Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pandemi Covid-19 telah memicu penurunan tajam nilai impor sepanjang tahun lalu yang mempengaruhi langsung sektor konsumsi dan produksi.
Melalui kebijakan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil, Lutfi berharap perekonomian kembali menggeliat, masyarakat tergerak membelanjakan uang atau mengambil kredit.
Amerika Serikat dan Cina adalah mitra dagang yang sangat penting karena menjadi negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia.
MUHAMMAD Lutfi baru tiga bulan menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat ketika Presiden Joko Widodo memanggilnya kembali ke Jakarta pada Desember 2020. Saat itu, Jokowi melakukan kocok ulang perdana Kabinet Indonesia Maju dan menunjuk Lutfi sebagai menteri perdagangan, posisi yang pernah ia duduki pada 2014. "Status saya sebagai menteri pengganti dan kali ini tantangannya jauh lebih complicated," ujar Lutfi, 51 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Kamis, 18 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian nasional membuat Lutfi khawatir. Ia menyoroti surplus perdagangan yang terjadi karena impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor. Dibanding pada 2019, nilai impor tahun lalu anjlok 17,35 persen. Masalahnya, tiga perempat barang impor adalah bahan baku dan penolong. Melorotnya kualitas impor, menurut Lutfi, memicu turunnya produksi dan industri yang berkorelasi dengan anjloknya konsumsi masyarakat. "Meski surplus, kita ibaratnya sedang terengah-engah dalam lari maraton," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lutfi mendapat tiga tugas utama dari Jokowi, yaitu menjaga stabilitas harga; membantu Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menembus pasar ekspor; serta memperluas pasar ekspor ke sejumlah negara nontradisional dengan memanfaatkan kerja sama ekonomi internasional yang telah diteken Indonesia. Lutfi pun mesti membereskan persoalan impor yang dia warisi dari pendahulunya. Ia juga harus bernegosiasi dengan negara-negara Barat, khususnya Uni Eropa, mengenai minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara yang menyumbang nilai ekspor tertinggi di Indonesia.
Kepada Tempo, Lutfi menjelaskan dampak pandemi terhadap sektor perdagangan, kebijakan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil, hingga posisi Indonesia dalam hubungan dagang dengan Cina dan Amerika Serikat. Lutfi didampingi Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, yang membantunya menjajaki kerja sama perdagangan dan investasi baru dengan sejumlah negara.
Bagaimana dampak pandemi terhadap sektor perdagangan sepanjang tahun lalu?
Kalau kita lihat hasil perdagangan 2020, kita mendapatkan hasil sebenarnya tidak terlalu buruk. Kita mendapatkan surplus yang mengakibatkan penguatan rupiah pada awal 2021. Ketika terakhir mendapatkan surplus yang besar pada 2012, kita seperti berlari di tempat yang landai bahkan turunan dengan angin sepoi-sepoi. Kali ini, meskipun neraca perdagangan positif, ternyata kita ibarat terengah-engah dalam lari maraton. Bahkan mungkin kita ini seperti terkilir.
Mengapa?
Total ekspor non-minyak bumi dan gas kita turun hanya US$ 900 juta atau sekitar 0,6 persen. Dengan mempertimbangkan pembatasan sosial berskala besar, situasi value chain dunia yang berubah, masalah pengapalan, dan kontainer yang tidak ada, ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Tapi saat melihat impornya, ini sangat serius karena lebih tajam daripada koreksi terhadap ekspornya. Impor nonmigas tahun lalu turun 17,35 persen menjadi US$ 127,3 miliar. Adapun impor migas turun 30 persen menjadi US$ 14,3 miliar. Ini menyebabkan surplus US$ 21,7 miliar. Impor migas menjadi momok karena Indonesia menghasilkan 750 ribu barel minyak per hari, tapi mengimpor hampir 1,5 juta barel. Ini menyebabkan defisit perdagangan dan mesti kami selesaikan meskipun tidak bisa terlalu cepat.
Apa yang patut dikhawatirkan dari merosotnya nilai impor?
Dari strukturnya, 72,9 persen atau tiga perempat impor kita adalah bahan baku dan bahan penolong. Adapun barang modal untuk investasi sebesar 16,7 persen dan konsumsi cuma 10,4 persen. Ini menunjukkan, ketika kualitas impor kita jelek, sektor konsumsi dan produksi akan langsung terpengaruh.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil. Sejauh mana dampaknya untuk menggerakkan perekonomian?
Ini salah satu kiat untuk menggeliatkan perekonomian Indonesia. Sektor otomotif mempunyai multiplier effect sangat besar. Industri otomotif menyerap tenaga kerja berkualitas tinggi. Yang bekerja di sektor otomotif, dari manufaktur dan suku cadang, mencapai 1,5 juta. Mereka dibayar jauh di atas rata-rata upah minimum regional. Dari sisi supply dan demand, penjualan mobil, yang biasanya 1 juta sampai 1,1 juta, tahun lalu cuma 550 ribu unit. Turun 48,35 persen. Pada saat bersamaan, produksi mobil juga turun 46,73 persen. Keduanya sangat berkorelasi dengan konsumsi dan produksi.
Dengan menurunnya daya beli masyarakat karena pandemi, apakah relaksasi PPnBM untuk mobil efektif menggerakkan perekonomian?
Diskon PPnBm ini untuk memberikan hidup baru terhadap konsumsi, menciptakan kepercayaan konsumen untuk bisa membeli. Pertumbuhan kredit tahun lalu mengalami kontraksi 3,2 persen yang disebabkan orang-orang tidak membelanjakan uangnya. Padahal konsumsi adalah bagian yang sangat penting dalam perekonomian kita. Mudah-mudahan, dengan pemberian diskon PPnBM, konsumen akan meminjam uang ke bank atau membelanjakan tabungannya. Orang-orang yang tahun lalu mestinya membeli mobil akan membeli mobil tahun ini.
Seberapa besar keputusan ini berpengaruh terhadap peningkatan ekspor otomotif?
Kami ingin secepat mungkin bisa memperbaiki stok mobil dan supaya produksi berjalan. Yang kami takutkan perusahaan Jepang bisa bilang untuk efisiensi akan menutup saja pabriknya di Indonesia. Mereka pindahkan produksi Pajero, Expander, Fortuner, dan Kijangnya ke Thailand. Karena itu saya akan samperin pabriknya satu per satu di Tokyo. Saya ingin minta alokasi untuk bisa mengekspor 120 ribu unit mobil mereka ke Australia. Nilainya US$ 3-4 miliar. Jadi kalau kita sekarang mendapatkan US$ 6,6 miliar dari sektor otomotif, dengan tambahan ekspor semoga tahun ini bisa mencapai US$ 10 miliar.
Beberapa importir dan pelaku usaha mengeluhkan kebijakan era menteri sebelumnya, salah satunya tentang transparansi surat persetujuan impor hortikultura. Model kuota untuk impor komoditas juga banyak dikeluhkan. Bagaimana Anda memastikan regulasi bisa dilaksanakan secara transparan?
Misalnya, kemarin ada masalah impor gula untuk rafinasi dan idle capacity. Ketika itu, saya baru dilantik 23 Desember 2020, besoknya keluar semua 1,9 juta ton untuk gula rafinasi dan 640 ribu ton untuk idle capacity. Total sekitar 2,5 juta ton.
Mengapa dikeluarkan sekaligus?
Ini penting karena saya melihat tren harga gula dunia merangkak naik. Untuk memberikan kepastian kepada sektor industri, terutama industri makanan dan minuman, kita mempunyai stok gula yang baik. Kalau saya keluarkan hari ini, mungkin perbedaannya 3-4 persen. Jadi pengusaha bisa mengambil posisi dan itu bagian dari insentif yang kami berikan untuk memastikan stok nasional cukup. Tapi tidak semua serta-merta bisa dilakukan hal yang sama.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menghadiri peresmian program Kolaborasi Akselerasi Mencetak 500 Ribu Eksportir Baru di Jakarta, Rabu 17 Februari 2021. Biro Humas Kemendag
Contohnya seperti apa?
Misalnya komoditas hortikultura yang lain. Kalau saya keluarkan sekaligus akan membanjiri pasar. Terkadang kita bisa ditelikung dan menjadi bulan-bulanan dari negara eksportir komoditas tertentu, khususnya hortikultura. Jadi tidak bisa semuanya dipukul rata dengan satu sistem one size fits all. Tapi yang pasti transparansi di Kementerian Perdagangan akan kami perbaiki dan tata kelolanya kami jaga. Kami juga mesti mempunyai strategi yang tidak bisa secara transparan diutarakan kepada pasar karena berbahaya terhadap harga. Saya pernah mengatakan tugas saya seperti wasit. Wasit itu tidak bisa semuanya transparan. Terkadang ada diskresinya. Yang terpenting saya mengutamakan supaya pembeli dan penjual diuntungkan, dan yang pasti diuntungkan adalah 270 juta rakyat Indonesia.
Minyak kelapa sawit dan batu bara masih menjadi komoditas ekspor primadona Indonesia, padahal keduanya sering dikaitkan dengan isu deforestasi dan emisi karbon. Bagaimana strategi Anda menyikapi persoalan ini?
Saya pisahkan dulu antara CPO dan batu bara. Untuk CPO yang selama ini digembar-gemborkan di negara Barat, terutama Eropa, adalah tentang deforestasi dan keberlanjutannya. Kita mempunyai argumen yang kuat bahwa ternyata CPO lebih efisien penggunaan lahannya dibanding minyak-minyak nabati lain. Kita sudah melakukan moratorium penebangan hutan bertahun-tahun. Kelapa sawit juga lebih baik penyerapan CO2 dan pengeluaran O2-nya daripada minyak nabati lain. Ini semua kami bandingkan sesuai dengan sains yang mereka standarkan.
Apa yang membedakan argumen tersebut dengan argumen yang sebelumnya dipakai pemerintah Indonesia tentang kelapa sawit?
Lutfi: Di masa lalu kita tidak pernah kompak. Karena kita negara berkembang, kita tidak pernah berdebat dengan standar yang mereka berikan. Hari ini saya jamin kita bisa berdebat apple to apple dengan mereka. Dan mereka tahu argumen kita lebih kuat. Sekarang permasalahannya adalah bagaimana mereka memberikan citra jelek dengan mengkampanyekan buruknya kelapa sawit.
Jerry: Soal deforestasi, saya pikir yang dipermasalahkan Uni Eropa tidak konsisten, tidak tepat, dan tidak obyektif. Kita menggugat Uni Eropa karena diperlakukan diskriminatif di forum WTO (Badan Perdagangan Dunia). Salah satu argumen yang mereka layangkan adalah soal deforestasi. Menurut mereka, kita tidak pro-lingkungan. Tapi menurut data yang saya terima kebalikannya. Kalau dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa, salah satu yang paling getol adalah Prancis, yang melindungi kawasan alamnya kurang dari 20 persen. Sementara itu, Indonesia 51 persen. Kontradiksi kedua, selama ini Uni Eropa mengadvokasi free trade. Tapi setelah ditelisik, dirunut lagi, ternyata ini masalah kompetisi, soal kepentingan nasional mereka. Produk lokal mereka kalah bersaing dengan CPO kita.
Bagaimana dengan batu bara?
Batu bara sedikit berbeda. Negara-negara Barat bukan mempermasalahkan keberlanjutannya, melainkan emisi CO2 dari batu bara yang sangat mengganggu mereka. Di Eropa, terutama Eropa Barat, mereka sudah berkomitmen tidak akan lagi membangun teknologi berbasis batu bara untuk listrik. Mereka juga tidak menggunakan, tidak membiayai, dan menghukum perusahaan-perusahaan di Eropa Barat yang masih bersinggungan dengan batu bara.
Mengapa hal itu menjadi persoalan bagi Indonesia?
Ini sebenarnya dilematis bagi kita. Indonesia mempunyai batu bara yang jauh lebih banyak dibanding negara lain. Tapi banyak perusahaan besar yang sudah mulai menjual aset mereka yang bersinggungan dengan batu bara. Contoh terbaru adalah Paiton yang tadinya milik Électricité de France (EDF). Karena Prancis sudah mengamanatkan tidak lagi bersinggungan dengan batu bara, EDF sebagai salah satu pemilik Paiton di Jawa Timur sudah menjual kepemilikannya.
Mengapa ketergantungan Indonesia pada komoditas batu bara sangat tinggi?
Kalau melihat defisit perdagangan, kita menghasilkan 750 barel minyak mentah tapi mengimpor lebih dari 1 juta barel produk minyak. Untuk mengecilkan defisit perdagangan, salah satu pakemnya adalah menggunakan energi asli Indonesia. Salah satunya batu bara. Tapi sekarang ada tren baru. Contohnya Amazon yang mempunyai program zero carbon emission. Saya dengar tempat-tempat penyimpanan data mereka di Singapura diamanatkan untuk dialiri listrik dari energi baru dan terbarukan. Di Singapura mau bikin wind farm atau panel surya di mana? Tidak ada barangnya. Makanya mereka (Amazon) sedang menggodok kemungkinan membangun solar farm di Pulau Bulan untuk mengaliri listrik pusat-pusat data mereka di Singapura. Ini tren yang mesti kita sikapi dan kita harus punya strategi dan rencana yang jelas.
Sewaktu menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat, Anda telah menjajaki kerja sama dengan para investor potensial. Dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, bagaimana antusiasme investor Amerika untuk menanamkan modalnya di Indonesia?
Sebenarnya mereka (Amerika) sedang wait and see. Tapi sudah terlihat mereka akan jalan. Misalnya, Kimberly-Clark, perusahaan sanitary wanita, baru mengakuisisi Softex senilai lebih dari US$ 1 miliar. Ini menunjukkan mereka melihat Indonesia sebagai tujuan investasi lagi. Kimberly-Clark sebenarnya sudah berinvestasi di Indonesia pada 1973 dan mereka kini berinvestasi lagi dan menyatakan Indonesia akan menjadi basis produksi untuk pasar regional. Tapi kami juga dikejar waktu untuk mencari investasi yang lebih besar dan bermakna.
Dari negara mana?
Saya melihat sekarang ini banyak sekali investor dari Tiongkok, misalnya di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Weda Bay (Maluku Utara). Bahkan (pabrik nikel) itu dijual oleh investor Prancis dan Jepang lalu dibeli investor Tiongkok dan akan dijadikan salah satu produksi baterai litium yang sangat penting bagi Indonesia. Lalu di Bintan juga dari Tiongkok untuk smelter alumina dan ingot aluminium. Menurut saya juga akan menjadi primadona ekspor kita. Saya sudah utarakan hal ini kepada para investor di Amerika dan mendapatkan perhatian khusus bahwa Indonesia sangat penting bukan saja untuk pasarnya, tapi juga sumber produksinya.
Berapa banyak investor Amerika yang berpotensi dijaring masuk Indonesia?
Amerika akan datang ke Indonesia untuk beberapa industri penting. Pertama, industri berat logam dan kimia dasar. Mereka akan berinvestasi lagi. Kedua, tanpa mengutarakan siapa investornya, ada satu perusahaan besar Amerika yang akan berinvestasi di Kalimantan Timur untuk mengubah batu bara menjadi metanol. Ketiga, mereka akan masuk dengan platform digital khusus bagi pasar retail kita yang besar, pendidikan, dan kesehatan.
Berapa nilai investasi yang bakal diserap dari sederet investor potensial tersebut?
Tahun pertama pada 2021 ini Amerika akan masuk ke top ten lagi dengan sekitar US$ 4-6 miliar. Mudah-mudahan tahun berikutnya mereka bisa melipatgandakan investasinya di Indonesia menjadi US$ 10 miliar.
Sejauh mana hubungan dagang dengan Amerika mempengaruhi posisi Indonesia sebagai mitra dagang Cina?
Kita tidak boleh memilih antara Cina dan Amerika Serikat. Kita harus berdagang dan berinteraksi dengan keduanya secara lebih baik. Coba dilihat negara tujuan ekspor kita. Kedua negara itu buat Indonesia sangat penting. Nilai ekspor kita ke Cina US$ 29 miliar dan impornya US$ 39 miliar. Amerika di posisi kedua, dengan nilai ekspor US$ 18,62 miliar dan impor US$ 7,49 miliar. Indonesia termasuk enam negara utama dalam BRI (Belt and Road Initiative) Presiden Xi Jinping.
Pemerintah Indonesia menolak menjajaki hubungan diplomatik dengan Israel, sementara kerja sama perdagangan kedua negara mencapai US$ 146 juta pada 2019 dan terus meningkat. Bagaimana Anda menilainya?
Ini permasalahan yang sangat sensitif. Meminjam istilah Pak Hasan Wirayuda, persaudaraan kita dengan Palestina dan two-state solution yang kita canangkan adalah bagian dari utang konstitusi. Mesir dan Palestina yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Tapi interaksi dagang (dengan Israel) tidak bisa dielakkan. Saya ambil contoh, salah satu turbin terbaik di dunia untuk geotermal adalah teknologi dari Israel. Sudah banyak turbin tersebut di Indonesia. Tapi, karena tidak bisa membeli langsung dari Israel, kita mesti membeli dari Amerika yang harganya berbeda 17-30 persen. Urusan dagang tidak pernah bisa membedakan negara atau bangsa. Hubungan dagang akan jalan terus. Hubungan dagang dengan Israel sebenarnya sudah terjadi sejak 30-40 tahun lalu.
MUHAMMAD LUTFI | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 16 Agustus 1969 | Pendidikan: Sarjana Ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat (1992) | Karier: Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jaya (1998–2001), Ketua Nasional Hipmi (2001–2004), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2005-2009), Duta Besar Indonesia untuk Jepang (2010-2013), Menteri Perdagangan (2014), Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (2015-2020), Komisaris Utama PT Darma Henwa Tbk (2019-2020), Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang UMKM (sejak 2018), Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (14 September 2020–22 Desember 2020), Menteri Perdagangan (sejak 23 Desember 2020) | Penghargaan: Young Global Leaders dari World Economic Forum (2008), Bintang Mahaputra Adipradana (2014)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo