Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Rumah Baru untuk Alba

Satu-satunya orang utan albino di dunia membutuhkan pulau hutan khusus agar tak diburu. Butuh dana Rp 1,1 miliar dari donatur.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALBA berjalan gontai di lapangan rumput sekolah orang utan di Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng, Kompleks Arboretum, Tumbang Tahai, Bukit Batu, Palangka Raya, Senin pekan lalu. Orang utan albino satu-satunya di dunia itu sudah terlihat lebih bugar, perutnya tampak buncit, dan bobotnya sudah lebih dari 17,5 kilogram. "Alba merupakan orang utan yang tergolong liar, jadi kamitidak perlu melakukan treatment khusus seperti yang lain," ujar Deni Setiawan, program manager di fasilitas milik Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) itu.

Alba, yang dalam bahasa Latin berarti putih, diselamatkan dari rumah warga Desa Tenggirang, Kecamatan Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas, 29 April lalu. Orang utan betina itu ditangkap saat berjalan sendirian di permukiman penduduk. Kondisinya amat lemah, penglihatannya kurang awas, mengalami dehidrasi, dan bobotnya cuma 8 kilogram. Orang utan berumur lima tahun itu diduga terpisah dari induknya.

Menurut Nico Hermanu, juru bicara BOSF, Alba tak kesulitan hidup mandiri di hutan jika kelak dilepasliarkan kembali. "Dari sisi perilaku, Alba sudah cukup liar. Sejak awal ia tidak bergantung pada babysitter," ujarnya.

Di Nyaru Menteng, Alba selalu suka bergerak di ketinggian, baik di dinding atas kompleks maupun pepohonan. Nico mengatakan Alba secara konsisten menunjukkan tidak ingin diganggu manusia.

Dengan alasan agar tak diburu manusia juga BOSF berencana membuatkan pulau hutan untuk Alba. Dana yang dibutuhkan mencapai US$ 80 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar. Dana tersebut akan digunakan membeli lahan seluas 10 hektare, membangun empat panggung pemberian makan, menggali kanal selebar 7 meter sebagai pembatas alam, membeli perahu untuk memonitor pulau, membuat fasilitas kamp bagi petugas lapangan, serta membeli makanan dan obat-obatan Alba selama setahun.

BOSF kini gencar menggalang donasi untuk Alba. Salah satu metode penggalangan donasi adalah ikut dalam kegiatan Giving Day for Apes pada 17 Oktober 2017. Sampai Rabu malam pekan lalu, donasi untuk Alba dan orang utan lain yang dipelihara BOSF mencapai US$ 5.010 atau sekitar Rp 67,7 juta.

Nico menyebutkan BOSF belum menemukan lokasi pulau hutan itu. Saat ini yayasan itu memiliki beberapa pulau yang menjadi tempat pra-pelepasliaran orang utan. Salah satunya Pulau Salat Nusa di Sungai Kahayan, dekat Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sekitar dua jam perjalanan dari Nyaru Menteng.

Deni Setiawan mengatakan pulau seluas 2.089 hektare itu disodet menjadi beberapa pulau buatan, yakni Pulau Barasak, Badak Kecil, dan Badak Besar. "Di pulau itu hutannya masih perawan dan jauh dari permukiman," tuturnya.

Mengapa disebut pulau hutan? "Sebenarnya ini lahan yang dibuat menyerupai pulau dengan kanal sebagai pembatas," Nico menjelaskan. Pulau ini harus memiliki keanekaragaman tumbuhan dan lingkungan yang menyerupai habitat alamiah orang utan. Yang terpenting, menurut Nico, pulau harus memiliki banyak teduhan karena Alba tak memiliki daya tahan yang baik terhadap sinar matahari.

Untuk kasus albinisme seperti Alba, menjaga dari paparan sinar matahari adalah hal terpenting. Menurut Fransiska Sulistyo, Koordinator Keselamatan Satwa BOSF, kelainan warna kulit dan rambut membuat Alba lebih rentan terhadap sinar matahari karena ia tak mempunyai pigmen melanin. Pigmen ini bertanggung jawab atas warna kulit, rambut, dan mata, serta melindungi kulit dari sinar ultraviolet. "Akibatnya, individu albino lebih rentan terkena kanker kulit karena tidak ada perlindungan atas paparan ultraviolet matahari," ujar Fransiska, yang juga dokter hewan.

Fransiska mengatakan individu albino juga sering kali mengalami hipersensitivitas terhadap cahaya, kelemahan penglihatan secara umum, nystagmus (gerakan bola mata tak terkontrol), dan kelainan struktur saraf mata. "Saat ini kami hanya mengetahui bahwa Alba memang sensitif terhadap cahaya terang, tapi dia mampu memanjat pohon dan bernavigasi dengan baik."

Ia meyakini Alba bukan spesies baru, melainkan spesies orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang mengalami kelainan genetika. Menurut dia, albinisme dapat terjadi karena individu memiliki gen albino, juga bisa karena mutasi genetik pada individu yang tidak memiliki gen albino. Fransiska tidak dapat memastikan Alba termasuk yang mana.

Nico mengatakan BOSF berniat meneliti genetika Alba. Yayasan sedang menjajaki beberapa lembaga penelitian untuk membantu penelitian, di bawah arahan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu institusi yang memiliki kompetensi meneliti genetika adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Sejauh ini, Alba satu-satunya orang utan albino di dunia. Untuk primata lain, menurut Fransiska, di Indonesia hanya ada satu informasi dari komunikasi pribadi mengenai siamang albino. Sedangkan di dunia, ujar dia, cukup banyak primata albinisme yang dilaporkan, di antaranya gorila snowflake di Spanyol (mati pada 10 April 2003), monyet rhesus di India, spider monkey di Honduras, black mangabeys di Kongo, dan monyet capuchin di Brasil.

Di pusat rehabilitasi Nyaru Menteng, Alba memang mendapat perlakuan khusus karena kondisi albinismenya diawasi 24 jam oleh dua teknisi senior dan seorang dokter hewan. Alba juga diajari bersosialisasi dengan tiga orang utan sebayanya. "Setelah beradaptasi beberapa hari, mereka bisa berinteraksi tanpa menunjukkan agresivitas," ucap Nico.

Kelak, Alba dan tiga temannya itu akan dilepaskan di pulau hutan, rumah baru mereka. Deni menargetkan akhir tahun ini Alba sudah menghuni pulaunya. Pada Alba dan setiap orang utan yang dilepaskan terpasang dua cip, yang pertama berisi data diri dan yang lainnya untuk mengetahui keberadaannya di hutan. "Jadi kami bisa terus memantau orang utan yang dilepasliarkan," ujar Monterado Fridman dari Divisi Humas BOSF Nyaru Menteng.

Dody Hidayat | Karana W.w. (palangka Raya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus