SERANGAN datang beruntun menimpa Wawan Iriawan, pengacara yang membongkar skandal suap Hakim Torang H. Tampubolon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Memang tak segawat ancaman culik atau bunuh. Tapi, belum lagi skandal suap yang diadukannya selesai diproses, Wawan kini dijegal dari luar dan dalam. Pukulan itu kian mengguratkan kesan, betapa sulit menyibak praktek kolusi di balik toga para penegak hukum.
Senin pekan silam, misalnya, Wawan justru ditekan kawan-kawannya sendiri yang tergabung dalam Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Asosiasi itu meminta Dewan Kehormatan Komite Kerja Advokat Indonesia memeriksa Wawan, yang mereka nilai telah melanggar kode etik pengacara.
Lambok Gultom, juru bicara organisasi itu, menganggap ulah Wawan setali tiga uang dengan Hakim Torang. Soalnya, sebelum membongkar aib sang Hakim, Wawan pernah memberikan sebuah telepon genggam berikut nomornya kepada Torang. Tindakan itu, kata Lambok, jelas tak patut dilakukan oleh seorang pengacara. ?Itu sama dengan praktek suap juga,? ujarnya.
Lambok mengatakan bahwa asosiasinya tak ingin bersikap diskriminatif. Wawan, anggotanya sendiri, harus diperlakukan sama seperti Hakim Torang. Selama kasus suap itu dalam proses pemeriksaan, Hakim Torang memang telah dilarang memimpin sidang di pengadilan Jakarta Selatan. Dia kini berstatus hakim nonpalu. Biar adil, kata Lambok, sekarang giliran pengacaranya yang harus diperiksa. ?Kita jangan menggunakan standar ganda,? ujarnya.
Tapi, meski mengatakan siap diperiksa, Wawan menolak tuduhan dia telah melanggar kode etik. Dia mengatakan, Toranglah yang lebih dulu meminta telepon genggam itu kepadanya dalam rangka melancarkan perkara. Peristiwa itu terjadi sebelum Torang secara gamblang meminta duit Rp 3 miliar, Desember lalu, untuk memenangkan perkara kliennya.
Permintaan telepon genggam Torang, kata Wawan, memang kemudian diteruskan kepada kliennya. ?Klien saya setuju,? katanya, ?Telepon genggam itu kita antarkan langsung ke Torang.? Tapi, menurut Wawan, tindakan hakim meminta suap miliaran rupiah justru jauh lebih penting ketimbang kasus telepon genggam itu. ?Saya mengungkap semua ini demi penegakan hukum,? ujarnya.
Diakui Lambok, Wawan memang pengacara berani. Wawan membuat geger Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Desember lalu, ketika dia menyingkap ke publik rahasia di balik vonis kasus perdata PT Satya Teguh Persada, yang dibelanya, melawan PT Asri Kencana Gemilang. Kasus perdata itu berawal dari pengalihan utang (cessie) yang dibeli lewat lelang oleh PT Satya dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 105 miliar. Jual-beli itu dianggap tak sah oleh PT Asri, yang kemudian meminta pengadilan membatalkannya.
Sebelum vonis, Hakim Torang mengajak bertemu. Suatu malam, di Hotel Mulia, Senayan, bersama kliennya dari PT Satya, Taufik Suryadarma, Wawan bertemu dengan hakim itu. Torang mengatakan posisi hukum PT Satya kuat dan bisa menang. Cuma, ada sedikit syarat. Ya, apa lagi kalau bukan menyetor fulus.
Tapi menebus vonis dengan duit Rp 3 miliar terasa berat bagi pihak PT Satya. Taufik tak sanggup. Akibatnya fatal. Dalam vonis perkara itu, perusahaannya kalah telak. Bersama tergugat lainnya, yaitu BPPN dan Bank Mandiri, perusahan itu justru harus menanggung ganti rugi Rp 43 miliar.
Lantaran kesal dengan ulah sang Hakim, Wawan pun mengadukan skandal suap itu kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia juga melaporkan kasus itu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan sangkaan tindak pemerasan. Sejauh ini, polisi baru mulai mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi. ?Belum semua kita periksa, baru tiga orang,? ujar Ajun Komisaris Polisi Y. Zendrato, S.H., penyidik dari unit tindak pindana korupsi.
Menurut polisi, Hakim Torang segera diperiksa bila saksi dan bukti cukup kuat. Wawan mengajukan empat orang saksi untuk kasus itu. Selain dirinya dan Taufik Suryadarma, diajukan nama Murodi, seorang staf kantornya yang pernah mengantarkan telepon genggam ke Hakim Torang. Selain itu, ada seorang saksi kunci, Mohamad Azhari.
Nama Azhari memang baru muncul belakangan. Azhari adalah klien Wawan yang kebetulan hadir dalam pertemuan di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan. Rupanya, sebelum pertemuan yang menggegerkan di Hotel Mulia itu, ada pertemuan yang lain. Perjumpaan di Hotel Gran Melia itu terjadi sekitar dua bulan sebelum vonis.
Azhari hadir di sana tanpa sengaja. Dia klien Wawan untuk perkara lain dan bertemu di hotel yang sama. Saat Torang datang, mereka duduk satu meja. Di situlah Azhari sempat mendengar bagaimana Torang mengatakan ?bisa membantu kasus PT Satya asal ada duitnya.? Tapi, entah mengapa, Azhari belum dapat memenuhi panggilan polisi sampai pekan lalu. ?Mungkin dia takut melawan korps baju hitam,? ujar Wawan.
Alasan itu masuk akal. Soalnya, sebelum terbentur soal kode etik, akibat pengaduannya soal hakim suap itu, karier Wawan sebagai pengacara kini terancam. Pengadilan Tinggi Jakarta membuat sepucuk surat sekitar 10 Januari lalu kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Isinya, agar pengadilan memeriksa Wawan karena menuduh Hakim Torang menerima suap tanpa bukti yang sah. Selama proses pemeriksaan itu, Wawan tidak boleh menangani perkara perdata ataupun pidana di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Lalu Mariyun, mengakui sedang mempelajari surat itu. Dasar hukum yang dipakai adalah surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman RI pada 1987 soal pengawasan notaris dan pengacara. ?Kita sedang mempelajari surat izin pengacaranya,? ujar Lalu.
Tapi Thomas Tampubolon, Wakil Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia, siap membela Wawan. Thomas meragukan obyektivitas pemeriksaan yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas diri Wawan. Soalnya, Hakim Torang adalah salah satu hakim yang bekerja pada pengadilan itu. Kalau pemeriksaan dilakukan, sangat mungkin terjadi benturan kepentingan. ?Kita akan memberikan bantuan hukum kepada Wawan,? ujar Thomas.
Melihat gelagat itu, jangan-jangan kasus Hakim Torang akan berujung sama dengan kasus hakim Manulife. Pertengahan Januari lalu, polisi menghentikan penyidikan dugaan suap atas Hakim Hasan Basri, Tjahjono, dan Ch. Kristi Purnamiwulan. Selain tak ada bukti yang kuat, polisi berpegang pada hasil sidang Majelis Kehormatan Hakim yang memutuskan para hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu tak pernah melakukan perbuatan tercela.
Kalau sudah begitu, yang berbahaya justru nasib Wawan, si saksi pelapor. Salah-salah dia bisa dihukum seperti Endin Wahyudin, yang melaporkan kasus penyuapan terhadap dua hakim agung dan seorang mantan hakim agung. Dua tahun silam, Endin diadili. Dia dituduh mencemarkan nama baik Hakim Agung Supraptini Sutarto, Marnis Kahar, dan Yahya Harahap.
Di balik jubah hitam para hakim bermasalah itu, hukum tampaknya tak bersinar terang.
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini