KETIKA perang Vietnam berkecamuk, banyak wartawan Amerika yang
menjalankan tugas rangkap. Adakalanya mereka sengaja ditanam
sebagai reporter. Jenis ini yang kemudian dikenal sebagai spook,
hantu, rajin mengumpulkan info dan melaporkannya juga kepada
sesuatu instansi resmi, terutama bidang intelijen, selain kepada
media masing-masing. Kini dalam situasi dan kondisi stabil di
Jakarta, hadir pula wartawan Peter Rodgers yang dicurigai
melakukan dwi-fungsi.
Siapa dia? Orangnya tampan, tinggi -- 1,84 m -- dan masih muda
-- 32 tahun. Dengan kumisnya yang dirawat rapi, Rodgers
kelihatan pantas menjadi aktor film. Dia pernah menjadi
sekretaris I bagian politik di Kedutaan Resar Australia,
Jakarta, selama tiga tahun sampai Juli 1977. Sekembalinya di
Canberra, dia menjadi tak betah. "Hidup di sana menjemukan,"
katanya. Sedikitnya 3 tahun dia harus menunggu penempatan baru
di luar negeri, jika dikirim. Dan belum tahu di mana. Dia ingin
kembali ke Asia.
Tak sabar menunggu, Rodgers menghubungi Sydney Moming Hetald,
koran konservatif dari kelompok Fairfax. Dalam kelompok itu
terdapat pula harian Australian Financial Review dan mingguan
National Times -- semua terbit di Sydney. Kebetulan karena orang
Fairfax di Jakarta, Hamish McDonald, meninggalkan Indonesia, ada
lowongan bagi Rodgers. Tanpa memperoleh latihan jurnalistik
sedikit pun, Rodgers menjadi wartawan dan muncul kembali
diJakarta, Juli '78.
Banyak kenalannya orang Indonesia menjadi kaget. "Harap anda
suka menerima saya dalam kapasitas baru," katanya pada seorang
pejabat Deplu RI. Dia, tentu saja, diterima. Bahkan Deppen
memberinya kartu pers setelah meneliti surat pengangkatan dan
visanya.
Tapi di Canberra sendiri, orang mencurigainya sebagai anggota
Australian Secret Intelligence Service. Seakan-akan badan intel
itu menyuruhnya menjadi koresponden, hingga Senator C. G.
Primmer dari partai buruh (oposisi) bertanya: Masihkah Rodgers
"melapor secara teratur pada ASIS? Apakah itu praktek pemerintah
untuk membiarkan badan intel menempatkan agen mereka dalam
kedudukan jurnalistik . . . ? Apakah Tuan Rodgers diangkat
sebagai koresponden (kelompok) suratkabar Fairfax untuk
mengadakan publisitas menguntungkan bagi pemerintahan Soeharto
dan untuk menyesatkan pendapat umum Australia mengenai Timor?"
Pertanyaan 27 September itu dijawab tiga minggu kemudian oleh
Senator Carrick, pejabat Menlu, yang menjelaskan bahwa Rodgers
sudah berhenti sebagai pegawai Deplu Australia. Carrick meminta
perhatian rekannya terhadap keterangan Perdana Menteri Fraser di
DPR, 25 Oktober 1977, bahwa pemerintahnya tidak bersedia
berdebat mengenai ASIS. Jadi, tiada konfirmasi dan tiada pula
bantahan resmi terhadap spekulasi mengenai adanya reporter-intel
itu.
Dari Jakarta, Rodgers segera membantahnya. "Saya tidak dan belum
pernah dipekerjakan oleh ASIS dalam kapasitas apa pun," katanya
seperti dikutip Herald di Sydney. Kecurigaan itu "hanyalah
akibat fantasi politik, sakit hati pribadi, atau ketidak-tahuan,
atau kombinasi dari ketieanva." Pemimpin redaksinya menambah
catatan di bawah berita koran itu (19 Oktober) menyangkut
Rodgers: "Pertanyaan Senator Primmer dalam terbaik (adalah)
salah-arah dan dalam terburuk suatu tuduhan tak berdasar. "
Keesokan harinya, Primmer dikutip lagi sebagai mengatakan bahwa
dia cuma bertanya untuk sekedar mencari info, "terutama dalam
kaitannya dengan Timor Timur." Pihak oposisi di Australia telah
menjadikan soal Timtim sebagai peluru menghantam pemerintahan
Fraser.
Penulisan Rodgers ternyata tidak selalu disukai di Jakarta.
Belum lama ini dia membocorkan perundingan Australia-lndonesia
mengenai soal pengungsi Timtim yang macet. Beritanya yang dimuat
The Age, harian di Melbourne, menggegerkan di sana. Di Jakarta,
itu masih dianggap perlu dirahasiakan. The Age menerima tiap
berita yang dikirim Rodgers pada Herald berdasar persetujuan
kedua koran itu.
Ber-Suzuki
Sebagai keseluruhan, hasil karya Rodgers dalam penilaian Deppen
"cukup fair" yang belum membutuhkan perhatian khusus. Biasanya,
perhatian khusus Deppen itu terjadi bila sang wartawan asing
sudah keterlaluan dalam pemberitaannya hingga perlu ditegor.
Bahwa Rodgers itu intel atau bukan, Deppen tampaknya tidak mau
ikut mempersoalkannya. "Wewenang kita hanya memperhatikan dia di
bidang kewartawanan saja," kata Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika, Sukarno, pada A. Margana dari TEMPO. Demikian pula
sikap orang di Deplu, Pejambon. "Prinsip kita, kita terbuka
untuk semua orang, asalkan ia memberikan gambaran wajar mengenai
Indonesia," sambung Mohammad Hatta, Direktur Penerangan di Deplu
itu. Hatta sebelum Natal mengatur interpiu Rodgers dengan Menlu
Mochtar Kusumaatmadja. Kesan Hatta: Rodgers bersikap
"benar-benar sebagai wartawan."
Kini orang itu bepergian dengan sepedamotor Suzuki cc 125. Helm
selalu dipakainya. Ke resepsi pun dia ber-Suzuki. la tinggal di
rumah seorang pengusaha Australia di wilayah Menteng. Diberi
tempat di suatu paviliun kecil, katanya, "saya senang begini."
Orangtuanya adalah petani makmur di New South Wales, Australia.
"Kalau gagal jadi wartawan," katanya lagi, "ya, saya pulang
kampung jadi petani saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini