ASMARA dan Asmari bukan kakak beradik. Mereka mendarat di
Lapangan terbang Internasional Halim PK Jakarta, 7 Nopember
lalu. Turun dari pesawat terbang dari Singapura, muka keduanya
kecut memendam kekecewaan. Pakaian mereka lusuh dan cuma
mengenakan sendal jepit -- dandanan yang tak layak bagi siapapun
yang kembali dari luar negeri.
Tak ada kopor milik mereka yang keluar dari bagasi. Sebab
satu-satunya kopor milik bersama telah hilang sejak dalam
perjalanan sebelumnya dari Dhahran, Arab Saudi, ke Singapura.
Padahal dalam kopor mereka itu, yang seharusnya dibawa oleh
pesawat terbang milik China Airlines, tersimpan juga uang
sebanyak US$ 3.200.
Tapi bukan pasal hilangnya kopor itu, terutama yang membikin
Asmara dan Asmari bagai kehilangan segala-galanya. Sebuah
peristiwa di Arab Saudi, tempat beberapa waktu mereka mencari
nafkah, lebih menyakiti hati. Di sana Asmara dan Asmari telah
berurusan dengan hukum yang tidak mereka fahami kedua
warganegara Indonesia ini, oleh suatu keputusan pengadilan Arab
Saudi. Telah dihukum penjara empat bulan ditambah hukuman cambuk
50 kali deraan.
Mula-mula kedua WNI tersebut digiring ke suatu tempat yang
paling ramai, dekat pangkalan taksi dan tepat di muka pasar di
Kota Hufuf. Di situlah, di muka orang ramai dan dengan tangan
terborgol, keduanya harus menerima 50 kali deraan rotan di
permukaan punggung telanjang. Rasanya? "Boleh coba sendiri,"
kata Asmari. "Selain kulit lecet, sakitnya juga seminggu masih
terasa perih." Namun, lebih dari sekedar sakit di kulit, "sakit
di dalam hati, malu, sulit sembuhnya."
Wanita Bercadar
Tapi apa mau dikata, kalau memang cara begitu yang berlaku di
Arab sana? Walaupun, sebenarnya, peristiwa Asmara dan Asmari ini
memang sebuah cerita sial ditambah sedikit kelalaian.
Mohamad Asmari (34 tahun) dan Win Asmara (27 tahun) adalah buruh
kontrakan Fluor Arabia di Hufuf. Dikirim dari Indonesia oleh
Fluor Eastern Jakarta. Mereka dipekerjakan pada divisi
perbekalan perusahaan penyulingan minyak Al-Hasa. Karena harus
tinggal di luar kamp, keduanya masing-masing mendapat tunjangan
perumahan, makan dan transpor sebanyak 1100 rial tiap bulan.
Bersama seorang kawan Indonesia lain dan seorang Filipina,
Asmara dan Asmari menyewa sebuah rumah yang dibayar secara
patungan. Namun baru 18 hari tingal di rumah itu, yaitu dalam
masa kontrak kerja kedua yang baru berlangsung sekitar 4 bulan,
terjadilah peristiwa itu.
Mulanya 7 Juli mereka kedatangan tiga orang tamu tak dikenal
sebelumnya dua orang laki-laki, mengaku bernama Ahmad Abdullah
(27 tahun) dan Husen (26 tahun. Katanya, keduanya sama-sama
berasal dari Solo. Mereka membawa seorang wanita muda bercadar.
Kedua orang Solo itu memperkenalkan diri sambil menyatakan telah
menetap di Arab Saudi selama 6 tahun dan juga pernah menyewa
rumah yang belakangan didiami Asmara dan Asmari. Mereka juga
masih memegang kunci rumah tersebut.
Sedangkan wanita Arab bercadar itu, katanya, kekasih salah
seorang dari mereka. Pertemuan ketiga orang itu mcmang biasa
dilakukan di rumah itu. Dan kedatangan mereka kali inipun, minta
dengan sangat agar Asmara maupun Asmari merelakan rumahnya
sebagal tempat pertemuan kembali. Tentu saja tuan rumah yang
tahu gelagat buruk mencegah terjadinya pertemuan di rumah
mereka. Malapetaka hebat akan terjadi bila pertemuan laki-laki
dan wanita yang bukan suami-isteri itu diketahui hamba hukum
setempat. Jauh-jauh sejak dari lndonesia pengetahuan umum
begitu sudah terpatok di kepala buruh-buruh yang dikirim ke
Arab.
Tapi Ahmad dan Husen tetap mendesak. Sehingga meski tuan rumah
berkali-kali menyatakan tak mau terlibat urusan begituan, tak
bisa bilang apa-apa lagi. Dan lagi, menurut Asmari kemudian,
kedua tamunya akan bertanggung jawab send-ri dan tak akan
melibatkan tuan rumah bila terjadi sesuatu akibat dari perbuatan
mereka itu.
Apa boleh buat. Untuk menutup mata Asmara dan Asmarl sekitar jam
8 pagi itu meninggalkan rumah dan putar kayun di pasar. Kawan
Indonesia lainnya menghabiskan waktunya di pantai (kebetulan
orang Pilipina, teman serumah mereka, sedang cuti dan pulang
kampung).
Menjelang waktu shalat Jum'at, kira-kira jam 11 siang, Asmara
dan Asmari baru pulang ke rumah. Eh, ketiga tamunya masih saja
ngendon di sana. Kedua tuan rumah ini, karena masih
memperhitungkan risiko, enggan masuk ke dalam. Mereka menunggu
di halaman rumah saja. Dikutak-katiklah sepeda-motor sambil
menunggu tamunya selesai dengan urusan di dalam.
Baru seperempat jam Asmara dan Asmari sibuk dengan
sepeda-motornya, mendadak telinga mereka ditusuk oleh suara
nguing-nguing sirene. "Seperti suara mobil pemadam kebakaran,"
kata Asmari. Yang muncul ternyata tiga buah mobil polisi. Asmari
dan Asmara berlagak pilon saja ketika kediaman mereka digerebek
polisi. Mereka terus saja asyik mengutak-atik sepeda motor. Tapi
telinga mereka mendengar jeritan-jeritan dari dalam rumah yang
digerebek sekitar 15 anggota polisi itu.
Selesai berurusan dengan ketiga orang tamu ternyata polisi tak
melewatkan kedua tuan rumahnya. Betapapun Asmara dan Asmari
menjelaskan, tak merubah niat polisi hendak menahan mereka.
Setelah membabat rambut gondrone Asmara dan Asmari di tempat,
polisi terus melempar keduanya ke dalam mobil.
Mulanya kedua buruh Fluor Arabia masih punya pengharapan:
sedikit diperiksa setidaknya sebagai saksi, terus akan
dibebaskan. Ternyata urusan tak segampang itu. Selesai diperiksa
keduanya segera dibuang di penjara bawah tanah bersama-sama
Ahmad, Husen dan teman wanita mereka. Dua hari kemudian mereka
dipindahkan "ke penjara besar di kota Hufuf," kata Asmari.
50 hari kemudian kelima tahanan itu dihadapkan ke pengadilan.
Ahmad, Husen dan wanita bercadar mereka yang memang tertangkap
basah melanggar hukum, tak berusaha mengelak tuduhan. Pun
ketiganya membenarkan bantanan Asmara dan Asmari, bahwa kedua
tuan rumah sama sekali tak punya urusan apa-apa. Tapi hakim
memutuskan: Semua terdakwa, tanpa kecuali hersalah.
Hakim tak menghukum terlalu berat. Sebab menurut pemeriksaan
medisatas terdakwa wanita Arab, sebelum peradilan berlangsung,
ternyata dia masih tetap perawan. Dia bersama Ahmad dan Husen
dijatuhi hukuman setahun penjara dan dicambuk di muka umum
sampai 170 kali. Sedangkan Asmara dan Asmari, yang dituduh
menyediakan rumahnya untuk pertemuan laki-laki dan wanita yang
bukan suami-isteri atau muhrimnya itu, kena hukuman 4 bulan
penjara dan dera 50 kali. Setelah menjalani hukuman tersebut
kelimanya harus diusir pula dari Arab Saudi.
Ahmad, Husen dan wanita Arabnya tak banyak rewel. Mereka
menerima hukuman dan segera menandatangani vonis. Tapi Asmara
dan Asmari membantah -- tanpa tahu bagaimana cara membantah
suatu keputusan pengadilan di Saudi sana. "Jangankan empat
bulan, seharipun kami tidak mau ditahan," kata Asmari kepada
hakim. "Karena kami merasa betul-betul tidak bersalah." Tapi
hakim Saudi ini cuma menanggapinya dengan tertawaan. Katanya,
seperti diceritakan Asmari, tanpa meneken surat keputusan pun
mereka akan tetap masuk penjara.
Eksekusi hukuman cambuk dilakukan beberapa waktu setelah putusan
hakim. Sehari sebelum menjalani hukuman cambuk dokter memeriksa
kesehatan mereka. Maka dengan disaksikan khalayak ramai dan
dihadiri hakim, polisi, petugas imigrasi dan entah siapa lagi
cambukpun mendera mereka.
Setelah masa hukuman penjara berakhir tanpa diberi kesempatan
apa-apa -- misalnya sekedar bertemu dengan perusahaan yang
mengontrak mereka - Asmara dan Asmari terus digiring polisi
sampai ke tangga pesawat di Lapangan terbang Dhahran.
Kecerobohan kedua orang itu sendiri adalah karena menyimpan uang
di dalam kopor dan menyerahkannya kepada petugas penerbangan
Cina sebagai bagasi. Petugas yang diberitahu hal itu setelah 30
menit katanya berusaha menarik kembali kopor tersebut --
ternyata mengatakan: barang itu telah terlanjur masuk ke perut
pesawat. Namun setibanya di Singapura ternyata satu-satunya
kopor milik kedua orang yang malang ilU tak ikut sampai di sana.
Asmari mencurigai petugas penerbangan Cina di Dhahran sengaja
menahan kopor yang diketahuinya berisi uang.
Habislah sudah hasil jerih payah mereka memeras keringat di
negara padang pasir itu. Sampai-sampai, begitu keluar dari Halim
PK, " uang satu dollar pun tidak ada di kantong kami."
Kekesalannya, ditambah lagi, mereka merasa tak memperoleh
perhatian semestinya dari KBRI di Arab Saudi dan lebih-lebih
dari perusahaan yang mempekerjakan mereka di sana. Misalnya,
membiarkan mereka yang buta hukum ini berdiri sendirian di muka
hakim, tanpa kelihatan ada usaha membimbing, apalagi menyediakan
penasehat hukum.
Bisa Dipancung
Pejabat Fluor Eastern di sini, drs Nyoman Puger, mengakui
memang Fluor Arabia tidak berbuat banyak untuk mengurus
buruhnya yang tersangkut perkara hukum. Sekali memang pernah
ikut minta agar kedua buruhnya itu ditahan luar. Tapi tak
dilayani pengadilan. Selebihnya Nyoman Puger menganggap apa yang
menimpa Asmara dan Asmari itu hanyalah "nasib sial". Pihaknya,
katanya, selalu menasehati para buruh sebelum berangkat ke
sana-agar menjauhi urusan yang menyangkut-nyangkut soal wanita.
Bahkan ancamannya juga dikemukakan: salah-salah bisa dipancung!
Nyoman menilai putusan hakim yang menganggap kedua buruhnya itu
bersalah adalah wajar. Mengapa keduanya membiarkan tamunya diam
di rumahnya? "Jadi pantaslah kalau yang berwenang di rumah juga
dihukum." Namun demikian Nyoman Puger keberatan bila
perusahaannya dituduh tidak mengindahkan nasib buruhnya. Sisa
uang kontrak telah dikirimkan ke penjara bersama pakaian mereka.
Tiket kembali ke Indonesia juga disediakan. Nyoman sendiri malah
menjemput Asmara dan Asmari di Halim PK. Dari lapangan terbang
mereka ditraktir Nyoman makan. Sebelum Asmara pulang ke Bali
danAsmari ke Malang, menurut Nyoman, perusahaannya juga telah
membayar lagi sisa uang kontrak kepada mereka Rp 200 ribu
masing-masing.
Tapi tak hanya kedua orang yang dihukum cambuk itu saja yang
menyalahkan perusahaan yang mengontrak mereka. Kedutaan Besar
Arab Saudi di sini, seperti kata Kepala Seksi Penerangannya,
Chefik Chehab, "dalam hal ini yang paling saya salahkan adalah
perusahaan yang mengontrak mereka itu." Perusahaan harus
membantu buruhnya mengetahui soal hukum. Sedikitnya "harus
menganjurkan mereka menghadap Raja sebelum dipulangkan ke mari."
Harap diketahui, menurut pejabat kedutaan ini, setiap hari Senin
Yang Mulia Raja Khaled selalu berkenan menyediakan waktu untuk
menerima pengaduan setiap orang yang merasa didzalimi. Atau
boleh juga menganjurkan menulis surat pembaca, "dan itu akan
diperhatikan," kata Chefik.
Oleh kasus Asmara dan Asmari ini, mau tak mau Departemen Tenaga
Kerja Indonesia menghadapi persoalan baru. "Boleh dikatakan
menyimpang dari masalah-masalah perlindungan kerja buruh," kata
Humas Depnaker, Darwis. Sejauh ini peraturan perburuhan
Indonesia hanya mengatur soal jaminan sosial dan keselamatan
kerja buruh saja. Jadinya, "Depnaker belum dapat bertindak
araapa sebelum memperoleh keterangan lengkap dari KBRI di
Jeddah," kata Darwis.
Kedubes Arab Saudi di sini baru mendapat pengaduan dari kedua
terhukum. Hanya, menurut Chehab, kedutaannya baru akan melayani
urusan begitu jika pemerintah Indonesia secara resmi
mempersoalkannya. Yang jelas, katanya, bagaimana pun hal itu
"tidak akan mempengaruhi hubungan kedua negara," ujar Chehab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini