Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Senjata Baru Menyergap Koruptor

Komisi Pemberantasan Korupsi kini berwenang memeriksa rekening seseorang di bank. Izin Gubernur Bank Indonesia tak diperlukan lagi.

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini bertambah kuat untuk mengejar para koruptor. Kekuatan baru itu datang dari Mahkamah Agung. Senin pekan lalu, Ketua MA Bagir Manan menandatangani surat berisi fatwa penting: KPK berhak untuk menyelidiki rekening siapa pun yang terindikasi sebagai pelaku atau berkaitan dengan tindakan korupsi. Dan mulai hari itu, KPK tak perlu lagi izin Gubernur Bank Indonesia untuk menelisik dan membongkar rekening para koruptor.

Fatwa ini sebetulnya jawaban bagi surat Gubernur Bank Indonesia yang dilayangkan ke MA pada awal Agustus silam. Ketika itu, otoritas tertinggi perbankan Indonesia tersebut meminta pertimbangan hukum berkenaan dengan kewenangan KPK yang berkaitan dengan ketentuan kerahasiaan bank.

Sebagai lembaga yang diberi besar menyikat para koruptor, KPK memang dibekali berbagai "senjata" untuk memburu para penilap uang. Untuk menelisik keuangan para koruptor, KPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 30/2002, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan pasal tersebut, komisi ini berhak meminta keterangan kepada bank dalam upaya membongkar kasus korupsi. Selain itu, komisi yang berdiri sejak akhir tahun silam ini bisa memerintahkan bank atau lembaga keuangan lainnya memblokir rekening siapa pun yang diduga hasil korupsi. Ibaratnya, pasal ini memang bak senjata sakti KPK.

Kewenangan KPK untuk "menukik" ke nasabah bank memang jadi penting mengingat tugas khusus mereka. Tanpa kewenangan menembus rekening para terduga kasus korupsi, KPK bisa-bisa hanya bakal menjadi macan ompong. Sudah jamak diketahui, para koruptor gemar menyembunyikan hasil jarahannya di bank. Rekening itu bisa saja atas namanya sendiri, bisa pula atas nama orang lain. Nah, tanpa kewenangan menembus dinding tebal rahasia perbankan itu, bagaimana mungkin KPK bisa membuktikan bahwa uang yang disimpan para koruptor adalah uang haram atau halal?

KPK sendiri memiliki pengalaman pahit sebelum fatwa MA tadi turun. Ketika itu, kata Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, pihaknya mencurigai salah satu nasabah menyimpan hasil korupsi di bank. Dengan bekal Pasal 12 yang mereka miliki, KPK meminta bank membuka data rekening nasabah tadi. Mudah diduga, bank menolak mentah-mentah permintaan itu. "Bank tersebut menolak. Mereka mengatakan, yang boleh membuka rekening bank hanya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan," kata Erry.

Pihak bank sendiri punya alasan kuat. Mereka bersandar pada UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di situ memang tak ada pasal yang mengharuskan bank membuka pintu bagi KPK untuk masuk.

Gagal menembus tembok tebal bank, KPK tidak menyerah. Sedikitnya dua kali mereka bertemu dengan Gubernur Bank Indonesia, Burhanudin Abdullah. Tujuan mereka, meminta diberi akses untuk menelisik harta tabungan para koruptor. Tapi Gubernur Bank Indonesia tak berani memberi izin. Mereka takut, jika izin diberikan, nasabah bakal menggugat. Inilah yang kemudian membuat Burhanuddin pada 8 Agustus silam mengirim surat kepada Mahkamah Agung, meminta fatwa hukum atas situasi yang mereka hadapi.

Mahkamah Agung kini sudah menyapu kekhawatiran BI. Dengan fatwa Ketua MA, 2 Desember itu, Mahkamah menyatakan Pasal 12 UU Nomor 30/2002 adalah lex specialis (ketentuan khusus). Ketentuan ini memberikan kewenangan bagi KPK untuk melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "Sebagai lex specialis, ketentuan Pasal 12 dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum," kata Bagir.

Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyambut gembira fatwa MA tersebut. "Sejak awal sudah saya katakan kepada Bank Indonesia, UU KPK itu lex specialis. Keputusan MA ini sangat membantu kerja KPK," kata Ruki kepada Tempo. Mulai sekarang, menurut dia, jika KPK, misalnya, ingin melihat rekening seseorang di sebuah bank, pihaknya tak akan ragu datang ke bank tersebut. Sedangkan praktisi hukum Bambang Widjojanto berharap dengan fatwa ini KPK bisa bekerja lebih baik. "Karena selama ini mereka memang mengeluh tidak bisa membuka rekening bank untuk penyelidikan," ujar Bambang.

Meski punya bekal fatwa ampuh, tidaklah berarti KPK bisa sembarangan membuka rekening nasabah. Mereka yang boleh dibuka rekeningnya hanya para nasabah yang sudah berstatus sebagai tersangka kasus korupsi. Dan sekali nasabah itu dibuka, jalan berliku menembus labirin kasus penilapan uang ini akan lebih terbuka. "Kita lihat aliran dananya. Masuk dari mana, ke luarnya ke mana saja. Aliran ini, mungkin seperti jaring laba-laba, lalu kita selidiki siapa pemilik rekening tersebut," kata Ruki.

L.R. Baskoro


Sejumlah Kewenangan KPK Menurut Pasal 12 UU 30/2002

  • Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.

  • Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

  • Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus