TIGA hakim kasus Manulife terpaksa mencopot jubah kerennya. Sebab, terhitung sejak Selasa pekan lalu, Presiden memberhentikan sementara ketiga hakim pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Dengan demikian, ketiga hakim itu, Hasan Basri, Nyonya C.H. Kristi Purnamiwulan, dan Tjahjono, tak boleh lagi menangani perkara ataupun bersidang.
Keputusan Presiden Megawati itu diteken setelah ada laporan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Jelas, keputusan ini agak mengejutkan. Soalnya, selama ini, beberapa kasus suap hakim paling banter berujung dengan pemindahan si hakim ke pengadilan tinggi—istilahnya dinonpalukan alias tak menyidangkan perkara lagi.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ketiga hakim di atas diisukan terlibat suap setelah mereka memvonis pailit PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia pada Juni lalu. Vonis pailit ini cuma dalam tempo delapan hari lantas dianulir oleh Mahkamah Agung. Dari situlah kemudian ketiga hakim diperiksa oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Inspektorat Jenderal Kehakiman.
Ternyata, sampai sebulan pemeriksaan berlangsung, tak gampang mengusut dugaan suapnya. Padahal tim pemeriksa dari KPKPN dan dari Inspektorat Jenderal Kehakiman sudah bekerja ekstrakeras. Menurut Inspektur Jenderal Kehakiman, hanya polisi yang bisa mengusut lebih jauh kasus suap tiga hakim dimaksud. Polisi sebagai penyidik punya wewenang antara lain membongkar rekening bank ketiga hakim.
Itu sebabnya Menteri Yusril Ihza Mahendra, sewaktu mengumumkan keputusan presiden tentang pemberhentian sementara tiga hakim itu, Selasa malam pekan lalu, juga tak berani menyinggung masalah suap tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa ketiga hakim diberhentikan sementara lantaran dianggap melakukan perbuatan tercela dan melanggar sumpah jabatan.
Namun, apa perbuatan tercela dan pelanggaran sumpahnya, Yusril enggan menjelaskan. Sekalipun demikian, Petrus Selestinus dari tim pemeriksa di KPKPN menduga laporan Menteri Kehakiman yang disampaikan ke Presiden tak berbeda dengan hasil pengusutan KPKPN. Hasil pengusutan ini diberikan ke Menteri Kehakiman sehari sebelum lahirnya keputusan presiden.
Menurut hasil pengusutan KPKPN, dua hakim, yakni Hasan Basri dan Kristi, diberi nilai merah. Hakim Kristi dianggap sengaja menyembunyikan kekayaannya berupa tabungan dan deposito senilai Rp 1,4 miliar di Bank Mandiri.
Kristi juga dinilai tak melaporkan kekayaannya berupa rumah mewah berlantai dua di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Dalam laporan ke KPKPN, wanita hakim itu cuma menyebutkan tanah kosong seluas 249 meter persegi. Namun, sewaktu KPKPN mengusut asal dana untuk membangun rumah itu, Kristi bersikap defensif. "Dia bahkan menghalangi petugas yang mengeceknya," ujar Petrus, yang sebelumnya berkiprah di dunia pengacara.
Akan halnya Hakim Hasan Basri, ia diketahui memiliki kekayaan Rp 1,2 miliar. Ada pengeluaran Rp 874 juta untuk membeli mobil, saham, dan rumah. Tapi Hasan tak bisa menjelaskan sumber uang ini. Memang hakim ini pernah mengaku bahwa sepuluh persen kekayaannya berasal dari "ucapan terima kasih" para pencari keadilan.
Adapun Hakim Tjahjono sebenarnya tak diberi nilai merah oleh tim pemeriksa di KPKPN. Penilaian ini jadi berbeda dengan keputusan pemberhentian sementara yang juga menimpa Tjahjono. Menurut Petrus, kekayaan Tjahjono sebesar Rp 330 juta masih tergolong wajar.
Berdasarkan hal itu, tim pemeriksa KPKPN berpendapat bahwa Kristi dan Hasan Basri telah berbohong. Karena itu, tim pemeriksa juga merekomendasikan agar hak keduanya untuk memegang jabatan hakim dicabut.
Sementara itu, ketiga hakim tadi langsung memprotes keputusan pemberhentian sementara. Keberatan senada diutarakan Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia, Toton Suprapto. Kata M. Luthfie Hakim, kuasa hukum Hasan Basri, pihaknya akan menggugat Presiden ke pengadilan tata usaha negara.
Menurut Luthfie, keputusan pemberhentian tersebut cacat hukum. Sebab, keputusan itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Padahal pemberhentian hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1991.
Keputusan itu pun, kata Luthfie, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sesuai dengan undang-undang ini, hakim diberi kesempatan membela diri sebelum sanksi dijatuhkan. Tapi, dalam keputusan pemberhentian tadi, ketiga hakim dipersilakan membela diri sesudah mereka dikenai sanksi. "Keputusan pemberhentian itu merupakan opini publik seolah-olah ketiga hakim telah menerima suap," kata Luthfie.
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini