Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta setujui permohonan Keluarga Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat yang meminta ekshumasi dan autopsi ulang. Namun, autopsi ulang ini diminta dilakukan bukan oleh kedokteran forensik Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak meminta Kapolri membentuk tim khusus yang melibatkan kedokteran dari RSPAD, RS AL, RS AU, RSCM, dan rumah sakit swasta. Menurutnya, permohonan ini disampaikan lantaran pihak keluarga meragukan hasil autopsi awal terhadap Brigadir J yang dilakukan oleh kedokteran forensik Polri.
Apa Itu Autopsi
Menurut jurnal berjudul Fungsi Bedah Mayat Forensik Untuk Mencari Kebenaran Materiil Dalam Suatu Tindak Pidana, Autopsi Forensik merupakan salah satu cara untuk membuktikan kebenaran secara materiil atau bersifat fisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Beragam kasus kematian yang diakikbatkan karena pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, over dosis ataupun dari tindak pidana lain memerlukan tindak autopsi. Hal ini dilakukan demi mengetahui sebab kematian dari seseorang.
Tindak Sembarang Orang
Tidak sembarangan orang dapat melakukan autopsi, hanya dilaukan oleh tindakan dokter kompeten yang dapat membedah mayat korban. Prosesnya pun memerlukan permintaan surat Visum et Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian sekaligus surat persetujuan dari kelurga seseorang yang akan diautopsi.
Sementara jika seseorang yang akan diautopsi tidak teridentifikasi kejelasan identitasnya, seperti tidak diketahui asal-usul keluarganya. Maka, dokter forensik dapat langsung membedah mayat tersebut demi mendapat keterangan penyakit yang dialami.
Sedangkan berdasarkan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menentukan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti, yaitu pada Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Dakwa.
Ahli yang dimaksud adalah dokter spesialis dalam bidang kedokteran, salah satunya Ilmu kedokteran kehakiman mempunyai kepakaran. Tidak sekadar mengetahui penyebab korban terluka, namun dapat menentukan suatu tindakan pidana. Hal ini juga sesuai dengan Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian (penyidik) sesuai pasal 133 KUHAP berbunyi:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya”
Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa mayat yang dibedah perlu diperlakukan dengan baik. Ditambah dengan pemberian label yang berisikan keterangan identitas mayat, serta diberi cap jabatan pada ibu jari kaki atau bagian lain mayat tersebut.
Sementara data dari Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan yang terbit pada 2019, menjelaskan bahwa dokter yang memiliki keahlian untuk fokus membedah mayat hanya dari bidang kedokteran forensik dan kriminalistik. Namun, secara teori semua ilmu cabang forensik digunakan sesuai perkara yang dialami.
Lalu, mereka juga dapat membedah terhadap seorang yang sudah meninggal dan bernyawa. Untuk seseorang yang bernyawa dengan tujuan melakukan tindakan medik invansif, atau memberikan pengobatan atau menyembuhkan seseorang dari sakit yang dideritanya ke dalam tubuh pasien.
Alhasil, keterangan dari visum et repertum untuk korban yang lalu mendapat tindakan autopsi akan membuat adanya titik terang. Baik untuk keluarga maupun titik keputusan dalam pengadilan.