DI Jakarta, pusat pemerintahan sekaligus barometer utama hukum, para terdakwa korupsi justru berjaya. Mereka bukan cuma tak perlu ditahan, tapi paling banter juga dihukum ringan. Bahkan banyak yang divonis bebas. Contohnya, kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 169 miliar dengan terdakwa Samadikun Hartono. Bekas Presiden Komisaris Bank Modern itu Jumat dua pekan lalu divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai Rusdy As'ad di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan bebas itu pun seperti menggenapi sikap Jaksa Yan W. Mere, yang hanya menuntut Samadikun dengan hukuman se-tahun penjara. "Kadar kesalahan Samadikun kecil banget," ujar Jaksa Mere. Itu sebabnya, ia hanya memasukkan soal penyalahgunaan dana BLBI untuk pembelian surat utang PT PLN sebesar Rp 11,9 miliar dalam tuntutan terhadap Samadikun.
Kendati pertimbangannya tak mirip dengan pendapat jaksa, majelis hakim menganggap seharusnya direksi Bank Modern yang diadili dalam kasus tersebut. "Komisaris tak lantas setiap hari menyetujui ataupun mengetahui perbuatan direksi," kata Hakim Rusdy. Toh, direksi Bank Modern yang dikomandani Bobby Sudarso hingga kini dikabarkan raib.
Buat pengacara Samadikun, M. Assegaf, tentu saja vonis bebas itu menggembirakan. "Putusan itu obyektif. Apalagi saat Samadikun menjadi komisaris, aset Bank Modern masih lebih tinggi dari kewajibannya," kata Assegaf.
Tak demikian bagi Ketua Judicial Watch, Muhammad Asrun. Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995, komisaris dan direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng kalau ada kasus. "Tak benar bila komisaris dianggap bisa lepas tanggung jawab," ucap Asrun.
Sebelum vonis Samadikun, putusan terhadap kasus dana BLBI senilai Rp 1,29 triliun dengan terdakwa David Nusa Widjaja juga menimbulkan kontroversi. Direktur Utama Bank Umum Servitia ini cuma divonis setahun penjara. Hebatnya, vonis itu tak berarti. Soalnya, David diberitakan kabur setelah menikmati penangguhan penahanan dari hakim.
Belum lagi gunjingan vonis Samadikun dan David pupus, pekan lalu muncul pula tuntutan hukum yang ringan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kasusnya menyangkut korupsi dana BLBI senilai Rp 158,7 miliar di South East Asia Bank (SEAB), dengan terdakwa mantan Presiden Komisaris SEAB Handy Poernomo, Direktur Umum SEAB Jemy Sutjiawan, serta Direktur Kredit SEAB Leo Andyanto. Jaksa cuma menuntut ketiganya delapan bulan hingga setahun penjara.
Jelas, renteten nasib hukum dari kasus korupsi dana BLBI itu menafikan rasa keadilan masyarakat. Padahal para penggarong dana BLBI sampai sebesar Rp 130,6 triliun itulah yang telah merusak fundamen perekonomian. Seharusnya, menurut Muhammad Asrun, para terdakwa korupsi dana BLBI dihukum 20 tahun penjara atau seumur hidup seperti kasus di Singkil, Aceh.
Jadi, masihkah sikap kalangan hakim terhadap koruptor tak berbeda dengan semasa Orde Baru? Demikian pula keberanian para jaksa sebagai ujung tombak pemberantas korupsi? Bukankah korps jaksa pekan ini genap setahun dipimpin oleh M.A. Rachman?
Budi Riza dan Bagja Hidayat (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini