Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merayakan Nusantao yang Urban

Goethe Huis Institut Jakarta menyajikan pameran foto kota-kota besar Asia Tenggara yang memotret manusia lewat struktur kota dan arsitektur kaum urban. Kota-kota yang ternyata mirip satu sama lain.

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di wilayah ini, kota yang satu mirip kota yang lain. Manila, Jakarta, Bangkok, Singapura, Hanoi, dan Kuala Lumpur menyimpan cerita serupa.

Wilhelm Solheim II, arkeolog 84 tahun dari Universitas Hawaii, adalah orang yang sepanjang hidupnya menghabiskan waktu untuk meneliti era prasejarah di Asia Tenggara. Ia menemukan konsep jaringan perdagangan dan komunikasi maritim Nusantao (dari kata "nusa": pulau dan "tau": manusia). Dan ia percaya, sudah sejak 5.000 tahun sebelum Masehi orang-orang di seluruh wilayah Pasifik, pesisir Samudra Hindia, pesisir pantai Laut Cina Selatan dan Jepang, hingga ke wilayah Asia Tenggara, baik kepulauan seperti Indonesia dan Filipina maupun daratan utama, saling berbagi kultur. Dan karena itu, mereka punya banyak persamaan.

Persamaan itu yang kini dipotret Peter Bialobrzeski. Fotografer Jerman ini berkeliling Asia Tenggara sejak Oktober tahun lalu selama enam bulan. Ia bekerja bersama 26 fotografer dari enam ibu kota: Bangkok, Hanoi, Jakarta, Kuala Lumpur, Manila, dan Singapura.

Dengan judul Mapping Invisible Cities, Peter-15 tahun berkarya sebagai pewarta foto sebelum mengajar di University of the Arts in Bremen, Hamburg-memandu mereka dalam lokakarya memotret gejala urban di keenam kota melalui satu benang merah: struktur kota. Dan 106 foto hasil karya mereka lantas dipamerkan di Goethe Haus Institut Jakarta pada 8 Juni-3 Juli 2008.

Disadari atau tidak, inilah Nusantao di era digital. Setelah kolonialisme roboh, Asia Tenggara kini menggeliat dalam pertumbuhan. Keenamnya tampak molek dan modern di satu sisi, tapi luput menyembunyikan borok laten pascakolonialisme di sisi lain: jurang antara kaya dan miskin yang menganga.

Sebagian besar karya patuh terhadap benang merah struktur kota yang mirip satu sama lain. Ada gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Apartemen masif yang membatasi hidup manusia menjadi sekadar kotak-kotak lampu neon. Rumah susun tua yang lapuk dan dipagari sebelum dirobohkan. Jalan layang membelah kota yang padat dengan sepeda motor. Perhatikan lebar trotoar yang demikian sempit, kadang tak sampai 50 sentimeter, yang itu pun terisi pedagang kaki lima. Ini, misalnya, dilukiskan Nguyen Viet Hung di Hanoi. Situasi yang sama persis kita temui di jalan layang Tanah Abang, Jakarta, atau Metro Manila. Papan reklamenya mirip, asalkan kita tidak melihat aksara Vietnam di sana. Dagangannya? Mirip yang dijajakan di pasar-pasar kita: semangka dan mangga gedong.

Lalu kehadiran bedeng tripleks kuli bangunan yang muncul dan menghilang saat sebuah bangunan baru berdiri. "Life is going, life is beautiful!" kata Dam Duc Vu, pemotretnya, dari Hanoi. Bahkan perkakas yang tampak dari gambar itu-handuk butut, cermin pecah, termos, sisir plastik, dan charger telepon seluler-umum tampak di bedeng yang serupa di Jakarta.

Dalam foto Nopodon Chotasiri, ada deretan tuktuk yang parkir dekat Au Bon Pain, toko roti dari Amerika di pojokan Siam Square, Bangkok. Tuktuk ini adalah bajaj versi lokal dengan kenekatan sopir yang setara. "Hanya Tuhan dan sopir terkutuk itu yang tahu kapan dia belok," begitu mereka sering dimaki di Jakarta.

Bicara tentang bajaj, coba tengok foto Ricky Adrian dari Jakarta. Dari lokasi yang tampak seperti di Jalan Sabang, Ricky mengambil foto dari atas gedung. Ia memotret bajaj yang berkelit menghindari mobil yang berbelok. Artinya, satu mobil keluar, satu lagi masuk, sebuah bajaj berkelit di tengah demi mencari celah. "Lihat, ini semua bergerak. Tak ada yang tertabrak di sini. Ada harmoni di sini," kata kurator Alex Supartono.

Satu yang tak mungkin tertinggal adalah pucuk semua tumpukan masalah yang tak selesai, dikorupsi atau sekadar disembunyikan, yakni sampah. Seorang eksekutif bank terkemuka asal Swiss yang berkewarganegaraan Singapura terenyak saat Tempo menunjukkan karya Maria Virginia Cruz yang menggambarkan sebuah perahu kecil berlayar di sungai hitam penuh sampah di Metro Manila. Reaksinya sungguh jujur: ia menutup hidungnya!

Semestinya tidak terbayang di benak eksekutif muda itu bahwa inilah kondisi Boat Quay, sebelum pemerintah Singapura merehabilitasi lokasi tempat Raffles pertama kali menjejakkan kakinya di tanah Tumasik itu. Dalam pengantarnya, Peter ternyata juga mengungkapkan kesan yang sama. "Ketika Anda mencium gambar yang diambil Gigie dari sebuah bencana ekologis yang mereka sebut sungai...."

l l l

Di luar struktur gedung dan jalan layang, ada banyak pesan menggelitik yang diperoleh dari sejumlah gambar genial yang dipotret sebagai eksplorasi kehidupan urban. Misalnya, kemacetan Jakarta direpresentasikan dengan mobil ringsek oleh Andi Ari Setiadi. Peta-ni Vietnam yang cepat atau lambat tergusur industrialisasi oleh Ngo Xuan Phu. Kegandrungan orang Thailand dengan warna (ingat ketika baju warna pink laku keras setelah Raja Bhumibhol mengenakannya?) dilukiskan Dow Wasiksiri dengan perpaduan pakaian urban dan ornamen pagoda Buddha serta artefak kerajaan di satu-satunya negeri yang tak pernah dijajah di Asia Tenggara ini.

Yang paling ikonik adalah foto empat orang perempuan yang sedang bersenam. Determinasi tinggi tecermin dari raut wajahnya. "Mereka harus berlatih jalan bebek agar otot kaki kuat dan melatih tanya-jawab agar tidak grogi di panggung," kata fotografernya, Tammy David.

Ini bagian dari kultur Filipina yang gandrung akan kecantikan. Foto ini menepis anggapan bahwa sekadar cantik cukup untuk menang dalam kontes kecantikan. Tak cukup hanya berpayah-payah di atas stiletto, sepatu hak tinggi, tapi tanpa kerja keras dan pengorbanan, mahkota ratu tak akan mampir kepada mereka.

Tapi di luar bikini yang menyajikan kaki molek nan jenjang dari wajah Asia keturunan Spanyol khas pinoy, lihatlah ruangan sempit dan seadanya tempat mereka bersenam. Ini bukanlah sebuah pusat kebugaran eksklusif, tapi lebih mirip sanggar senam yang gerah oleh terang lampu neon dan lantai multipleks. Ruangan yang sungguh banal bila dibandingkan dengan kegemerlapan panggung dunia hiburan.

Dan terakhir, dua karya dari Singapura, yang justru sangat menarik karena di sinilah wajah negeri itu paling coplok dari sisanya. Kedua fotografer, Lim Hui Xian Janice dan Maxine Chionh Jin Li, sama-sama pelajar Lasalle College of the Arts. Tanpa disadari keduanya berbicara tentang sesuatu yang kosong dan tanpa identitas.

Misalnya, ketika yang lain menunjukkan perkampungan kumuh di sela-sela gedung pencakar langit, yang kita lihat dari karya Lim Hui adalah foto yang "dingin" tentang gedung yang simetris. Langit yang kelabu. Selang-seling antara jendela dan lantai pun tampak mati untuk disebut sebagai bagian dari kehidupan manusia.

Lalu karya Maxine, yang dengan laku masokistis mencoret-coret artefak personal yang tersisa dari foto dapur sebuah apartemen. Ia hanya meninggalkan benda-benda statis yang tak berkarakter: kulkas, meja, lemari dapur, dan daun jendela. Goretannya kasar. Kata pengantarnya menarik, meski miris. Di Singapura, kata dia, yang disebut rumah itu justru senantiasa dikosongkan dengan alasan kontrak habis atau mencapai tenggat sewa 99 tahun. Bisa juga digusur proyek pemerintah. "Saya merasa proses ini sangat keji dan traumatis," kata Maxine.

Ya, Singapura bisa jadi sukses sebagai kota yang efisien dan higienis, tapi Maxine sebagai penduduknya tak bisa menghindar dari pedihnya rasa terlepas dari akar tradisi. Atau dengan kata lain, tak mampu melepaskan diri dari teori Solheim tentang entitas kultur bertajuk Nusantao. Dari sisi paling urban sekalipun.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus