Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
No Way To Forget Pemain: David Ngoombujarra, Geoff Tje, Christina Baunderrs Sutradara: Richard Frankland Penulis skrip: Richard Frankland Produksi: Golden Seashore Production, 1996
Rambutnya keriting, kulitnya hitam. Ia melesat di atas mobilnya yang menderu di antara padang-padang ilalang di pinggir kota, tapi waktu seakan telah berhenti. Kejadian-kejadian itu, ya kejadian-kejadian yang pernah dilihatnya dulu, terus memburunya ke mana ia pergi. Menyelusup ke dalam ingatan, untuk akhirnya terperangkap di dalam kepalanya. Dalam lingkaran setan yang tak membawa ke mana pun.
Ia menyaksikan kejadian-kejadian itu untuk kesepuluh, keseratus, bahkan keseribu kalinya: seorang polisi berkulit putih memukuli satu pemuda berambut keriting berkulit hitam, persis seperti dirinya. Sang pemuda tak berdaya, tapi kemarahan belum berlalu dari wajah dan kelakuan si "oknum" polisi Australia itu. Lalu, seorang lelaki kulit putih merobek baju dan memerkosa seorang gadis berambut keriting, berkulit hitam, sama seperti dirinya.
No Way to Forget karya Richard Frankland, sebuah film pendek yang cuma berlangsung 11 menit. Dan film itu juga diproduksi delapan tahun silam, tapi repetisi adegan-adegan sadistis di atas seolah tetap aktual: melampaui dunia sinematografis, melampaui tahun pembuatannya, menembus ke dunia nyata. No Way to Forget, yang diputar dalam Pekan Film Pendek 17-18 Desember di Jakarta, memang bercerita tentang sesuatu yang sama sekali tak baru. Tapi cara film itu dipresentasikan, bagaimana sutradara mengatur alur cerita, bagaimana gambar-gambar itu diambil, semua menunjukkan trauma yang intens, yang jarang kita dapati.
Rahasianya, Richard Frankland adalah seorang sutradara Aborigin. Ia "orang dalam" yang melihat diri serta persoalan yang sedang dihadapi masyarakatnya. Menurut Gotot Prakosa, dosen Fakultas Film dan Televisi IKJ, para sutradara Aborigin memang lebih menonjolkan persoalan selama ini. Penggambaran mereka tentang rasialisme benar-benar menampilkan hal sehari-hari: aneka bentuk opresi yang sangat mereka kenal.
Black Man Down, karya sutradara Aborigin Bill McCrow, memperlihatkan perbedaan kelas peradaban antara orang kulit putih dan kaum Aborigin. Dialognya biasa, tapi "bahasa" yang dipergunakan ironis, sinis; tak terkecuali pengambilan gambarnya. Dalam tempo 15 menit, film Black Man Down menyoroti gedung-gedung tinggi, gedung-gedung gemerlap orang kulit putih yang mewakili modernitas, kontras dengan komunitas Aborigin yang dilukiskan terbelakang, mendiami gurun pasir gersang.
Dari semua film Aborigin yang diputar, hanya Fly Peewee yang sama sekali tak menyinggung rasialisme. Karya sutradara Aborigin, Sally Riley, ini berkisah tentang persahabatan seorang anak Aborigin dengan seekor burung. Persahabatan yang terancam seekor kucing, sosok yang sudah lama mengintai sang burung.
Ya, sutradara-sutradara Aborigin. David Hanan, guru besar bidang media dan film Universitas Monash, Melbourne, Australia, menggambarkan peran mereka belakangan ini. "Selama sepuluh tahun terakhir, banyak film-maker dari kalangan Aborigin yang membuat film tentang persoalan mereka," kata Hanan. Mereka muncul beberapa saat setelah Graeme Isaac dan Ned Lander, dua sineas kulit putih, menggarap sebuah film tentang Aborigin yang cukup monumental, Wrong Side of the Road, pada 1981. Film yang hebat, kendati tidak sanggup sepenuhnya menangkap permasalahan orang Aborigin.
Pekan Film Pendek Indonesia-Australia hanya mengetengahkan enam film pendek karya sutradara Aborigin. Generasi baru sutradara Aborigin telah muncul dengan identitas dan gagasannya sendiri. Sekali ini mereka mendudukkan diri sebagai antitesis para sutradara kulit putih yang gemar menyoroti kehidupan Aborigin dari sudut yang mereka sukai, yakni Aborigin yang eksotisgambaran yang tentu saja tidak sepahit kenyataan.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo