Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia hingga Terbentuk KPK

Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai sejak pembentukan Panitya Retooling Aparatur Negara (Paran) hingga KPK

2 Januari 2025 | 15.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta tindakan perlindungan terhadap koruptor. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK yang dilakukan di periode Jokowi juga disorot. Selain itu, ada juga tudingan bahwa Jokowi telah menormalisasi praktek kolusi dan nepotisme selama Pilpres 2024.TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, JAKARTA - Korupsi menjadi salah satu masalah serius yang menghambat pembangunan negara serta menyebabkan kesenjangan sosial dan kemiskinan. Korupsi dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan yang paling merugikan bagi stabilitas dan keamanan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2023 yang diterbitkan Transparency International Indonesia (TI), Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara dengan skor 34/100. Hal tersebut menunjukkan bahwa respons terhadap praktik korupsi di tanah air masih cenderung lambat bahkan memburuk. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecenderungan abai terhadap pemberantasan korupsi tersebut disinyalir sejak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perubahan undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK), dan munculnya sejumlah regulasi yang tidak mempertimbangkan nilai-nilai integritas. Lantas, bagaimana sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? 

Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Dirangkum dari AVATARA: e-Journal Pendidikan Sejarah (2015), berikut perjalanan proses pemberantasan korupsi di Indonesia: 

  • Sukarno

Di era Orde Lama, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemberantasan Korupsi Nomor Prt/PM-06/1957 yang mulai berlaku pada 9 April 1957. Peraturan yang diteken oleh Jenderal A.H. Nasution, yang kala itu menjabat sebagai Penguasa Militer Seluruh Indonesia dilakukan untuk menerobos kemacetan dalam usaha menghilangkan korupsi di Republik Indonesia. 

Setelah itu, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 26 Prp Tahun 1960. Perubahan regulasi tersebut sejalan dengan temuan beberapa kasus korupsi besar, seperti 14 pegawai negeri yang terbukti korupsi (menurut pemberitaan Koran Pantjawarna) pada 11 April 1960 dan korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal pada 1961. 

Selain menerbitkan regulasi, pemerintah era Orde Lama juga membentuk badan antikorupsi pertama yang bernama Panitya Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran yang dikomandoi langsung oleh Jenderal A.H. Nasution melakukan pendataan harta kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat negara.

Tidak hanya melakukan pencegahan dan pengawasan melalui pendataan harta kekayaan, Paran juga bertindak tegas terhadap para pelaku korupsi dengan membawa langsung ke pengadilan. Tindakan penangkapan terhadap pelaku korupsi tersebut dikenal sebagai Operasi Budi. 

Kemudian, Bung Karno menerbitkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 98 Tahun 1964 tentang pembentukan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar), yang berada di bawah presiden. Kotrar bertugas untuk memupuk, memelihara, serta mengusahakan alat-alat revolusi memperoleh hasil yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dari revolusi Indonesia. 

  • Soeharto

Saat Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mencabut Perppu Nomor 26 Prp Tahun 1960. Selain itu, pemerintah juga meluncurkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap yang berisi enam pasal. 

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintahan Soeharto dalam menangani persoalan rasuah adalah membentuk lembaga-lembaga antikorupsi. Badan yang dibentuk pertama kali, yaitu Team Pemberantasan Korupsi (TPK) melalui Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tertanggal 2 Desember 1967, yang bertugas membantu pemerintah dengan tindakan represif dan preventif. 

Setelah tiga tahun TPK berdiri, Soeharto kembali meneken Keppres Nomor 12 Tahun 1970 tentang pembentukan Komisi IV, dengan menunjuk Moh. Hatta sebagai Penasihat Presiden sekaligus Penasihat Komisi IV. Alasan pembentukan Komisi IV ialah agar segala usaha pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien tanpa membubarkan TPK. 

TPK dan Komisi IV dianggap mampu menyelamatkan keuangan negara hingga miliaran rupiah, tetapi kinerjanya terus mengalami penurunan, karena bukti-bukti kasus korupsi yang sulit didapatkan. Akibatnya, pemerintah mengadakan Operasi Tertib (Opstib) yang dipimpin oleh Laksamana TNI Sudomo untuk memberantas penyelewengan. 

  • BJ Habibie

Pada masa kepemimpinan Bacharuddin Jusuf atau BJ Habibie, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Selain itu, terdapat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Selain merilis undang-undang, pemerintah di era Reformasi membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) melalui Keppres Nomor 127 Tahun 1999. KPKPN diberi tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara guna mencegah KKN. 

  • Gus Dur

Setelah BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur turut mendirikan badan pemberantasan korupsi yang bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, TGPTPK dinilai tidak bekerja dengan baik, karena menghadapi masalah dalam hal perizinan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. 

  • Megawati Soekarnoputri

Pada 2003, Megawati membentuk KPK yang awalnya terdapat 10 calon ketua, yaitu Amin Soemarjadi, Chairul Imam, Erry Riyana Hardjapamekas, Iskandar Sonhaji, Momo Kelana, Marsilam Simanjuntak, Muhammad Yamin, Syahrudin Rasul, Taufikurrahman Ruki, dan Tumpak H Panggabean. 

Setelah dibentuknya KPK, banyak kasus-kasus korupsi yang dibongkar. KPK bahkan dianggap sebagai lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia yang paling berhasil dibandingkan dengan badan-badan sebelumnya. 

  • Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Mengutip Dialogue: Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik (2007), pemberantasan korupsi di masa SBY dilakukan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2005, dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supanji sebagai ketuanya. 

Upaya lain yang dilakukan SBY adalah melakukan audit di Sekretariat Negara (Setneg), sejumlah yayasan yang dinaunginya, Kantor Presiden dan Wakil Presiden, serta Sekretariat Kabinet (Setkab). SBY pun menyebut usaha pemberantasan korupsi itu sebagai “pembersihan rumah sendiri”. 

Namun, KPK di era SBY juga sempat menjadi sorotan publik setelah ketuanya, Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Spekulasi pun berkembang liar, di antaranya banyak pihak yang menganggap hal tersebut sebagai upaya untuk merusak citra KPK. 

  • Jokowi

Di era Joko Widodo (Jokowi), KPK dianggap melemah setelah rapat paripurna DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan pada 17 September 2019. Beberapa hal krusial dalam revisi tersebut adalah perubahan KPK menjadi lembaga eksekutif yang pegawainya berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). 

Operasi tangkap tangan (OTT) juga terhambat setelah munculnya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang lebih berwenang daripada pimpinan. Adapun Dewas yang berwenang menggeledah dan menyita dipilih oleh presiden. 

Selain itu, pemecatan puluhan pegawai KPK karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) ditengarai sebagai upaya pelemahan lembaga antikorupsi tersebut, salah satunya Novel Baswedan. Nama lainnya, yaitu Harun Al Rasyid yang dikenal sebagai “Raja OTT” juga tak lolos TWK. 

Catatan pemberantasan korupsi di era Jokowi juga dinilai memburuk setelah Ketua KPK Firli Bahuri terjerat dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Firli disebut meminta uang sebesar Rp50 miliar ke SYL terkait penanganan kasus dugaan korupsi di Kementan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus