Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Personel Batalyon Zeni Tempur diduga menduduki salah satu SPBU jalur Pantura Kota Pasuruan.
Sengketa antara pengusaha SPBU, Yonzipur, dan Koperasi Kodam Brawijaya itu dipicu oleh pembagian keuntungan.
Sang pengusaha sempat dipanggil ke kantor Kemenkopolhukam.
PAGAR baja setinggi 1,5 meter menutup separuh area stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Pasuruan, Jawa Timur. Tak ada satu pun pegawai terlihat berjaga di SPBU dengan empat mesin dispenser itu pada Rabu, 10 Februari lalu. Di sudut pompa bensin justru terparkir sebuah mobil putih bertulisan Provost dengan nomor 9XXX-01.
Sudah hampir dua bulan SPBU tersebut tutup. Menurut seorang karyawan yang ditemui di sana, SPBU tak lagi beroperasi sejak akhir Desember 2020. SPBU bahkan sempat “diduduki” tentara. Kini hampir setiap hari SPBU dijaga oleh seorang personel Provost. “Ada perselisihan dalam pengelolaan pompa bensin itu,” ujar Kepala Penerangan Komando Strategis Angkatan Darat Kolonel Infantri Haryantana pada Selasa, 16 Februari lalu.
Haryantana membenarkan adanya penutupan SPBU bernomor 54.671.08 tersebut oleh Batalion Zeni Tempur 10/JP/2 Pasuruan, yang markasnya terletak sekitar 50 meter dari SPBU. Menurut dia, personel Tentara Nasional Indonesia di SPBU tersebut bertugas mengamankan aset milik Yonzipur. Sebelumnya, SPBU dikelola bersama Yonzipur dengan seorang pengusaha, Kosala Limbang Jaya. Kongsi itu kini retak.
Kosala menjalin kerja sama dengan Pusat Koperasi “A” Komando Daerah Militer V/Brawijaya. Pusat Koperasi berperan sebagai pemegang izin operasional distribusi bahan bakar minyak dari Pertamina. Kepala Penerangan Kodam Brawijaya Kolonel Imam Haryadi enggan menjelaskan kongsi ini. “Silakan ke Kepala Penerangan Kostrad,” ujarnya.
Yonzipur 10 Pasuruan menjadi penyedia lahan SPBU. Dalam akta perjanjian yang salinannya diperoleh Tempo, Kosala berperan sebagai pemodal. Ia juga yang mengoperasikan SPBU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Penerangan (Kapen) Kostrad Kolonel Inf Haryantana saat melakukan wawancara bersama Tempo di Gedung Kostrad, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021./TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjanjian diteken ketiga pihak pada 2006 dan berlaku selama 30 tahun. Sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama, Kosala wajib membagikan laba kepada Pusat Koperasi Komando Daerah Militer Brawijaya dan Yonzipur Pasuruan masing-masing Rp 7,5 juta per bulan.
Kerja sama berjalan mulus hingga awal 2019. Belakangan, perjanjian itu dianggap merugikan TNI. Menurut Kolonel Haryantana, Kosala tak pernah transparan soal modal dan keuntungan SPBU.
Pembagian Rp 7,5 juta dianggap terlalu kecil untuk pemanfaatan aset seluas 2.025 meter persegi di lokasi strategis milik Yonzipur. Puskopad bersama Yonzipur lantas melayangkan surat permintaan membuat kesepakatan ulang. “Tapi tidak pernah ada iktikad baik dari beliau,” ujar Haryantana.
Ditemui terpisah, Kosala membenarkan adanya permintaan adendum kerja sama. Namun ia menampik tuduhan bahwa pihaknya tak kooperatif. Menurut dia, pembicaraan mengubah kesepakatan dibuka pada pertengahan 2019 melalui surat yang dilayangkan ke Koperasi Kodam Brawijaya.
Ia menyerahkan urusan itu kepada pengacaranya. Tapi, menurut dia, tak ada tindak lanjut dari pihak TNI. “Kuasa hukum saya sudah mengirim e-mail menanyakan hal tersebut, tapi tidak direspons,” tutur Kosala ketika ditemui di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya pada Selasa, 16 Februari lalu.
Pertemuan yang membahas perubahan perjanjian akhirnya terlaksana di Malang pada Juni 2020. Dua perundingan berakhir tanpa kesepakatan. Sesuai dengan saran pengacaranya, Kosala memilih penyelesaian lewat jalur hukum. “Karena mereka tidak menjawab apa-apa,” ucap Kosala.
Setelah pertemuan berujung buntu itu, Yonzipur 10 Pasuruan diduga menutup dan mengambil alih pengelolaan SPBU. Pada 3 September 2020 malam, puluhan personel Yonzipur merangsek ke area SPBU. Mereka memerintahkan semua pegawai meninggalkan SPBU dan memagari area sekitar dengan kawat berduri. Sepekan kemudian, mereka meminta para pegawai tersebut menjalankan SPBU.
Menurut Kosala, pengoperasian SPBU secara sepihak oleh tentara membuatnya merugi. Hasil penjualan BBM senilai Rp 1 miliar menguap entah ke mana. Selama beroperasi, Yonzipur dituduh memesan bahan bakar dari Pertamina berulang kali. “Semua stok BBM itu mereka yang gunakan. Apakah ini namanya bukan perampasan?” ujarnya. SPBU hanya beroperasi tiga bulan lebih sebelum ditutup lagi pada 26 Desember 2020.
Akibat perselisihan ini, Kosala menerima berbagai tekanan. Ia mengatakan kediamannya berkali-kali didatangi personel TNI. Ia juga mengaku pernah didatangi Komandan Yonzipur Pasuruan Letnan Kolonel Dendi Rahmat Subekti, yang menagih uang sewa mesin anjungan tunai mandiri di kompleks SPBU. “Sejak itu hidup saya berpindah-pindah,” katanya.
Kordinator Divisi Advokasi Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir, melaporkan intimidasi ini ke Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad), Polisi Militer Komando Daerah V Brawijaya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Ia juga meminta pertolongan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. “Hasilnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.
Kemenkopolhukam pernah meminta Kosala datang ke Jakarta pada 3 Desember 2020. Saat itu, ia dihubungi Kepala Bidang Kerja Sama Pertahanan Kemenkopolhukam Kolonel Antonius Kartika Adi Putranta. Begitu sampai di kantor Kemenkopolhukam, Kosala terkejut karena Letnan Kolonel Dendi Rahmat dan seorang pejabat berpangkat brigadir jenderal telah menunggunya di salah satu ruangan.
Pertemuan itu ternyata dirancang untuk memediasi perselisihan antara Kosala dan Yonzipur. Kosala menolak tawaran ini dan memilih pulang karena tidak didampingi pengacara.
Kolonel Antonius Kartika mengatakan pertemuan itu bukan bertujuan mengintimidasi Kosala. Ia mengaku tak mengetahui alasan Kosala meninggalkan pertemuan. Akibatnya, pihaknya hanya menerima informasi dari pihak Yonzipur. “Saat ingin mulai pembicaraan, beliau pamit keluar ruangan dengan alasan mau menghubungi pengacaranya. Tapi setelah itu beliau menghilang,” ujarnya.
Pengelola SPBU di Jalan Soekarno Hatta, Kota Pasuruan, Kosala Limbang Jaya, di Kantor KontraS Surabaya, Rabu, 17 Februari 2021./TEMPO/ Nur Hadi
Belakangan, TNI bergerak lewat jalur hukum. Mantan Komandan Yonzipur yang pernah bekerja sama dengan Kosala, Kolonel Heri Sutrisma, melapor ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Ia menuduh Kosala memalsukan salah satu akta perjanjian. Letnan Kolonel Dendi turut mengadukan Kosala dengan tudingan pencemaran nama ke Kepolisian Resor Kota Pasuruan.
Kolonel Haryantana, Kepala Penerangan Kostrad, membenarkan adanya laporan tersebut. Namun ia enggan menanggapi isi laporan. Nomor telepon Kolonel Heri tak bisa dihubungi hingga Sabtu, 20 Februari lalu. Letnan Kolonel Dendi meminta Tempo menanyakan soal sengketa dan laporan ini ke Kostrad. Adapun Kepala Polres Kota Pasuruan Ajun Komisaris Besar Arman tak kunjung membalas permintaan konfirmasi mengenai kelanjutan laporan Letnan Kolonel Dendi.
Kosala menganggap dua laporan tersebut aneh. Ia merasa tak bersalah dan tak pernah mencemarkan nama orang lain. “Dulu waktu bangun SPBU juga ada Pak Heri,” tuturnya.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 melarang personel TNI berbisnis. Direktur Imparsial Al Araf menilai kerja sama di SPBU Pasuruan merupakan contoh pengelolaan aset TNI pada masa lalu. Aset milik TNI seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan pertahanan negara, bukan untuk berbisnis.
Kalaupun ada perjanjian pemanfaatan aset, menurut dia, kewenangan itu ada pada Panglima TNI atau Kementerian Pertahanan. “TNI perlu menata ulang berbagai kontrak kerja sama yang sudah dibuat,” katanya.
Riky Ferdianto, Nur Hadi (Pasuruan)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo