Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bingung Putusan Mahkamah Agung

Seorang pemohon peninjauan kembali mengadu ke sana-sini karena menganggap putusan yang ia terima tak wajar. Amar di situs MA berbeda dengan salinan putusan pengadilan.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua bulan terakhir Rahman Gaffar Sampetoding lebih banyak di Jakarta ketimbang mengurus bisnisnya di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Pria yang menetap di Jakarta ini tengah sibuk mengurusi nasib perkaranya di Mahkamah Agung.

Semua bermula pada awal September lalu. Pengacaranya di Makale, Kabupaten Tana Toraja, memberi kabar tak sedap. Sang pengacara memberi tahu isi salinan putusan peninjauan kembali perkara sengketa tanah Rahman yang baru diterimanya dari Pengadilan Negeri Makale.

Menurut salinan putusan itu, majelis hakim yang diketuai Takdir Rahmadi memutuskan menolak semua gugatan Rahman. Pria beranak tiga ini pun kaget bukan kepalang. Ini karena sebelas bulan lalu, menurut laman informasi perkara di situs MA, amar putusan peninjauan perkaranya tertulis "Kabul".

Rahman Gaffar segera berkonsultasi dengan kerabatnya yang berprofesi sebagai hakim. Dia seakan-akan mendapatkan afirmasi dari orang ini. "Putusan ini omong kosong," tutur Rahman menirukan kerabatnya itu, Selasa pekan lalu. Rahman kemudian disarankan bersurat ke Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Sunarto.

Rahman datang sendiri ke gedung Mahkamah Agung dan menyerahkan surat ke Ketua Kamar Pengawasan pada 27 September lalu. Ia menduga ada yang tidak beres dengan perbedaan putusan di situs MA dengan salinan yang diterima pengadilan. Sehari setelahnya, dia pergi ke Komisi Yudisial untuk menyampaikan pengaduan yang sama.

Permohonan peninjauan kembali yang diajukan Rahman menyangkut soal tanah yang ia klaim sebagai tanah adat. Menurut dia, tanah itu seharusnya menjadi hak keluarganya sebagai keturunan salah satu pemangku adat di Kabupaten Toraja Utara- sebelum 2008 masih bergabung dengan Kabupaten Tana Toraja.

Tanah itu berada di Jalan Landorundun, Rantepao, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Semula tanah seluas 1,3 hektare ini, menurut Rahman, dipinjamkan Jacob Sampetoding, ayahnya, kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membangun pasar pada 1935. Sebagai imbalan, Jacob berhak memungut 15 persen dari seluruh hasil pajak di pasar itu. Salah satu penanda bahwa tanah itu milik Jacob adalah adanya tongkonan--rumah tradisional Toraja- yang dibangun kakek Jacob pada 1880.

Pasar itu makin lama makin ramai sehingga Jacob terpaksa memindahkan tongkonannya. Hampir bersamaan dengan itu, pemerintah Belanda mencabut haknya memungut pajak. Saat kekuasaan berganti, tanah itu tetap dimanfaatkan sebagai pasar di bawah pengelolaan pemerintah Republik Indonesia. Keluarga Sampetoding tak menuntut karena mereka berpikir pasar itu nantinya akan dipindahkan dan tanah tersebut bakal kembali menjadi milik mereka. Yang terjadi tak sesuai dengan harapan Rahman sekeluarga.

Saat pasar dipindahkan, alih-alih mengembalikan tanah itu, Rahman mengatakan, pemerintah kabupaten malah membangun pertokoan dan memberikan hak pakai atau hak guna bangunan kepada yang berinvestasi di situ. Mereka juga membangun art center- pasar seni dan panggung kesenian- serta beberapa kantor pemerintahan.

Pada 2012, Rahman sempat meminta bupati yang saat itu menjabat, Frederik Batti Sorring, menyerahkan hak pengelolaan seluruh tanah art center kepada keluarga Sampetoding. Tapi, kata Rahman, Frederik bergeming sehingga ia memutuskan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Makale, Kabupaten Tana Toraja, pada 9 Januari 2012. Ketika ditanyai soal ini, Frederik menjawab lupa apakah keluarga Rahman pernah menanyakan hal ini kepadanya.

Rahman menuntut Bupati Frederik mengembalikan tanah kepada keluarga Sampetoding dan membayar kerugian materiil berupa pengganti potensi penghasilan dengan total lebih dari Rp 27 miliar. Mereka juga menuntut pemerintah daerah membayar kerugian imateriil akibat tak mampu memanfaatkan tanah untuk berusaha sebesar Rp 100 miliar. Tuntutan lain: keturunan Sampetoding dinyatakan sebagai ahli waris yang sah sehingga berhak mewarisi tanah itu.

Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Toraja Utara periode Frederik, Rosalin, mengatakan art center yang diklaim milik keluarga Rahman Gaffar Sampetoding sudah bersertifikat atas nama pemerintah kabupaten, sekalipun ia tak tahu asal mula sertifikat itu. "Jadi tanah itu aset Pemerintah Kabupaten Toraja Utara," ujarnya.

Dengan bukti sertifikat yang diajukan saat persidangan, hakim memenangkan Bupati Frederik. Tak puas, Rahman mengajukan permohonan banding. Namun Pengadilan Tinggi Makassar pada 2013 malah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Makale. Rahman tak menyerah. Ia kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Di Mahkamah Agung, gugatan Rahman Gaffar Sampetoding justru dinyatakan cacat formil sehingga tidak bisa diproses atau niet ontvankelijke verklaard (NO). Rahman terus berjuang dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Dia mengajukan bukti baru berupa surat pernyataan masyarakat adat di Toraja Utara bahwa tanah itu merupakan tanah adat.

Alangkah sumringahnya Rahman pada Oktober 2016 ketika melihat amar putusan peninjauan kembalinya di situs Mahkamah Agung tertulis "Kabul". Namun, sebelas bulan kemudian, kabar tak sedap melalui telepon itu datang sehingga Rahman mengadu ke sana-sini, termasuk ke Komisi Yudisial.

Komisioner Komisi Yudisial Farid Wadji membenarkan bahwa pihaknya telah menerima pengaduan Rahman. Pengaduan tersebut telah diregister pada awal bulan ini dengan nomor 1078/X/2017/S. "Sedang kami verifikasi," katanya. Adapun pengaduan Rahman ke Ketua Kamar Pengawasan MA belum mendapat tanggapan.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah tak bisa mengomentari putusan peninjauan kembali tersebut. Sebab, sebagai hakim, ia juga terikat kode etik untuk tak membahas putusan hakim lain. Selain itu, ia tak bisa memberi pendapat apakah informasi di situs Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa peninjauan kembali dikabulkan konsisten dengan salinan putusan yang diterima Rahman.

Dari pengecekan Tempo, amar putusan peninjauan kembali Rahman di situs Mahkamah Agung memang tertulis "Kabul". Bersama Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah, Tempo juga mengecek putusan lengkap perkara Rahman di situs lembaga peradilan tertinggi itu. Tapi ternyata dokumen itu belum diunggah ke situs tersebut.

Juru bicara Pengadilan Negeri Makale, Wempy W.J. Duka, mengatakan permohonan Rahman dikabulkan hanya sebagian, yaitu soal keberatan atas eksepsi bupati. Eksepsi bupati menyatakan gugatan Rahman cacat formil lantaran tak memasukkan pemerintah kabupaten sebagai pihak yang juga digugat. Ini yang dikoreksi. "Sementara itu, soal pokok perkara, semua merujuk pada putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi," ujarnya.

Mendengar pendapat ini, Rahman tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung tak wajar. "Kalau memang hanya dikabulkan sebagian, seharusnya ditulis sebagian di informasi perkara," katanya. Dari sejumlah perkara di situs MA, amar putusan memang terbagi dalam beberapa kategori. Ada yang tertulis kabul, kabul sebagian, tolak, dan NO.

Gadi Makitan (jakarta), Didit Haryadi (rantepao, Makale)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus