Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Semut disiksa gajah ?

Kapten sp sinurat dan istrinya menganiaya 2 pramuwisma, suliyem, 16, & manteni, 19, hingga babak balur. ayah suliyem, soman, 60, mengadukan penderitaan putrinya ke pihak berwajib dilanjuntukan ke lbh. (krim)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA sebenarnya yang telah kalian alami, L Suliyem dan Wanteni? "Selama lima bulan kami disiksa," tutur Suliyem, 16, pembantu rumah tangga keluarga Kapten S.P. Sinurat, perwira seksi Sospol, Kodam I Bukit Barisan, Medan. Tak sabar lagi, merasa perlakuan yag diterima anak mereka di luar batas, keluarga kedua pembantu tadi melaporkan kasusnya ke Detasemen Polisi Militer Medan. Bahkan, akhir bulan silam peristiwa penyiksaan itu diajukan ke LBH Medan. "Kami tak mau berdamai, harus dituntut sesuai dengan hukum," ujar Soman, 60, ayah Suliyem. "Memang penyiksaan itu di luar batas," komentar Kusbianto dan Hasanuddin, pembela LBH, setelah mendengar penuturan Suliyem dan Wanteni. Dan inilah setori dua anak manusia bernasib malang itu. "Setiap hari, saya mesti bangun setengah empat pagi," tutur Suliyem yang sempat 11 bulan bekerja. Mulai matahari belum merekah itu, mereka bekerja dengan perut keroncongan. "Kami sarapan baru jam sebelas siang," ujar mereka. Hampir 20 jam sehari mereka membanting tulang: membersihkan rumah, pekarangan, mencuci pakaian, dan tetek bengek urusan rumah tangga. Meski merasa sudah bekerja baik, "Tak ada kerja kami yang bagus di mata Nyonya," kata Wanteni, 19, anak sulung seorang pengemis. (Bapak anak perempuan ini meninggal, akhir Oktober lalu, akibat stock mendengar anaknya disiksa.) "Kalau marah, Nyonya matanya merah," kata Suliyem. Kekesalan sang majikan rupanya tak berhenti di mulut tetapi berlanjut hingga melecut. "Dada, rusuk, dan punggung kami dilecut rotan oleh Nyonya, dan Bapak ikut memukul dengan tangkai sapu," kata Wanteni, mengenang kejadian pada Hari Raya Kurban lalu. Tak cuma itu. Kedua gadis itu mengaku, pernah dada mereka dilempar dengan gilingan cabai. Lalu, gigi Wanteni pernah digosok dengan sikat pembersih WC hingga berdarah. Bahkan, masih cerita Wanteni, alat vitalnya pernah diolesi cabai giling yang dicampur obat gosok Avitson. Agaknya tak ada hari-hari tanpa derita bagi mereka. Pernah suatu hari, nyonya rumah yang bertubuh semampai itu menyuluti tubuh gadis Desa Pondok Genteng, Deli Serdang 50 km dari Medan, itu dengan rokok. "Tubuhku banyak bekas-bekas kehitam-hitaman," tutur Wanteni yang mengaku jatuh sakit awal Oktober lalu. Dibekali lima potong roti, uang Rp 15 ribu, dan dua pasang baju, Wanteni meninggalkan rumah majikannya yang ringan tangan itu. Ia diantarkan tuannya, Sinurat, menjelang tengah malam. Tetapi, katanya, ia ditinggal di tempat gelap begitu saja, dan karena sakit, ia berjalan merangkak sebelum ditolong penjaga malam perkebunan. Ia sempat dirawat di RS Petumbukan PTP V Sei Karang, 50 km dari ibu kota Sumatera Utara. Sepeninggal Wanteni, rupanya giliran Suliyem, yang sebelumnya sudah pernah mencicipi kelakuan nyonya rumah. "Hampir saja rambutku digunduli," ujar pembantu yang mengaku sering dipukuli, tak jarang pula kepalanya direndam dalam air. Agak berbeda dengan rekannya, Suliyem akhirnya mengambil inisiatif. Ia lari, ketika rumah sedang kosong. Gugatan mereka lewat LBH tak hanya pasal siksa menyiksa itu, tetapi, "Gaji kami yang sebelas bulan juga belum dibayar," keluh Suliyem, yang kabarnya dijanjikan bayaran Rp 20 ribu sebulan itu. Tapi benarkah itu semua? Lewat Alamsyah, keponakan sang kapten, keluarga Sinurat membantah. Mereka menyangkal melakukan penyiksaan. "Kami bersumpah tak melakukan itu," ujar Sinurat seperti yang dikutip keponakannya. Bahkan kata mereka, kedua pembantu itu diperlakukan sebagai keluarga sendiri, "Kalau kami makan bakso atau sate, mereka juga dapat. Pokoknya, apa yang kami makan mereka juga makan. Kami bukan barbar." Kasus penyiksaan yang tersebar luas itu mereka nilai, "Cerita semut yang digajahkan". Tetapi bintik hitam bekas sundutan rokok itu? "Barangkali kena percikan minyak atau belanga panas," kata Nyonya Sinurat. Yang diakui adalah gaji yang belum terbayarkan. Apa pun nanti akhir kisah ini: jadi perkara atau tidak, tetapi nasib pembantu rumah tangga kebanyakan memang menyedihkan. Di negeri ini, pekerjaan pembantu rumah memang lebih bersifat kekeluargaan. Tak ada standar upah, tak ada jaminan cuti, dan praktis mereka harus siap kerja selama 24 jam sehari. Akhirnya, nasib mereka memang bergantung di tangan majikan. Laporan Bersihar Lubis (Biro Sumatera Utara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus