Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sejarah Gelap Kasus Udin

Sampai kapan kasus pembunuhan wartawan Udin dituntaskan? Kini ada yang mau bersaksi, asalkan keamanannya dijamin.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS pembunuhan Udin masih terus tak terungkap. Padahal, Jumat pekan ini, kasus pembunuhan wartawan harian Bernas, Yogyakarta, bernama Fuad Muhammad Syafruddin itu sudah genap enam tahun. Inilah lembaran buruk hukum pidana di Indonesia, sekaligus utang besar bagi polisi. Sebagaimana dulu ramai diberitakan, ketika kejadian pada 13 Agustus 1996 malam, dua orang berbadan tegap mendatangi Udin di kediamannya di Bantul, Yogyakarta. Dua orang berikat kepala merah itu memukulkan besi ke kepala Udin. Wartawan ini ambruk ke bumi. Ia koma dan tiga hari kemudian meninggal setelah dirawat di rumah sakit. Lantas, kematian Udin dikaitkan dengan tulisan kritisnya yang menyangkut Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo. Urusan tanah hingga "kuningisasi" Golkar tak luput dari liputan Udin. Bahkan menjelang pemilihan bupati baru, Udin menyorot usaha Sri Roso memberikan upeti sebesar Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Soeharto. Maksudnya agar Sri Roso bisa kembali menjadi Bupati Bantul. Toh, pengusutan polisi atas kasus pembunuhan Udin tak menunjukkan kemajuan. Adakah itu karena kasusnya melibatkan polisi setempat sebagai eksekutornya ataupun anggota TNI dan polisi yang diduga dekat dengan Sri Roso? Belakangan, polisi mengajukan Dwi Sumadji alias Iwik, yang dikatakan sebagai tersangka pembunuhan Udin. Ternyata Iwik membantah semua tuduhan di persidangan. Alhasil, hakim pun membebaskannya. Setelah itu, giliran Sersan Mayor Edy Wuryanto yang diadili. Polisi di Kepolisian Resor Bantul ini dikenal sebagai penyidik kasus pembunuhan Udin. Namun, ia bukan dijaring dengan tuduhan membunuh Udin. Ia juga tak diadili karena dianggap merekayasa perkara Iwik selaku tersangka pembunuh Udin. Di mahkamah militer, Edy didakwa telah menghilangkan beberapa bukti penting dalam kasus Udin. Bukti dimaksud antara lain buku catatan Udin yang diambil Edy dari istri Udin, Marsiyem, dan sampel darah korban yang dilarung oleh Edy ke Pantai Parangtritis di Yogya. Setelah proses persidangan Edy yang memakan waktu panjang, akhirnya polisi ini dihukum sepuluh bulan penjara karena kelalaiannya itu. Selesai perkara Edy, tetap saja kasus pembunuhan Udin gelap. Tak terdengar adanya aksi hukum yang konkret dari kalangan kepolisian ataupun polisi militer. Haruskah kasus Udin menjadi dark number? Kini, ada saksi penting yang mau memberi keterangan. "Asalkan ada jaminan keamanan, saya siap menjelaskan apa yang saya lihat dan ketahui," ujar Slamet—sebut saja begitu nama saksi ini. Dulu, ia mengaku tak berani muncul karena banyak halangan sekaligus ancaman keamanan terhadap dirinya. Ketika Udin dieksekusi, Slamet mengaku berada tak jauh dari tempat kejadian. "Saya baru selesai membeli minum di sebuah warung bakmi," tuturnya. Malam itu, 13 Agustus 1996, menurut Slamet sebuah mobil Hardtop berwarna agak gelap meluncur dari arah utara. Mobil itu berhenti beberapa ratus meter di sebelah utara rumah Udin. Seorang lelaki bertubuh atletis dan berikat kepala merah turun dari mobil itu. Laki-laki itu lantas mengetuk pintu rumah Udin. Ia ditemui Marsiyem. Entah apa yang dibicarakan. Yang jelas, pria itu menunjukkan tangkai hammer berwarna metalik. Marsiyem masuk ke rumah. Tak lama kemudian Udin keluar. "Kejadiannya sangat cepat. Udin dipukul dengan palu yang tangkainya sudah diganti besi seperti setang sepeda," cerita Slamet. Setelah kejadian, orang itu lari ke utara dan masuk ke gang di timur jalan. Sebentar kemudian, orang tersebut dijemput oleh pengendara sepeda motor GL. Sebelum kejadian, sekitar pukul 10 malam, Slamet mengaku sedang nongkrong di perempatan Manding, Bantul. Ia sempat melihat mobil Hardtop itu dan sebuah sedan yang berjalan dari timur menuju arah selatan. "Saya kenal beberapa orang di dalam mobil itu," katanya. Tapi ia enggan menyebutkan nama-nama orang dimaksud. "Bahaya. Saya tak berani," ucapnya. Yang pasti, tuturnya, di salah satu mobil itu ada orang penting di Bantul. Kepada TEMPO, Slamet juga meng-aku sudah mengetahui mereka yang merencanakan, memberi order, hingga yang melaksanakan di lapangan, termasuk yang menganiaya Udin. Ia juga mengaku mengetahui bahwa alat pemukul yang digunakan pelaku diambil dari sebuah bengkel di Bantul. Tempat pelaku kemudian membuang alat tersebut setelah eksekusi diketahui pula oleh Slamet. Menurut Slamet, kasus Udin terlalu berlarut-larut. Padahal mereka yang terlibat kasus itu kini hidup enak. Bahkan ada pula yang masih punya kedudukan bagus di pemerintahan desa di Bantul. Itu sebabnya, dengan jaminan keamanan, Slamet bersedia bersaksi. Pekan ini, didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Slamet juga akan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta. Ahmad Taufik, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus