AKHIR Mei lalu Sarli batal makan sahur gara-gara mendengar jeritan menyayat, tak jauh dari rumahnya. Tak ayal lagi, ia meraih palang pintu lalu bergegas ke sumber jeritan. Yang kemudian dilihatnya membuat ia tanpa pikir panjang: mengayunkan palang pintu itu. Sesosok tubuh yang tak dia kenal, saat itu, sedang menjerat leher Sawi, kakak Sarli. Karena hantaman itu, Sawi lepas dari jeratan. Sosok asing itu ganti menghadapi Sarli. Setelah sempat duel seru, orang tak dikenal itu lalu kabur ke rumah seorang penduduk. Sarli dan Sawi mengejar, dan spontan berteriak: maling, maling .... Akibatnya, sejak akhir bulan lalu, dua bersaudara itu dihadapkan ke Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat, dituduh melakukan pembunuhan. Sebab, setelah teriakan Sarli dan Sawi, sebagaimana lazimnya di desa, langsung warga Desa Kedung Kencana, Majalengka, berhamburan ke luar rumah. Mereka lalu ikut mengejar dan mengepung buron tersebut. Setelah diancam, akhirnya Djumadi -- demikian nama sosok tak dikenal itu akhirnya diketahui -- menyerah. Dengan tangan terikat kabel kopling motor dan tali plastik lelaki asal Desa Kertasmaya, Indramayu, itu digiring ke Balai Desa. Entah mengapa, mungkin masih kesal terhadap Djumadi, di tengah perjalanan Sarli kembali menggasak Djumadi dengan potongan palang pintu yang masih dicekalnya. Dua orang penduduk ikut-ikutan menghadiahkan pukulan ke kepala Djumadi, yang langsung jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Dalam keadaan sekarat itu, Djumadi bukannya diberi pertolongan. Lebai Desa, Solihin namanya, malah memerintahkan tubuh Djumadi dimasukkan ke dalam karung. Atas perintah Solihin pula, tubuh malang itu digotong beramai-ramai dan dibuang ke Kali Anyar. Lalu, dengan tenang, rombongan penganiaya pulang ke rumah masing-masing. Dua hari kemudian, tubuh Djumadi yang sudah mulai membusuk ditemukan Darsono, penduduk Desa Kajiwan, Cirebon, yang lalu melapor ke polisi. Tampaknya, mayat Djumadi terbawa aliran sungai hingga jauh dari tempat pembuangan. Berdasarkan visum, korban mati karena pendarahan di otak akibat pukulan-pukulan. Seminggu kemudian, sejumlah tersangka diciduk dan ditahan di Polres Cirebon, sebelum dipindahkan ke Polres Majalengka, tempat kejadian. Ketika ditemui TEMPO di tahanan, Sarli, 25, tersangka utama dalam perkara ini mengaku benar-benar menyesal. "Tidak disangka, gara-gara membela Kakak akhirnya begini," katanya. Tapi, tampaknya, memang ada yang menyebabkan Sarli, bukan penjahat, melakukan kekerasan. Djumadi, agaknya, sudah cukup dikenal di kawasan Majalengka sebagai penjerat sekaligus pedagang anjing. Hasil buruan biasanya dia jual ke Jakarta, untuk bahan sate anjing. Profesi Sarli juga sama, penjerat anjing. Dan bila Sarli waktu itu seolah-olah jadi pelopor penganiayaan korban, ia memang dikenal mudah naik pitam. Malam itu agaknya Djumadi hendak menjerat dua anjing Sarli, tapi kepergok Sawi. Sementara Sawi, 27, petani miskin dengan satu anak ini sungguh memprihatinkan anak dan istrinya, yang tentulah makin susah mencari makan. Solihin, 34, Lebai Desa itu, juga mengaku sangat bernafsu ketika itu. "Waktu itu saya ikut emosional. Jadi, tidak sadar," katanya. Kepada Sawi, Solihin minta agar tidak melibat dirinya, dengan janji: keluarga Sawi akan ditanggungnya. Berbeda dengan dua bersaudara -- Sawi dan Sarli -- Solihin, Hansip Sukinah, dan beberapa penduduk Desa Kedung Kencana yang ikut menghajar Djumadi, meski juga dinyatakan sebagai tersangka, tak ditahan. Mereka berstatus tahanan luar. Di sebuah desa, dengan penduduk yang hidup pas-pasan -- bahkan kekurangan pengganggu keamanan memang bisa konyol. Apalagi bila pengganggu itu datang dari luar, dan dianggap saingan mencari nafkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini