Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Si Mas Gagal Membantu

SEJUMLAH rekaman telepon muncul dalam persidangan Artalyta pada pekan lalu. Isinya, antara lain, menggambarkan keakraban dia dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Rekaman percakapan dengan tersangka jaksa Urip Tri Gunawan juga diputar. Tapi Urip berkukuh menolak bahwa yang diperdengarkan dalam sidang itu suaranya.

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Gimana, Yin.” ”Itu, si Urip. Tapi ini aku sudah pakai nomor telepon lain ini, aman. Ketangkep KPK di rumah.” ”Di mana ketangkep?” ”Kan, mau eksekusi itu kan….” ”Eksekusi apa?” ”Ya, biasa. Tanda terima kasih itu.” ”Terima kasih apa? Perkara apa?” ”Enggak ada sebenarnya? Enggak ada perkara apa-apa. Cuma dia kan baru terima dari Urip... Urip kita. Sekarang telepon dulu Antasari, deh. Bagaimana cara ngamaninnya itu.” ”Sebentar saya telepon dulu si Fery.” ”Fery sudah aku suruh Djoko.”

PERCAKAPAN di atas bukanlah ”halo-halo” antara Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan, yang kini mendekam dalam tahanan gara-gara dituduh menerima suap dari Ayin—sebutan akrab Artalyta. Tapi petikan pembicaraan Artalyta dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso, lewat telepon genggam yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu pekan lalu. Urip ternyata bukan satu-satunya jaksa yang dekat dengan wanita pengusaha asal Lampung itu.

Duduk di samping O.C. Kaligis, pengacaranya, Artalyta beberapa kali menarik napas panjang, saat rekaman pembicaraan dia dengan Untung diputarkan. Sesekali matanya mengarah ke deretan meja hakim dan lelaki bersafari biru yang duduk di depan hakim: Urip Tri Gunawan.

Artalyta tak menyangkal itu suaranya. Ferry dan Djoko yang disebut-sebut dalam dialog itu adalah Ferry Wibisono, Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Djoko Widodo, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Dalam percakapan itu terdengar Untung memberikan solusi. Ia menyatakan akan menghubungi koleganya, Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto. Setelah itu, Artalyta akan ditangkap. ”Saya sudah koordinasi dengan Wisnu. Kowe di rumah saja. Nanti ditangkap,” katanya.

Selain dengan Untung, hakim juga memperdengarkan rekaman pembicaraan Ayin dengan Kemas Yahya Rahman, yang saat itu masih menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Suasana pembicaraan yang terjadi pada Sabtu 1 Maret lalu itu riang gembira. Sesekali terdengar derai tawa Kemas. Komisi menyadap pembicaraan tersebut sehari setelah Kemas mengumumkan Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim. Dalam telepon itu Artalyta memanggil Kemas dengan ”Bang.”

”Sudah dengar pernyataan saya?” ujar Kemas Yahya ”Good, verry good,” suara renyah Artalyta terdengar. ”Jadi, tugas saya sudah selesai kan,” ujar Yahya lagi ”Siap, tinggal... ”Sudah jelas kan, itu gamblang. Sekarang tidak ada permasalahan lagi” ”Bagus itu,” kata Artalyta.

Kepada Tempo, yang menemuinya pada Rabu pekan lalu di rumahnya di Perumahan Banjar Wijaya, Tangerang, Kemas mengaku pernah menelepon Artalyta, mengabarkan pemberhentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas untuk Sjamsul. Kemas mengaku lupa persisnya isi pembicaraan itu. ”Intinya saya memberi tahu,” ujarnya.

Jaksa Agung Hendarman Supandji membantah kejaksaan menciptakan skenario menangkap Artalyta sesaat setelah petinggi kejaksaan mendapat kabar Urip ditangkap. Menurut Hendarman, jika itu kasus suap, Artalyta mesti ditangkap juga—selain Urip. Hanya, ujar Hendarman, ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian membekuk perempuan itu. ”Jadi, kami tidak jadi menangkapnya,” ujar dia.

l l l

Gerak cepat sejumlah jaksa ”mengamankan” Artalyta beberapa menit setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk Urip sudah diketahui para penyelidik Komisi. Menurut seorang penyelidik, sepanjang sore hingga malam pasca-penyergapan Urip pada 2 Maret lalu, mereka menyadap semua telepon yang dipegang Artalyta. Karena itulah, begitu Untung menyatakan akan menghubungi jaksa intelijen, penyelidik Komisi segera bergerak kembali. Beberapa penyelidik yang masih berada di seputar Jalan Terusan Hang Lekir, kediaman Sjamsul, diperintahkan ”menyerbu” rumah Artalyta. ”Prosedurnya, kalau sudah ke intelijen lalu ke perintah penangkapan,” katanya. ”Semua penangkapan dan penggeledahan itu kami rekam dalam video,” sumber itu menambahkan.

Komisi menelusuri ”kasus Urip” cukup lama, tiga bulan sebelum pengumuman penghentian kasus Sjamsul. Mereka mendapatkan rekaman pembicaraan Urip dan Artalyta beberapa jam sebelum jaksa itu menerima uang US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar dari Artalyta. Juga, sejumlah pembicaraan telepon lain. Antara lain, pada 5, 7, 8 Desember 2007 dan 2 Januari 2008. ”Pokoknya amat komplet,” ujar penyelidik lain.

Di ruang sidang pekan lalu itu, rekaman-rekaman itu diperdengarkan. Dalam percakapan pada 8 Desember, misalnya, Artalyta menyebut ada ”barang” yang sudah lama tersimpan di brankasnya. Di situ terdengar suara yang diduga milik Urip, menanyakan kecocokan jumlahnya. ”Ya, sesuailah apa yang kemarin bilang itu kan, enam,” ujar Artalyta.

Berbeda dengan Artalyta yang mengakui itu memang suaranya, Urip menyatakan tak mengenal suara dalam rekaman itu. Berkali-kali dicerca ketua majelis hakim Mansyurdin Chaniago, jaksa 42 tahun itu tetap berkeras menyatakan ”tak tahu”. Jawaban ini membuat Mansyurdin naik pitam. ”Anda jangan berlagak pikun. Kerja kita ini sama,” kata Mansyurdin membentak bekas ketua tim penyelidik kasus Bantuan Likuiditas di Kejaksaan Agung itu. Tapi, Urip tak berubah. Ia tetap berkukuh tak tahu itu suara siapa.

Untung Udji Santoso mengaku ia pernah dihubungi Artalyta. Namun ia membantah merancang skenario ”membebaskan” Artalyta dari ”incaran” Komisi. Ia mengaku saat itu memang menghubungi Wisnu Subroto. ”Saya katakan, ada jaksa ditangkap, coba cek betul atau tidak,” ujarnya. Menurut Untung, Artalyta juga meminta ia menghubungi Antasari. ”Saya bilang, enggak, ini orang sulit, titik sampai di situ,” ujarnya, Kamis pekan lalu.

Di mata pengacara senior yang juga mantan staf ahli Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kamal Firdaus, isi rekaman yang disadap Komisi terang-benderang menunjukkan dekatnya Ayin dengan para petinggi kejaksaan. ”Yang satu dipanggil Mas, yang satu dipanggil Bang, betapa mesranya,” ujarnya. Rekaman itu, menurut Kamal, membuktikan kecurigaannya sejak awal. Yakni, Urip tidak ”bermain” sendiri. ”Presiden harus memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti segala sesuatu di balik dialog itu,” ujarnya.

Jika pengakuan siapa saja yang terlibat itu diharapkan keluar dari mulut Urip, harapan itu bisa jadi sia-sia. Di depan sidang, Urip menegaskan uang yang diterimanya dari Artalyta adalah tanggung jawabnya pribadi. ”Tidak ada kaitannya dengan Bapak Kemas, Bapak Muhammad Salim (staf ahli Kejaksaan Agung-Red.), atau tim Bantuan Likuiditas Bank Indonesia,” ujarnya.

Seorang sumber Tempo yang pernah menemui Urip di tahanan bercerita, Urip yakin ia lolos dari kasus ini. Kepada sumber yang menengoknya sebulan lalu, Urip menyatakan tuduhan menerima suap terhadap dirinya tidak kuat. ”Kalaupun ada rekaman telepon, itu bukan alat bukti,” kata sumber itu menirukan argumentasi Urip. Di depan kawannya, Urip tetap menyatakan uang itu ia pinjam dari Artalyta untuk bisnis permata. Dan tidak terkait dengan keputusan kejaksaan yang menghentikan penyelidikan terhadap kasus Bantuan Likuiditas Sjamsul.

Soal rekaman suara bukan sebagai alat bukti dibenarkan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indrianto Senoadji. Menurut Indrianto, rekaman hanya bisa dipakai sebagai petunjuk. ”Karena bisa direkayasa dengan kemajuan teknologi,” ujarnya. ”Jadi, harus dibenarkan dengan alat bukti tertulis atau ahli.”

Tapi, berbeda dengan Indrianto, Kepala Biro Hukum Komisi Antikorupsi Khaidir Ramli menegaskan, rekaman merupakan alat bukti. ”Menurut Undang-Undang Antikorupsi, rekaman merupakan alat bukti sah,” ujarnya. Karena itu, menurut Khaidir, sidang kasus Artalyta ini akan berlangsung cepat karena selain ada bukti rekaman, Artalyta sudah mengakui itu suaranya.

Toh suara dan nama yang muncul dalam sidang Artalyta tidak serta-merta membuat para petinggi kejaksaan dapat segera diseret. Untuk sementara, mereka masih aman. Kecil kemungkinan mereka dipanggil Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Untung, misalnya, menurut Khaidir tidak perlu dihadirkan karena tidak ada relevansinya dengan kasus penyuapan Artalyta. ”Dalam kondisi terjepit, wajar orang seperti Artalyta meminta tolong seseorang.”

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga belum berencana memeriksa Untung Udji Santoso dan Wisnu Subroto. Menurut Hendarman, ia masih menunggu keputusan pengadilan atas Artalyta dan Urip. ”Supaya kami bisa lebih tahu menyeluruh, lebih komprehensif,” ujarnya. Hendarman tidak menampik jika kasus Urip dan ”rentetannya” merupakan ”pukulan” terhadap agenda pembenahan kejaksaan yang ia canangkan. ”Sejak awal saya sudah di pukul sana-sini. Jab sana, jab sini. Sekarang tinggal menunggu TKO,” katanya.

L.R. Baskoro, Yugha E., Cheta Nilawati, Martha W., dan Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus