Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bekasi - Seorang siswa SMAN 2 Cibitung, Kabupaten Bekasi, mengungkap dugaan pungutan liar (pungli) di sekolahannya. Kasus ini viral di media sosial setelah diunggah akun Instagram politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ronald Aristone Sinaga, @brorondm.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronald mengunggah sejumlah tangkapan layar percakapannya dengan siswa tersebut soal dugaan pungli ini. Kepada Ronald, anak tersebut sudah berusaha melapor ke Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui layanan Whatsapp Lapor Mas Wapres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya selaku siswa SMA tersebut telah menjadi korban dugaan pungli, tak hanya saya 600 orang tua pelajar pun terkena imbasnya,” isi pesan siswa kepada layanan Whatsapp Lapor Mas Wapres yang tangkapan layarnya diunggah @brorondm.
Menurut siswa tersebut, dugaan pungli di SMAN 2 Cibitung disebut sudah terjadi berulang kali. Pada tahun ajaran 2023/2024 wali murid diminta iuran untuk pembangunan pagar sekolah. Setahun berikutnya, sekolah kembali meminta iuran kepada orang tua siswa dengan alasan untuk menguruk tanah di lapangan sekolah yang sering tergenang saat hujan turun. Besaran iuran itu juga beragam mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta per siswa.
Kepada Ronald, siswa tersebut mengaku terpaksa melaporkan kasus dugaan pungli itu sampai ke Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Sebab, dirinya dan sejumlah siswa lainnya terancam tidak bisa ikut ujian apabila tidak dapat membayar iuran tersebut. "Masalahnya kalau enggak bayar, enggak dikasih kertas ulangan bang. Gimana mau maju Indonsia emas," ucap siswa tersebut kepada @brorondm.
Menanggapi kabar tersebut, Humas SMAN 2 Cibitung, Nana, membantah adanya dugaan pungli di sekolahnya. “Saya rasa kalau untuk pungli enggak ada, ya. Tidak ada,” kata Nana kepada wartawan di Bekasi, Kamis, 5 Desember 2024.
Nana menjelaskan SMAN 2 Cibitung memang memiliki dana terbatas untuk membangun pagar dan menguruk lapangan. Sebabnya pihak sekolah lalu mengadakan rapat dengan komite dan orang tua siswa untuk membahas sumbangan sukarela.
Nana mengklaim sekolah tidak memaksa siswa menyumbang atau mematok nominal uangnya. “Sekarang punglinya di mana? Itu sumbangan, sukarela. Tinggal terserah orang tua mau menyumbangnya berapa,” ucapnya.
Dari penggalangan dana tersebut, kata Nana, yang memberi sumbangan hanya sekitar puluhan orang dari ratusan siswa yang ada. “Bahkan ada yang tidak nyumbang, karena ekonomi di sini kalau untuk wilayah sini, ya, kelas menengah ke bawah. Kami memahami itu, memaklumi itu,” ujar dia.
Nana mengklaim tidak adanya pemaksaan terhadap orang tua siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana tersebut. Apalagi sampai disebut bahwa sekolah tidak akan mengizinkan siswa mengikuti ujian jika tidak memberi sumbangan.
“Banyak (siswa) yang salah menyampaikan kepada orang tuanya. Bahwa mereka katanya tidak boleh ikut ujian kalau tidak menyumbang. Itu tidak ada, semua ikut ujian dan semua kita bagikan kartu,” tutur Nana.