JUMLAH cambukan yang dialami Asmara dan Asmari, menurut
pengakuan mereka, 50 kali. Yang diterima tiga orang rekan mereka
masing-masing 170 kali. Mereka juga dipenjara: Asmara-Asmari 4
bulan, yang lain 1 tahun.
Jumlah cambuk yang 50 maupun 170 itu tidak tercantum di Qur'an.
Yang ada: 40 kali untuk peminum arak (dengan syarat disaksikan 2
orang dengan mata kepala, dan kesaksian mereka diterima hakim),
100 kali untuk pezina laki maupun wanita (dengan saksi 4 orang
dan dengan ketentuan seperti di atas), dan 80 kali untuk orang
yang. menuduh orang berzina tanpa saksi termaksud.
Bagi yang berzina memang ada hukum pancung seperti dilaksanakan
di Saudi -- yang agaknya penterjemahan dari hukum rajam (lempar
batu sampai mati), khusus bagi pezina yang sudah atau pernah
kawin. Tapi hukum rajam itu sendiri tak ada dalam Qur'an,
melainkan dalam hadis. Itu pun ada ahli tafsir yang menganggap
rajam ini sebenarnya tak dimaksud.
Hukuman penjara, seperti yang dialami Asmara-Asmari dkk, juga
tak dimuat di Qur'an. Sebab seperti dikatakan setengah sarjana
hukum Islam seperti dipraktekkan dulu itu justru dimaksud untuk
tidak membebani pemerintah dengan membikin penjara segala.
Tetapi ada penafsiran Imam Abu Hanifah terhadap ayat yang
mencantumkan salah-satu sanksi hukum bagi orang yang "memerangi
Allah dan rasulNya dan membuat bencana/teror di muka bumi (di
dalam negeri)." Orang itu, menurut bunyi ayat, harus "dibuang
dari bumi/negeri." Menurut Abu Hanifah, penegak Mazhab Hanafi
dalam Hukum, itu berarti 'dipenjara'.
Bukan Fasal KUHP
Bahwa Saudi mempraktekkan bentuk-bentuk hukum yang tidak tepat
benar dengan bunyi Qur'an, bahkan dengan hadis (sebab Nabi tak
pernah memenjara orang), menunjukkan bahwa yang tertulis di
Qur'an sebenarnya bukanlah fasal-fasal yang harus dihargai sama
dengan fasal-fasal KUHP misalnya -- yang bisa dicopot dan
langsung dipakai. Adapun fasal-fasal "model KUHP" itu terdapat
dalam kitab fiqh. Dan kitab fiqh, kumpulan dari hasil-hasil
penyimpulan hukum, selain berbeda-beda menurut ijtihad berbagai
ulama, juga dipengaruhi oleh keadaan, negerl, maupun zaman di
mana sang ulama berada.
Dalam Qur'an misalnya disebut hukuman potong tangan bagi
pencuri. Banyak sekali ulama klasik berselisih tentang berapa
batas nilai barang yang dicuri untuk bisa dikenai hukum
tersebut. Sebab seorang pencuri ayam atau seorang Wasdri
tentulah tak layak dipotong apa-apanya. Dan perbedaan pendapat
itu menunjukkan terbukanya penafsiran.
Soalnya Nabi sendiri menyatakan hukum potong tangan tidak
dikenakan atas pencurian buah-buahan di pohonnya, atau bila
pencurian dilakukan karena terpaksa di perjalanan, atau
pencurian yang jumlahnya kurang sesuai.
Khalifah Umar bin Khattab bahkan tak memakai hukum potong tangan
buat pencuri di masa paceklik. Ia juga pernah didatangi seorang
majikan, yang mengadukan buruhnya yang mencuri sekeranjang
korma. Si buruh menerangkan ia mencuri oleh tekanan ekonomi di
bawah majikan yang sewenang-wenang. Maka Umar justru menghukum
si majikan, bukan si buruh.
Cara Nabi sendiri memperlakukan hukum itu sangat menarik.
Seorang mengaku kepadanya: ia telah berzina. Nabi menyahut: ah,
barangkali kau main-main saja. Tapi ia mendesak, supaya dihukum,
sampai tiga kali. Akhirnya ia disuruh ikut sembahyang dulu. Dan
setelah sembahyang, dan ia mendesak lagi, Nabi lalu memukulkan
100 kali dua bilah pelepah korma, yang agaknya kurang
menyakitkan dibanding dengan rotan atau cemeti kulit.
Sebab rasa sakit kelihatan memang bukan yang dituju benar.
Seperti yang disebut dalam ayat Qur'an sendiri, yang juga
penting adalah hadirnya sekelompok orang yang menyaksikan
hukuman itu. Dus hukuman lebih merupakan contoh bagi orang
banyak, dan pemberian rasa malu alias tekanan batin -- dengan
catatan bahwa setelah proses hukuman, orang yang berdosa itu
dalam agama dianggap "bersih dari dosa".
Memang kelihatan bahwa bentuk-bentuk hukum yang disebut sebagai
jenis hudud (batas) itu, lebih banyak merupakan contoh hukuman
maksimal yang terutama mempunyai arti sebagai peringatan keras
terhadap dosa yang dalam agama memang dianggap serius.
Tentu saja bentuk-bentuk hukum itu bisa dilaksanakan persis.
Khalifah Hisyam misalnya, pernah mencoba mempraktekan hukum
potong tangan selama setahun. Di tahun berikutnya, hukum itu
digantinya dengan hukuman penjara. Hasilnya: di tahun kedua,
pencurian meningkat drastis.
Nah. Tak jelas apakah pertimbangan kepada 'efek' itu juga yang
menyebabkan Singapura, seperti juga Malaysia sekarang, tetap
memberlakukan hukum cambuk. Itu juga sebabnya mengapa Prof.
Rasjidi, Mahaguru Hukum Islam di UI menyatakan: "Coba saja para
koruptor itu dipotong tangannya -- tak usah dihukum mati. Lalu
lihat efeknya di masyarakat."
Gadhafi
Sebaliknya Mu'ammar Gadhafi, yang di tahun 1973 melaksanakan
hukum potong tangan di negerinya, dikabarkan sudah mengendorkan
hukuman itu. Alasannya menurut koran Barat: "Tangan itu mereka
perlukan bua bekerja. "
Toh kelihatan bahwa hukum-hu kum hudud dengan demikian merupakan
produk masyarakat pedalaman Arabia abad ke-7. Padahal baik
Qur'ar maupun Nabi menyatakan bahwa seluruh kandungan isi Kitab
Suci mau pun Sunnah (perilaku Nabi, termasu contoh-contoh Nabi
menafsirkar Qur'an) berlaku abadi.
Maka barangkali ialah: ayat-ayat tentang hukum, dalam pandangan
par penafsir modern, mesti difahami bersama dengan kondisi
masyarakat yang menjadi tempat turunnya wahyu-wahyu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini