungan HAM masa kini, dan pencegahan terjadinya pelanggaran HAM masa yang akan datang," kata Hugo di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.
Dia menuturkan RUU itu dulu merupakan inisiatif DPR yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tetapi MK membatalkan UU tersebut pada 2006.
“Oleh karena itu, kalau memang serius, sebaiknya pemerintah mengambil inisiatif untuk mengajukan kembali,” ujarnya.
Komnas HAM Siap Bantu Pemerintah Susun RUU KKR
Adapun Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan lembaganya siap membantu pemerintah menyusun kembali RUU KKR. Dia menuturkan Komnas HAM akan berpartisipasi aktif bila dibutuhkan, guna membantu menyusun poin-poin yang harus dimasukkan dalam RUU itu.
“Untuk Komnas HAM, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), disebutkan juga bahwa bentuk penyelesaian lain untuk pelanggaran berat adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata Atnike di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, apabila pemerintah nanti akan mengusulkan dan membahas lagi mengenai RUU KKR, maka Komnas HAM akan mengawal dan memastikan korban menerima keadilan sebagaimana mestinya.
“Kami akan menawar dan memastikan bahwa korban pelanggaran HAM akan mendapatkan mekanisme yang dapat memberikan keadilan sebagaimana mestinya," ujarnya.
Atnike menambahkan keadilan itu sangat penting diwujudkan agar bangsa Indonesia bisa dapat melangkah ke depan lebih baik lagi, dengan situasi penegakan HAM yang berkeadilan.
Selain UU Nomor 26 Tahun 2000, Komnas HAM juga berkomitmen menerapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyebutkan penanganan kasus dilakukan melalui fungsi pemantauan, pengawasan, penyelidikan, dan mediasi.
ANTARA
Pilihan editor: Megawati: Pilpres Cacat, MK Sekarang Tak Bertaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini