Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Etik Bukan Akhir Kasus Polisi Memeras Penonton DWP 2024

Polri memberi sanksi pemecatan terhadap dua anggotanya yang terlibat pemerasan penonton DWP 2024. Namun belum ada proses pidana.

2 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perhelatan musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, 13 Desember 2024. TEMPO/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KKEP telah menjatuhkan sanksi pemecatan kepada dua polisi yang terlibat pemerasan penonton konser musik DWP 2024.

  • Para pakar menilai sanksi tersebut harus diikuti dengan proses pidana.

  • Tak hanya karena melakukan pemerasan, para pelaku juga dinilai bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi karena menyalahgunakan jabatannya.

KOMISI Kode Etik Polri (KKEP) menggelar sidang maraton sejak Selasa siang, 31 Desember 2024, hingga Rabu dinihari, 1 Januari 2025. Sidang itu berhubungan dengan kasus pemerasan penonton pergelaran musik Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024. "Sejak pukul 11 siang sampai pukul 4 pagi, saksi demi saksi dimintai keterangan. Saksi yang memberatkan dan meringankan saling crosscheck (diuji). Proses ini membuat peristiwa menjadi lebih terang," ujar Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Choirul Anam, yang mengikuti sidang tersebut, kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Rabu, 1 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski sudah menghabiskan waktu sekitar 16 jam, sidang itu hanya menghasilkan putusan terhadap dua dari 36 polisi yang diduga terlibat. Keduanya adalah Direktur Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak dan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Yudhy Triananta Syaeful yang mendapat sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sementara itu, sidang terhadap Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Malvino Edward Yusticia diskors karena waktu sudah tidak memungkinkan dan baru akan kembali digelar pada hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anam menceritakan, KKEP secara komprehensif menggali bukti, merunut alur kejadian, hingga memeriksa aliran dana sebesar Rp 2,5 miliar yang didapat para polisi tersebut dalam kasus ini. Dia memastikan Polri telah menangani kasus ini sesuai dengan prosedur. "Semua diperiksa, siapa yang menggerakkan, siapa yang terlibat, bahkan bagaimana uang mengalir," katanya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan belum bisa mengungkap lebih jauh hasil sidang etik. Ia menyebutkan hal tersebut akan disampaikan dalam konferensi pers seusai sidang etik lanjutan. "Semua keputusan sidang akan disampaikan melalui konferensi pers setelah sidang satu orang (M) terduga pelanggar yang diskors rampung dilakukan," tuturnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Januari 2025. Truno menyatakan kehadiran Kompolnas dalam sidang etik sebagai bentuk transparansi. 

Anggota Kompolnas, Muhammad Choirul Anam (kedua dari kiri), dan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim (kanan) berbicara kepada awak media perihal kasus dugaan pemerasan warga Malaysia oleh oknum polisi dalam Djakarta Warehouse Project (DWP) di gedung Mabes Polri, Jakarta, 24 Desember 2024. ANTARA/Nadia Putri Rahmani

Dugaan pemerasan itu terjadi saat pergelaran DWP 2024 di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 13-15 Desember 2024. Belakangan, sejumlah penonton asal Malaysia bercerita di dunia maya soal pemerasan oleh polisi dengan modus razia narkoba. Dalam komentar di media sosial Instagram, beberapa korban mengaku terpaksa menyerahkan sejumlah uang karena polisi mengancam akan menahan mereka. Salah satu korban bahkan menyebutkan kerugian kolektif mencapai 9 juta ringgit Malaysia atau sekitar Rp 32 miliar.

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim mengaku pihaknya menerima laporan dari dua korban. Menurut dia, jumlah total korban yang mengalami pemerasan mencapai 45 orang. Namun Abdul menyatakan jumlah uang hasil pemerasan yang mereka temukan tak sebesar yang beredar di media sosial. “Total ada 45 warga Malaysia yang menjadi korban pemerasan dengan nilai barang bukti yang diamankan Rp 2,5 miliar,” ucapnya di gedung Mabes Polri, Selasa, 24 Desember 2024.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lantas memutasi 36 anak buahnya yang diduga terlibat dalam perkara tersebut. Sebanyak 23 di antaranya berasal dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, sementara sisanya 7 orang berasal dari Satuan Reserse Kepolisian Resor Jakarta Pusat, 5 orang dari Kepolisian Sektor Kemayoran, dan 1 dari Polsek Tanjung Priok.

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto mengklaim akan menindak semua anggotanya yang terlibat dalam pemerasan penonton DWP. Namun dia meminta semua pihak tak menghakimi anggotanya yang dimutasi tersebut. "Di sini tetap ada asas praduga tidak bersalah. Dia dinyatakan bersalah apabila ada suatu proses persidangan yang berkaitan dengan oknum-oknum Polri," kata Karyoto dalam rilis akhir tahun di Balai Pertemuan Polda Metro Jaya, Selasa, 31 Desember 2024.

Dalam acara itu, Karyoto menjelaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan kasus ini ke Mabes Polri. Karyoto sempat bertanya kepada Kepala Bidang Propam Polda Metro Jaya Komisaris Besar Bambang Satriawan soal jumlah pelanggaran etik anggota yang ditanganinya. "Pak Bambang, yang kita tangani ada berapa?" tanya Karyoto. Bambang awalnya menyatakan ada 21 personel yang mereka tangani, tapi semuanya telah dialihkan ke Mabes Polri.

"Kalau yang kita proses?" tanya Karyoto. "Semuanya 36, sudah diambil alih Mabes," ujar Bambang. 

Bambang belakangan membantah pernyataannya tersebut. “Dalam pemeriksaan itu, bisa saja orang yang diperiksa belum tentu keterlibatannya karena semua ditangani oleh Mabes,” tutur Bambang kepada Tempo melalui sambungan telepon, kemarin.

Dia pun meralat informasi tentang 36 personel yang diduga terlibat pemerasan dengan alasan tidak mengetahuinya secara pasti. “Semuanya sudah ditangani oleh Mabes Polri,” ucap Bambang.

Analis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengapresiasi langkah awal Polri yang langsung menggelar sidang kode etik terhadap anggotanya tersebut. Namun dia menilai sanksi itu tidak cukup untuk menjawab rasa keadilan masyarakat. Dia meminta Polri tetap memproses pidana anggotanya yang terbukti terlibat dalam pemerasan tersebut. "Pelanggaran pidana adalah pelanggaran etik berat. Hukuman etik seperti PTDH itu sudah tepat, tapi kita juga harus mengawal proses pidana," katanya kepada Tempo saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Rabu, 1 Januari 2025.

Apalagi, menurut dia, putusan PTDH dari KKEP itu belum final. Masih ada upaya banding yang bisa dilakukan oleh anggota Polri yang mendapat sanksi tersebut. “Karena faktanya, yang mendapat PTDH pun terkadang juga diterima bandingnya,” ujar Bambang Rukminto. 

Karena itu, Bambang Rukminto mendesak Polri tetap menjerat pidana para pelaku dengan Pasal 368 ayat 1 atau 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) soal pemerasan yang memiliki ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara. Dia menyebutkan polisi yang melakukan pelanggaran pidana harus tetap diproses. Hal itu, kata Bambang, sesuai dengan Ketetapan MPR VII Tahun 2000 yang menyatakan anggota Polri tunduk pada peradilan sipil. 

Bambang tak menutup kemungkinan adanya anggota kepolisian yang terlibat dalam pemerasan tersebut hanya karena menjalankan perintah atasan. Bagi mereka yang masuk kategori itu, menurut dia, juga harus mendapat sanksi berat. Ia menilai sanksi seperti demosi atau penurunan pangkat saja tidak cukup. “Tapi juga penugasan ke luar daerah. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk diikutkan dalam operasi keamanan di Papua,” tutur Bambang Rukminto. 

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga mengapresiasi langkah KKEP yang memberikan sanksi PTDH kepada dua anggota Polri. Menurut Fickar, sanksi maksimal tersebut sudah tepat karena pelanggaran yang dilakukan masuk kategori berat. 

Fickar juga sepakat polisi memproses pidana anggotanya yang terlibat dalam pemerasan ini. Menurut dia, tindakan tersebut sudah memenuhi unsur tindak pidana pemerasan seperti diatur dalam Pasal 368 KUHP. Selain melanggar etik, Fickar menilai tindakan pemerasan tersebut telah melanggar kewajiban profesi polisi yang seharusnya menegakkan hukum. "Selain diberhentikan, pelaku harus diproses di pengadilan pidana dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara," ujar Fickar. 

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menambahkan, pemerasan ini bukan hanya masalah internal kepolisian. Dia mengatakan perilaku jajaran personel Polda Metro Jaya itu mempermalukan institusi kepolisian dan negara. “Ini mempengaruhi citra bangsa kita, terutama di mata masyarakat Malaysia," ucap Sugeng. 

Sama seperti Bambang Rukminto, Sugeng juga menilai putusan PTDH dari KKEP bukan akhir dari kasus ini. Dalam proses banding, menurut dia, tak jarang polisi yang menerima sanksi PTDH justru mendapat sanksi lebih ringan.

Dia menyinggung sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus perintangan keadilan atau obstruction of justice pengusutan kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, dan anak buahnya. Para anggota kepolisian yang sebelumnya mendapat putusan PTDH kemudian hanya menerima sanksi berupa demosi setelah mengajukan banding. "Jangan sampai pola ini berulang. Putusan PTDH harus diperkuat, bukan dikorting menjadi sanksi ringan," kata Sugeng.

Sugeng setuju para pelaku pemerasan penonton DWP 2024 tersebut diproses secara pidana. Bahkan, dia menilai, kasus ini bisa masuk ke ranah korupsi karena terdapat pemerasan menggunakan jabatan. Dia bahkan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawal proses pidana para pelaku. "Kalau tidak diproses, KPK bisa turun tangan," tuturnya.

Dede Leni Mardianti dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan laporan ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus