Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah Asmara & Asmari Di Negeri...

2 orang Indonesia mendapat hukuman cambuk, karena rumahnya dipakai untuk pertemuan antara 2 laki-laki yang mengaku berasal dari Solo dan seorang wanita Arab bercadar. (hk)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASMARA dan Asmari bukan kakak beradik. Mereka mendarat di Lapangan terbang Internasional Halim PK Jakarta, 7 Nopember lalu. Turun dari pesawat terbang dari Singapura, muka keduanya kecut memendam kekecewaan. Pakaian mereka lusuh dan cuma mengenakan sendal jepit -- dandanan yang tak layak bagi siapapun yang kembali dari luar negeri. Tak ada kopor milik mereka yang keluar dari bagasi. Sebab satu-satunya kopor milik bersama telah hilang sejak dalam perjalanan sebelumnya dari Dhahran, Arab Saudi, ke Singapura. Padahal dalam kopor mereka itu, yang seharusnya dibawa oleh pesawat terbang milik China Airlines, tersimpan juga uang sebanyak US$ 3.200. Tapi bukan pasal hilangnya kopor itu, terutama yang membikin Asmara dan Asmari bagai kehilangan segala-galanya. Sebuah peristiwa di Arab Saudi, tempat beberapa waktu mereka mencari nafkah, lebih menyakiti hati. Di sana Asmara dan Asmari telah berurusan dengan hukum yang tidak mereka fahami kedua warganegara Indonesia ini, oleh suatu keputusan pengadilan Arab Saudi. Telah dihukum penjara empat bulan ditambah hukuman cambuk 50 kali deraan. Mula-mula kedua WNI tersebut digiring ke suatu tempat yang paling ramai, dekat pangkalan taksi dan tepat di muka pasar di Kota Hufuf. Di situlah, di muka orang ramai dan dengan tangan terborgol, keduanya harus menerima 50 kali deraan rotan di permukaan punggung telanjang. Rasanya? "Boleh coba sendiri," kata Asmari. "Selain kulit lecet, sakitnya juga seminggu masih terasa perih." Namun, lebih dari sekedar sakit di kulit, "sakit di dalam hati, malu, sulit sembuhnya." Wanita Bercadar Tapi apa mau dikata, kalau memang cara begitu yang berlaku di Arab sana? Walaupun, sebenarnya, peristiwa Asmara dan Asmari ini memang sebuah cerita sial ditambah sedikit kelalaian. Mohamad Asmari (34 tahun) dan Win Asmara (27 tahun) adalah buruh kontrakan Fluor Arabia di Hufuf. Dikirim dari Indonesia oleh Fluor Eastern Jakarta. Mereka dipekerjakan pada divisi perbekalan perusahaan penyulingan minyak Al-Hasa. Karena harus tinggal di luar kamp, keduanya masing-masing mendapat tunjangan perumahan, makan dan transpor sebanyak 1100 rial tiap bulan. Bersama seorang kawan Indonesia lain dan seorang Filipina, Asmara dan Asmari menyewa sebuah rumah yang dibayar secara patungan. Namun baru 18 hari tingal di rumah itu, yaitu dalam masa kontrak kerja kedua yang baru berlangsung sekitar 4 bulan, terjadilah peristiwa itu. Mulanya 7 Juli mereka kedatangan tiga orang tamu tak dikenal sebelumnya dua orang laki-laki, mengaku bernama Ahmad Abdullah (27 tahun) dan Husen (26 tahun. Katanya, keduanya sama-sama berasal dari Solo. Mereka membawa seorang wanita muda bercadar. Kedua orang Solo itu memperkenalkan diri sambil menyatakan telah menetap di Arab Saudi selama 6 tahun dan juga pernah menyewa rumah yang belakangan didiami Asmara dan Asmari. Mereka juga masih memegang kunci rumah tersebut. Sedangkan wanita Arab bercadar itu, katanya, kekasih salah seorang dari mereka. Pertemuan ketiga orang itu mcmang biasa dilakukan di rumah itu. Dan kedatangan mereka kali inipun, minta dengan sangat agar Asmara maupun Asmari merelakan rumahnya sebagal tempat pertemuan kembali. Tentu saja tuan rumah yang tahu gelagat buruk mencegah terjadinya pertemuan di rumah mereka. Malapetaka hebat akan terjadi bila pertemuan laki-laki dan wanita yang bukan suami-isteri itu diketahui hamba hukum setempat. Jauh-jauh sejak dari lndonesia pengetahuan umum begitu sudah terpatok di kepala buruh-buruh yang dikirim ke Arab. Tapi Ahmad dan Husen tetap mendesak. Sehingga meski tuan rumah berkali-kali menyatakan tak mau terlibat urusan begituan, tak bisa bilang apa-apa lagi. Dan lagi, menurut Asmari kemudian, kedua tamunya akan bertanggung jawab send-ri dan tak akan melibatkan tuan rumah bila terjadi sesuatu akibat dari perbuatan mereka itu. Apa boleh buat. Untuk menutup mata Asmara dan Asmarl sekitar jam 8 pagi itu meninggalkan rumah dan putar kayun di pasar. Kawan Indonesia lainnya menghabiskan waktunya di pantai (kebetulan orang Pilipina, teman serumah mereka, sedang cuti dan pulang kampung). Menjelang waktu shalat Jum'at, kira-kira jam 11 siang, Asmara dan Asmari baru pulang ke rumah. Eh, ketiga tamunya masih saja ngendon di sana. Kedua tuan rumah ini, karena masih memperhitungkan risiko, enggan masuk ke dalam. Mereka menunggu di halaman rumah saja. Dikutak-katiklah sepeda-motor sambil menunggu tamunya selesai dengan urusan di dalam. Baru seperempat jam Asmara dan Asmari sibuk dengan sepeda-motornya, mendadak telinga mereka ditusuk oleh suara nguing-nguing sirene. "Seperti suara mobil pemadam kebakaran," kata Asmari. Yang muncul ternyata tiga buah mobil polisi. Asmari dan Asmara berlagak pilon saja ketika kediaman mereka digerebek polisi. Mereka terus saja asyik mengutak-atik sepeda motor. Tapi telinga mereka mendengar jeritan-jeritan dari dalam rumah yang digerebek sekitar 15 anggota polisi itu. Selesai berurusan dengan ketiga orang tamu ternyata polisi tak melewatkan kedua tuan rumahnya. Betapapun Asmara dan Asmari menjelaskan, tak merubah niat polisi hendak menahan mereka. Setelah membabat rambut gondrone Asmara dan Asmari di tempat, polisi terus melempar keduanya ke dalam mobil. Mulanya kedua buruh Fluor Arabia masih punya pengharapan: sedikit diperiksa setidaknya sebagai saksi, terus akan dibebaskan. Ternyata urusan tak segampang itu. Selesai diperiksa keduanya segera dibuang di penjara bawah tanah bersama-sama Ahmad, Husen dan teman wanita mereka. Dua hari kemudian mereka dipindahkan "ke penjara besar di kota Hufuf," kata Asmari. 50 hari kemudian kelima tahanan itu dihadapkan ke pengadilan. Ahmad, Husen dan wanita bercadar mereka yang memang tertangkap basah melanggar hukum, tak berusaha mengelak tuduhan. Pun ketiganya membenarkan bantanan Asmara dan Asmari, bahwa kedua tuan rumah sama sekali tak punya urusan apa-apa. Tapi hakim memutuskan: Semua terdakwa, tanpa kecuali hersalah. Hakim tak menghukum terlalu berat. Sebab menurut pemeriksaan medisatas terdakwa wanita Arab, sebelum peradilan berlangsung, ternyata dia masih tetap perawan. Dia bersama Ahmad dan Husen dijatuhi hukuman setahun penjara dan dicambuk di muka umum sampai 170 kali. Sedangkan Asmara dan Asmari, yang dituduh menyediakan rumahnya untuk pertemuan laki-laki dan wanita yang bukan suami-isteri atau muhrimnya itu, kena hukuman 4 bulan penjara dan dera 50 kali. Setelah menjalani hukuman tersebut kelimanya harus diusir pula dari Arab Saudi. Ahmad, Husen dan wanita Arabnya tak banyak rewel. Mereka menerima hukuman dan segera menandatangani vonis. Tapi Asmara dan Asmari membantah -- tanpa tahu bagaimana cara membantah suatu keputusan pengadilan di Saudi sana. "Jangankan empat bulan, seharipun kami tidak mau ditahan," kata Asmari kepada hakim. "Karena kami merasa betul-betul tidak bersalah." Tapi hakim Saudi ini cuma menanggapinya dengan tertawaan. Katanya, seperti diceritakan Asmari, tanpa meneken surat keputusan pun mereka akan tetap masuk penjara. Eksekusi hukuman cambuk dilakukan beberapa waktu setelah putusan hakim. Sehari sebelum menjalani hukuman cambuk dokter memeriksa kesehatan mereka. Maka dengan disaksikan khalayak ramai dan dihadiri hakim, polisi, petugas imigrasi dan entah siapa lagi cambukpun mendera mereka. Setelah masa hukuman penjara berakhir tanpa diberi kesempatan apa-apa -- misalnya sekedar bertemu dengan perusahaan yang mengontrak mereka - Asmara dan Asmari terus digiring polisi sampai ke tangga pesawat di Lapangan terbang Dhahran. Kecerobohan kedua orang itu sendiri adalah karena menyimpan uang di dalam kopor dan menyerahkannya kepada petugas penerbangan Cina sebagai bagasi. Petugas yang diberitahu hal itu setelah 30 menit katanya berusaha menarik kembali kopor tersebut -- ternyata mengatakan: barang itu telah terlanjur masuk ke perut pesawat. Namun setibanya di Singapura ternyata satu-satunya kopor milik kedua orang yang malang ilU tak ikut sampai di sana. Asmari mencurigai petugas penerbangan Cina di Dhahran sengaja menahan kopor yang diketahuinya berisi uang. Habislah sudah hasil jerih payah mereka memeras keringat di negara padang pasir itu. Sampai-sampai, begitu keluar dari Halim PK, " uang satu dollar pun tidak ada di kantong kami." Kekesalannya, ditambah lagi, mereka merasa tak memperoleh perhatian semestinya dari KBRI di Arab Saudi dan lebih-lebih dari perusahaan yang mempekerjakan mereka di sana. Misalnya, membiarkan mereka yang buta hukum ini berdiri sendirian di muka hakim, tanpa kelihatan ada usaha membimbing, apalagi menyediakan penasehat hukum. Bisa Dipancung Pejabat Fluor Eastern di sini, drs Nyoman Puger, mengakui memang Fluor Arabia tidak berbuat banyak untuk mengurus buruhnya yang tersangkut perkara hukum. Sekali memang pernah ikut minta agar kedua buruhnya itu ditahan luar. Tapi tak dilayani pengadilan. Selebihnya Nyoman Puger menganggap apa yang menimpa Asmara dan Asmari itu hanyalah "nasib sial". Pihaknya, katanya, selalu menasehati para buruh sebelum berangkat ke sana-agar menjauhi urusan yang menyangkut-nyangkut soal wanita. Bahkan ancamannya juga dikemukakan: salah-salah bisa dipancung! Nyoman menilai putusan hakim yang menganggap kedua buruhnya itu bersalah adalah wajar. Mengapa keduanya membiarkan tamunya diam di rumahnya? "Jadi pantaslah kalau yang berwenang di rumah juga dihukum." Namun demikian Nyoman Puger keberatan bila perusahaannya dituduh tidak mengindahkan nasib buruhnya. Sisa uang kontrak telah dikirimkan ke penjara bersama pakaian mereka. Tiket kembali ke Indonesia juga disediakan. Nyoman sendiri malah menjemput Asmara dan Asmari di Halim PK. Dari lapangan terbang mereka ditraktir Nyoman makan. Sebelum Asmara pulang ke Bali danAsmari ke Malang, menurut Nyoman, perusahaannya juga telah membayar lagi sisa uang kontrak kepada mereka Rp 200 ribu masing-masing. Tapi tak hanya kedua orang yang dihukum cambuk itu saja yang menyalahkan perusahaan yang mengontrak mereka. Kedutaan Besar Arab Saudi di sini, seperti kata Kepala Seksi Penerangannya, Chefik Chehab, "dalam hal ini yang paling saya salahkan adalah perusahaan yang mengontrak mereka itu." Perusahaan harus membantu buruhnya mengetahui soal hukum. Sedikitnya "harus menganjurkan mereka menghadap Raja sebelum dipulangkan ke mari." Harap diketahui, menurut pejabat kedutaan ini, setiap hari Senin Yang Mulia Raja Khaled selalu berkenan menyediakan waktu untuk menerima pengaduan setiap orang yang merasa didzalimi. Atau boleh juga menganjurkan menulis surat pembaca, "dan itu akan diperhatikan," kata Chefik. Oleh kasus Asmara dan Asmari ini, mau tak mau Departemen Tenaga Kerja Indonesia menghadapi persoalan baru. "Boleh dikatakan menyimpang dari masalah-masalah perlindungan kerja buruh," kata Humas Depnaker, Darwis. Sejauh ini peraturan perburuhan Indonesia hanya mengatur soal jaminan sosial dan keselamatan kerja buruh saja. Jadinya, "Depnaker belum dapat bertindak araapa sebelum memperoleh keterangan lengkap dari KBRI di Jeddah," kata Darwis. Kedubes Arab Saudi di sini baru mendapat pengaduan dari kedua terhukum. Hanya, menurut Chehab, kedutaannya baru akan melayani urusan begitu jika pemerintah Indonesia secara resmi mempersoalkannya. Yang jelas, katanya, bagaimana pun hal itu "tidak akan mempengaruhi hubungan kedua negara," ujar Chehab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus