Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sejuta dalam Selembar Daun

Jutaan rupiah mereka habiskan untuk beberapa helai daun langka. Karena hobi, gengsi, atau cinta?

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ceritera ini datang dari Ungaran, sebuah kota kabupaten di dekat Semarang. Tersebutlah seorang pengusaha asal Semarang, kita sebut saja Hermanu Tiarno. Di antara para saudagar tanaman hias langka setempat, kedatangan Hermanu boleh jadi teramat dinanti. Maklum, dia bukan jenis pembeli yang cerewet. Sodorkan saja tanaman paling langka dan mahal ke hadapannya. Dengan sigap Hermanu akan bergerak membuka tas uangnya, membayar, dan mengangkut belanjaan berharga tersebut. Di rumahnya, tanaman itu dipajang dalam pot dan siap dikisahkan riwayat dan harganya kepada siapa saja. Tapi satu hal: jangan meminta Hermanu menyediakan waktu untuk mengelus-elus daun-daun itu. Dia sibuk berniaga. Maka tanaman berharga jutaan rupiah itu akhirnya mati merana. Toh tumbuh-mati bukan soal. Begitu tanaman itu tewas, Hermanu kembali menelusuri aneka nursery—tempat budi daya tanaman langka—untuk memborong lagi "simbol gengsi" berikutnya. Kisah ini dituturkan Furqon Ardiyono, pembudi daya tanaman langka di Ungaran yang kerap berhubungan dengan Hermanu. "Dia amat bangga jika koleksi tanamannya itu langka dan berharga selangit," Furqon bercerita. Furqon tampaknya sudah terbiasa dengan aneka perilaku pelanggannya. Mereka datang dari berbagai penjuru: Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Solo, Bali, Surabaya, Magetan, Kudus, Malang. Ke Nursery Mitra Flora miliknya di Jalan Susukan, Ungaran, mereka mengejar koleksi terbaru. Halaman rumah itu rimbun dan asri oleh ratusan pot tanaman hias bergelantung. Sekilas mirip suasana di depot-depot penjualan tanaman hias biasa. Tapi, tunggu dulu. Kalau di dompet Anda cuma tersimpan sekadar tiga ratus ribu rupiah, sebaiknya menjauhlah dari sana atau nursery mana pun. Harga daun-daunan yang berwarna aneka rupa (dari merah, biru, hijau, berbintik-bintik seperti beras tumpah) di Mitra Flora maupun nursery serupa di Yogyakarta, Bogor, atau Jakarta bisa ratusan ribu bahkan membentur angka sejuta rupiah untuk selembarnya. Astaga! Apa hebatnya sehingga perlu uang sejuta untuk selembar daun? Mengutip Sri Linggawati, seorang nyonya pemilik nursery di Godean, Yogyakarta, harga itu ada dalam "komunitas kolektor" sendiri. Tapi kelangkaan, keindahan, dan "sejarah" tanaman adalah beberapa hal yang menentukan angka-angka itu. Coba simak penuturan Greg Garnadi Hambali. Tadinya bekerja sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Greg banting setir pada 1983 dengan menjadi pengumpul, penjual, peneliti serta konsultan tanaman hias langka. Greg, yang ahli membuat persilangan baru, menyaksikan bagaimana pasar pemburu tanaman hias ini berkembang menggeliat bangun secara mencengangkan. Pride of Sumatra adalah satu contoh. Tanaman ini merupakan hasil perkawinan yang diatur Greg antara Aglaonema commutatum varietas "tiga warna" dan Aglaonema rotundum. Rotundum membawa sifat unik pada hasil persilangannya. Daunnya berwarna merah tua kehijau-hijauan—tidak seperti Aglaonema biasa yang berwarna hijau keputihan. Sayang, pohonnya kerdil. Rotundum ini hanya tumbuh di pedalaman Sumatera. Greg mencomblangkan dua jenis Aglaonema di atas dan lahirlah Pride of Sumatra, salah satu bintang paling cemerlang dalam komunitas tanaman langka pada 1989. Kelahiran si Pride makan waktu tiga tahun. Tidak sia-sia Greg menunggu selama itu: tumbuh agak tinggi, berdaun lebar dengan "tulang-tulang" berwarna merah, pohon ini bisa dilepas Greg dengan harga puluhan juta rupiah ketika belum banyak beredar. "Saat itu satu lembar daunnya bisa dihargai hingga Rp 500 ribu. Bahkan di Thailand bisa mencapai Rp 1,5 juta," ujarnya kepada TEMPO. Orang-orang yang tidak bersentuhan dengan tanam-tanaman hias langka barangkali geleng-geleng mendengar besarnya uang dan waktu yang diinvestasikan para pencintanya. Ada yang melakukannya karena gengsi. Bisa juga karena hobi atau bisnis. Tapi ada juga yang benar-benar mengaku karena cinta. Tidak percaya? Tanya saja kepada Eny Tugiman, seorang kolektor dan pedagang tanaman hias dari Nogotirto, Yogyakarta. Eny memiliki seorang pelanggan dari Purwokerto. "Yang harganya puluhan juta pun bisa dia beli dengan enteng. Saking cintanya pada tanaman, dia tidak ingin menambah anak," ujarnya. "Sudah senang menikmati tanaman. Kalau tambah anak, bikin repot," Eny menirukan ucapan si kolektor asal Purwokerto. Eny sendiri mengaku punya ikatan istimewa dengan tanamannya. Salah satu koleksinya, Philo Jari yang "berkebangsaan" Thailand, sudah ditawar Rp 1,4 juta. Sebelum si pembeli datang, Eny berlama-lama menatap Philo itu dan membelai batangnya. Entah kenapa, batangnya putus. Eny membatalkan transaksi. Potongan batang itu dia tanam kembali dan kini sudah berlembar tiga. "Mungkin Philo Jari itu tidak mau saya jual," ujarnya sembari tertawa. Pengejaran tanaman hias langka bukan fenomena baru. Greg sudah mendagangkannya belasan tahun lalu. Atau Lesmana, pedagang dan pencinta tanaman hias asal Rawabelong, Jakarta Barat, yang bersentuhan dengan koleksi ini sejak 20 tahun silam. Tapi trennya memang meningkat dalam bulan-bulan terakhir. Di Yogyakarta, misalnya, kini hampir setiap bulan digelar pameran. Pada Januari ini, sebuah pameran dilangsungkan di gedung Happy Land di kawasan Timoho. Sedangkan awal Februari nanti pergelaran besar tanaman hias akan dibuka di Gedung Purna Budaya, Bulaksumur. Di ajang pameran pula komunitas pencinta tanaman hias langka biasanya bertemu dan bertukar informasi. Mengobrolkan koleksi selama berjam-jam adalah salah satu hobi mereka. Lesmana, misalnya. Ketika TEMPO mendatangi rumahnya di Rawabelong, beberapa pot kamboja hias terlihat berdesakan di atas sebuah meja. "Tanaman hias apa yang Anda ketahui?" ujarnya dengan wajah berseri-seri. Koleksi terbanyak Lesmana adalah sikas enchephalartos. Pedagang ini juga pernah memiliki jenis Dioon El Cameroon yang amat langka di dunia. "Bahkan di negeri asalnya, Australia, tanaman ini amat jarang ditemukan," Lesmana bertutur. Dua belas tahun silam, ada satu pokok Dioon yang masuk ke Indonesia. Setelah berpindah tangan beberapa kali, tanaman itu jatuh ke tangan Lesmana. Koleksi itu kemudian dia lepas kepada seorang teman baik dengan tarif Rp 10 juta. Majalah Trubus mencatat nama Thomas Zainal Sucipto sebagai pemilik terakhir tanaman tersebut. Seperti halnya semua komunitas kolektor barang langka, riwayat perburuan adalah bumbu yang mempercantik kehebatan koleksi. Haryono, seorang kolektor asal Demak, tak berkeberatan menghabiskan waktu berpekan-pekan di hutan Sumatera untuk memburu tanaman langka. Hasil perburuannya akan dia tangkar untuk dilepas lagi dengan harga berjuta-juta. Dalam hal nama, tanam-tanaman ini tidak hanya menyandang nama Latin. Di kebun Sri Linggawati seluas 200 meter di Godean, Anda bisa menemukan Gelombang Cinta yang berharga Rp 700 ribuan. Atau Anthurium Chemani yang bisa laku Rp 4,5 juta per pohon. Ada juga Zamia Zkinneri yang berharga Rp 1,7 juta. Zamia masuk kelompok cycads. Berbatang keras, amat membutuhkan sinar matahari, cycads adalah salah satu jenis yang tengah naik daun. Lalu siapa mereka, para pencinta tanaman hias ini? Mereka datang dari berbagai latar belakang: profesional, pedagang, ibu rumah tangga, dan eksekutif. "Banyak yang muda dan kaya-kaya," Sri Linggawati menjelaskan. Yang jelas, mereka paling tidak punya dua kesamaan: kecintaan pada tanaman langka dan duit. Satu hal, tanam-tanaman itu juga bisa membalas kasih sayang para juragannya dengan sepadan. Dokter Purbo Djojokusumo bisa menjadi contoh dalam hal ini. Di rumahnya di Jembatan Lima, Jakarta Barat, pot-pot sikas biru dan blanceng-blancengan memancarkan warna-warni yang indah. Dan salah satu koleksi Pride of Sumatra-nya mengantarkan Purbo pada ketenaran. Dalam acara Floriade—pameran tanaman hias bergengsi di Belanda setiap 10 tahun—pada pertengahan 2002 silam, Purbo meraih hadiah kedua. Menurut rata-rata kolektor, menanam dengan cinta adalah salah satu syarat mutlak untuk membuat tanaman itu tumbuh besar dan memancarkan keindahan. Eny Tugiman dari Yogyakarta melukiskan kasih sayangnya dengan cara demikian ini: "Saya bisa duduk berjam-jam menatap keindahan mereka, dan rasa stres saya hilang." Bina Bektiati, Endah W.S. (Jakarta), Sohirin Irin (Semarang), L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus