INI bukan sebuah mimpi buruk. Nyonya Nidjem baru saja lelap tidur ketika sebuah batu melayang ke genting rumahnya. Masih setengah tidur, setengah bangun ia mendengar orang mengancam, "Ayo bangun, kalau masih ingin hidup." Ibu lima anak yang ketakutan itu buru-buru membuka pintu. Masya Allah. Di depannya sekitar 40 pemuda belasan tahun berdiri berjejer menenteng jeriken dan ember. Yang lebih mengejutkan, ia melihat kobaran api di sebagian dinding rumahnya. Nidjem bergegas kembali ke dalam rumah, menyelamatkan apa saja, terutama kedua anaknya yang berangkat remaja -- Partini, 15, dan Pardikun, 12 -- yang masih tinggal bersamanya. Baru mereka hendak menyelamatkan diri, remaja yang mengepung rumah itu berteriak-teriak. Nenek dua cucu itu dipaksa oleh mereka untuk menanggalkan pakaiannya. "Saya disuruh telanjang oleh orang-orang yang membakar rumah saya," kata Nidjem, 60, tentang peristiwa yang menimpanya 22 Oktober malam lalu. Syukur, nenek itu masih punya keberanian untuk menolak tekanan massa. Bersama Partini dan Pardikun, ia bergegas menyingkir ke rumah Yatini, anak tirinya, yang tinggal tak jauh dari situ. Herannya, tak seorang pun tetangganya -- di Desa Purwonegoro, Banjarnegara, Jawa Tengah -- membantu memadamkan api yang menjilat rumah itu. Akhirnya, rumah berukuran sekitar 100 meter persegi, terbuat dari papan kayu beratap genting -- yang dulu dibangun oleh suaminya dengan susah payah -- itu roboh jadi arang. Juga empat ekor kambing ikut terbakar hidup-hidup, dan 1,5 ton gabah musnah dimakan api. Kerugian ditaksir tidak kurang dari Rp 3 juta. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Tampaknya, kejadian ini berakar panjang. Yakni bermula dari almarhum suami Nidjem, Sarodji. Lelaki itu, menurut pihak polisi, dikenal sebagai bromocorah yang sering mencuri. Konon, Sarodji punya ilmu hitam untuk mengumpulkan kekayaan, dan tidak segan-segan meracuni orang demi ilmunya. Yang jelas, orang memang takut kepada Sarodji. Selain itu, dibandingkan penduduk sedesa, lelaki ini paling makmur hidupnya. Bagaimana tidak, bila praktis pohon kelapa sedesa berada di bawah pengawasannya. Untuk itu, ia menuntut bagi hasil. Setelah Sarodji meninggal pada 1984 lalu, istrinyalah yang kemudian dicurigai. Dan terjadilah itu, pertengahan Oktober lalu. Soeparno, salah seorang keponakan Nidjem, tiba-tiba muntah darah. Ia mengaku habis dijamu nasi dan bakmi rebus di rumah janda itu. Mula-mula Soeparno diangkut ke puskesmas terdekat, tapi penyakitnya semakin parah sehingga akhirnya diboyong ke RS Banjarnegara. Dokter rumah sakit tak bersedia mengatakan penyakit pasien ini. Bisa dipahami, kejengkelan bertahun-tahun terhadap keluarga Sarodji menjadikan kasus ini sebagai jalan melampiaskan kemarahan. Akan halnya Soeparno, 30, mengaku bukan baru kali itu makan di rumah bibinya. "Saya tidak tahu apakah saya diracuni atau tidak. Tapi sebelumnya saya tidak pernah kena penyakit seperti ini." Sementara itu, Nidjem -- meski hartanya ludas, untung, dirinya selamat -- menyangkal keras tuduhan itu. "Tahu wujudnya racun saja belum," kata janda ini yang kini tinggal di rumah adik iparnya. Kini dari 17 penduduk yang dimintai keterangan, 8 terpaksa menginap di tahanan. Soal begini, tampaknya, memang bukan hal asing. Tuduhan-tuduhan yang susah dibuktikan -- umpamanya menuduh tetangga jadi tukang santet, punya ilmu hitam biasanya dilatari oleh masalah sosial. Biasanya korban memang punya kedudukan sosial-ekonomi yang lebih. Yusroni Henridewanto Laporan Syahril Chili & Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini