Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA butuh sepuluh menit, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian memaparkan rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin pekan lalu. "Ini bukan untuk menyaingi KPK. Hutan korupsi cukup luas, bagi-bagi tugas," kata Tito menutup pemaparannya.
Gayung bersambut, Wakil Ketua Komisi Hukum Desmond Junaidi Mahesa, yang memimpin rapat itu, langsung memberi lampu hijau. Ia lantas memberi catatan kecil. "Aturannya harus lebih dirapikan dan diperkuat," ujar politikus Gerindra itu.
Sejauh ini memang belum ada aturan yang menopang rencana pembentukan Detasemen Antikorupsi. Polisi berencana menaungi keberadaannya dengan keputusan presiden, yang diharapkan terbit pada akhir 2017. "Kami rencanakan mulai beroperasi tahun depan," kata Tito.
Ini untuk kesekian kalinya Kepala Polri Tito Karnavian membahas rencana pembentukan Detasemen Antikorupsi dengan Komisi Hukum. Empat hari sebelumnya, ia menyorongkan usul anggaran Rp 2,64 triliun untuk pembentukan detasemen itu kepada Komisi Hukum. Tito menghendaki sistem kerja detasemen mirip Komisi Pemberantasan Korupsi. Detasemen Khusus Antikorupsi nantinya memiliki unit pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Personelnya 3.560 orang yang disebar di 33 kepolisian daerah.
Kantor utamanya akan berlokasi di gedung lama Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Detasemen akan dibagi tiga tipe, yakni tipe A dengan 6 satuan tugas, tipe B terdapat 14 satuan tugas, dan tipe C sebanyak 13 satuan tugas. Untuk di daerah, mereka tidak dalam naungan kepala polda. Tapi ada Kepala Satuan Tugas Wilayah yang bertanggung jawab ke Kepala Detasemen Khusus. Kepala Detasemen bekerja langsung di bawah Kepala Polri.
Detasemen Antikorupsi juga nantinya merangkul Kejaksaan dalam satu atap untuk mempercepat berkas ke pengadilan. Tapi Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menolak lembaganya bergabung menjadi bagian detasemen itu. "Sesuai dengan KUHAP saja. Hasil penyidikan diserahkan ke jaksa penuntut umum," ujar Prasetyo.
Rencana pembentukan Detasemen Antikorupsi mendapat penolakan keras dari pelbagai kalangan. Bukan hanya dari pegiat antikorupsi, penolakan disuarakan sejumlah organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta kalangan akademikus. Penolakan juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Semuanya kompak Densus Antikorupsi tidak diperlukan. "Sudah ada KPK yang berfokus menangani korupsi," kata Kalla.
Selain bakal memboroskan anggaran, rencana pembentukan Detasemen Antikorupsi dianggap tidak memiliki dasar hukum. Indonesia Corruption Watch dan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada menyatakan tidak adanya dasar hukum yang jelas akan membuat sistem dan mekanisme kerjanya tumpang-tindih dengan lembaga lain di bidang pemberantasan korupsi. "Apalagi belum ada uji publik," ucap Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
Gagasan pembentukan detasemen ini mencuat pertama kali di rapat dengar pendapat Komisi Hukum dengan Polri pada 23 Mei lalu. Pemicunya adalah pernyataan Ketua Komisi Hukum Bambang Soesatyo yang mempertanyakan buruknya kinerja kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Kepala Polri Tito Karnavian tidak membantah kritik itu. Ia beralasan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Kepolisian belum bekerja maksimal karena keterbatasan personel dan anggaran. Ia lantas membandingkan dengan kinerja Densus Antiterorisme, yang diklaim kinclong karena memiliki personel dan anggaran khusus.
Sejumlah anggota Komisi Hukum pun kemudian menantang Tito membentuk Densus Antikorupsi. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Gerindra, Wenny Warouw, berharap detasemen itu bisa mengambil alih tugas KPK memberantas korupsi. "Saya yakin Bapak (Kepala Polri) bisa mengambil alih seluruh penyelidikan dan penyidikan itu," ujarnya.
Wenny adalah purnawirawan bintang satu kepolisian yang pernah menjabat Direktur Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri. Dia bekas atasan Brigadir Jenderal Aris Budiman, sekarang Direktur Penyidikan KPK. Aris saat ini tengah menjalani sidang etik karena hadir dalam rapat Panitia Angket KPK pada 29 Agustus lalu padahal pimpinan komisi antikorupsi sudah melarangnya.
Wenny juga bekas anggota Panitia Angket KPK. Panitia ini dituding pegiat antikorupsi tengah menyiapkan skenario memangkas kewenangan hingga membubarkan KPK dengan mencari kesalahan-kesalahan lembaga itu. Manuver melemahkan KPK ini semakin gencar setelah komisi antikorupsi menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Selain Setya, politikus Golkar, Markus Nari, menjadi tersangka kasus ini. Belakangan, praperadilan menyatakan penetapan tersangka Ketua Umum Golkar ini tidak sah. Golkar disebut-sebut yang paling ngotot mengusulkan pembentukan Densus Antikorupsi. Ketua Koordinator Kesejahteraan Rakyat Partai Golkar Roem Kono membenarkan usul pembentukan detasemen ini ide partainya. "Itu usul baik," katanya.
Bukan sebuah kebetulan jika sejumlah anggota Komisi Hukum yang bersuara lantang mendukung pembentukan Detasemen Antikorupsi adalah mereka yang saat ini masih aktif sebagai anggota Panitia Angket KPK. Mereka antara lain Dossy Iskandar dari Fraksi Hanura, Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar, dan Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan.
Dossy bahkan mengusulkan di berbagai rapat supaya Detasemen Antikorupsi nantinya bisa menggantikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila kelak kinerjanya baik, menurut Wakil Ketua Panitia Angket KPK ini, fungsi KPK sebatas koordinasi dan supervisi. "Desain besarnya harus seperti itu," ujarnya.
Menurut Arsul, rencana pembentukan detasemen ini hasil diskusi panjang di Komisi Hukum dan Panitia Angket KPK. Dia mengatakan Panitia Angket KPK menerima banyak masukan agar segera merevitalisasi kepolisian. Ia tak membantah kabar bahwa Panitia Angket KPK punya kontribusi besar atas rencana pembentukan Detasemen Antikorupsi. "Tentu tidak bisa dimungkiri soal itu. Apalagi orang-orang Pansus (Panitia Angket KPK) juga anggota Komisi Hukum," ucapnya.
Kepentingan Panitia Angket dan polisi ini bertemu saat rapat 23 Mei itu. Tidak mengherankan kalau kemudian Komisi Hukum langsung memasukkan usul pembentukan Detasemen Antikorupsi sebagai rekomendasi rapat. "Komisi III DPR mendesak Polri membentuk Densus Tipikor dengan anggaran khusus," ujar Desmond Junaidi Mahesa saat membacakan kesimpulan rapat.
Kepala Polri Tito Karnavian lantas membentuk tim kerja khusus untuk mengkaji pembentukan detasemen ini, yang terdiri atas perwira polisi, kalangan akademikus, dan sejumlah praktisi hukum. Dua di antaranya mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, dan mantan pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji.
Menurut Indriyanto, detasemen nantinya bisa melakukan penyadapan dengan syarat memberi tahu pihak pengadilan. Ia mengatakan detasemen ini bisa menggunakan Pasal 26 Undang-Undang Korupsi, yang menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa, sebagai dasar hukum melakukan penyadapan. Kelemahan lain yang akan diperbaiki, menurut Indriyanto, adalah adanya kewenangan penghentian penyidikan yang dimiliki polisi. "Supaya terhindar dari intervensi," katanya.
Taufiequrachman Ruki menolak menjelaskan keterlibatannya dalam tim kajian pembentukan Detasemen Antikorupsi. "Mohon maaf, silakan konfirmasi ke humas (kepolisian) saja," ujarnya.
Pihak Istana merespons baik pembentukan detasemen itu. Menurut Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, pembentukan Detasemen Antikorupsi tidak bertentangan dengan hukum. "Ini harus direspons positif. Inisiatif Pak Tito untuk memperbaiki kinerja pemberantasan korupsi," katanya. Juru bicara Presiden, Johan Budi S.P., menyatakan hal yang sama. "Saya kira tidak ada yang perlu dipersoalkan," ujar Johan.
Presiden Joko Widodo baru akan bersikap soal Detasemen Antikorupsi dalam rapat kabinet terbatas yang akan digelar pada pekan ini. "Itu kan masih rencana dan usul," kata Jokowi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur mengatakan usul Detasemen Antikorupsi cukup dibuat sebagai pengembangan direktorat lama, yakni Direktorat Tindak Pidana Korupsi atau Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus. "Jadi tidak perlu bentuk badan baru," ujarnya.
Linda Trianita, Amirullah Suhada, Budiarti Utami Putri, Hussein Abri Dongoran
Dana Jumbo, Kewenangan Kecil
RENCANA pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi mendapat penolakan sengit dari para pegiat antikorupsi dan kalangan akademikus. Selain akan menghambur-hamburkan anggaran negara, satuan khusus ini dianggap memiliki banyak kelemahan. Selain tak memiliki dasar hukum, rencana kehadiran detasemen ini tanpa kajian mendalam dan diduga bagian dari upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anggaran
Usul total Rp 2,64 triliun
- Belanja modal Rp 1,5 triliun
- Belanja pegawai Rp 786 miliar
- Belanja barang Rp 359 miliar
Sistem Kerja
- Opsi I: Satu atap
Diisi oleh perwira tinggi Kepolisian RI dengan pangkat inspektur jenderal, pejabat eselon I Kejaksaan Agung, dan pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan. Unsur kepemimpinan kolektif kolegial.
- Opsi II: Tidak satu atap
Mirip Detasemen Khusus 88 Antiteror. Penuntut umum tetap di kejaksaan dengan membentuk satuan petugas tertentu. Tujuannya agar kasus bisa dikonsultasikan sejak awal dan berkas perkara tidak bolak-balik antara polisi dan jaksa.
Usul Struktur
Total personel 3.560 orang
Tingkat Pusat
Ketua: Kepala Detasemen Khusus (inspektur jenderal)
Wakil ketua: Wakil Kepala Detasemen Khusus
Empat Direktorat:
1. Direktorat Analisis dan Bantuan Teknis
2. Direktorat Pencegahan
3. Direktorat Penyelidikan
4. Direktorat Penyidikan
Tingkat Wilayah
Dipimpin perwira berpangkat komisaris besar.
- Tipe A (6 wilayah)
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
- Tipe B (14 wilayah)
Kalimantan Timur, Aceh, Riau, Banten, Sumatera Selatan, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Bali, Lampung, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jambi.
- Tipe C (13 wilayah)
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Maluku, Bengkulu, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara.
Dasar Hukum
Keputusan presiden atau peraturan presiden.
Kelemahan
- Kewenangan terbatas tak seperti KPK yang bisa melakukan penyadapan sehingga sulit mengungkap kasus besar.
- Tidak independen sehingga rawan intervensi.
- Pembentukannya melalui peraturan presiden bakal menabrak Undang-Undang Kepolisian, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Kejaksaan.
- Memiliki kewenangan menghentikan penyidikan.
- Tidak bisa memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat tanpa izin presiden.
Desakan Dewan
Usul Detasemen Antikorupsi pernah ditolak di era Kepala Polri Jenderal Sutarman. Kini Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan DPR serius membentuk satuan khusus ini.
17 Oktober 2013 Komisi Hukum mengusulkan pembentukan Detasemen Antikorupsi kepada Sutarman saat ia menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Polri.
12 November 2013 Sempat menyetujui, Sutarman akhirnya membatalkan rencana pembentukan detasemen ini. ”Kita tak usah berpikir lembaga yang tidak ada. Lembaga yang sudah ada kita tingkatkan kemampuannya dulu,” katanya.
23 Mei 2017 Berawal dari keluhan Kepala Polri Tito Karnavian soal minimnya anggaran lembaganya menangani korupsi, Komisi Hukum mendesak dia membentuk Detasemen Antikorupsi. ”Komisi III DPR mendesak Polri membentuk Detasemen Tipikor dengan anggaran khusus,” ucap Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa membacakan kesimpulan rapat dengan Polri.
31 Juli 2017 Tito Karnavian membentuk tim kelompok kerja pengkajian Detasemen Antikorupsi.
12 Oktober 2017 Tito memaparkan kebutuhan dana Detasemen Antikorupsi, cara kerja, dan struktur satuan khusus itu kepada Komisi Hukum DPR.
Akhir 2017 Dasar hukum Detasemen Antikorupsi, yakni keputusan atau peraturan presiden, direncanakan terbit.
Awal 2018 Detasemen Antikorupsi mulai bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo