TUKIMIN yang sudah 44 tahun menjadi Kepala Desa Keniten, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, gusar. Ia mendapat pesangon pensiun hanya Rp 500.000. Padahal, gajinya, dari hasil tanah bengkok, biasanya mencapai jutaan setiap panen. Tak puas dengan pesangon itu, bersama tujuh kepala desa lain, Tukimin menggugat Bupati Ngawi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Persidangan perkara mereka, kini, masih berlangsung di PTUN Surabaya. Gugatan itu bermula dari pem~berhentian 142 kepala desa di Kabupaten Ngawi, awal Juni lalu. Ini realisasi UU Nomor 5 tahun 1979 -- para kepala desa yang sudah menjabat lebih dari delapan tahun diharuskan meletakkan ja~batan. Namun, persoalannya bukan pemberhentian itu. "Kami hanya ingin memperoleh hak pensiun kami," kata Guninto, penggugat, bekas Kepala Desa Sidorejo. Guninto menunjuk Pera~turan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 tahun 1982. Dalam Pasal 10, antara lain disebutkan bahwa kepala desa dengan masa kerja mi~nimal tu~juh tahun mendapatkan penghargaan pensiun sebesar dua kali jumlah penghasilan terakhir. Ternyata timbul penafsiran yang berbeda pada soal penghasilan terakhir itu. Para kepala desa menafsirkan penghasilan terakhir sebagai hasil uang sewa tanah bengkok selama dua musim. Dalam surat keputusan (SK) pe~ngangkatan mereka, dengan tegas di~sebut bahwa gajinya adalah hasil tanah bengkok. Dalam gugatan disebutkan bahwa uang sewa satu musim Rp 1.584.000. Patokan harga sewa tanaman tebu mengikuti SK Gubernur Jawa Timur tahun 1986. Dari sini mereka menuntut pesangon dua kali harga sewa per hektare itu. Luas tanah bengkok mereka bervariasi. Guninto, misalnya, mendapat tanah ga~rapan 5,2 ha. Sementara itu, M. Kasim dari Desa Baderan 7 ha. Dengan hitungan ini Guninto berharap mendapat Rp 16,4 juta. Penafsiran Pemda lain lagi. Menurut Kepala Bagian Hukum Kabupaten Ngawi, Winarto, para kepala desa menafsirkan UU secara sepotong-potong. Setelah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 1982 terbit, turun peraturan daerah (perda) pada 1987 yang mengatur kedudukan kepala desa dan keuangannya. Dalam Perda itu dijelaskan gaji kepala desa Rp 60.000 per bulan, jika ditambah tunjangan menjadi Rp 230.000 per bulan. Menurut Bupati Sudarno, dalam Permendagri yang dijadikan dasar gugatan, tegas disebut gaji kepala desa diambilkan dari anggaran penerimaan dan pe~ngeluaran keuangan desa. Menurut Sudarno, pera~turan ini sudah mulai berlaku sejak Juni 1982. Sudarno menjelaskan bahwa pengha~silan desa diperoleh dari hasil pelelangan hak garap tanah bengkok. "Tanah bengkok itu milik desa, bukan milik kepala desa. Hasil lelangnya untuk membiayai kepala desa, perangkat lainnya, dan pembangunan desa," kata Sudarno. Perda tahun 1987, yang mulai berlaku sejak 1988, itu dibuat justru untuk menen~tukan status tanah bengkok. Sebelumnya, tanah bengkok sering dianggap milik kepala desa dan aparatnya. Sering kepen~tingan desa menjadi terabaikan. Terang-terangan Sudarno menunjuk contoh bekas bawahannya, Tukimin, yang kini menggugatnya. "Tanah bengkok itu dianggapnya milik sendiri. Masa, sudah 44 tahun jadi kepala desa kok tak bisa membangun kantor desa. Itu kan nggak bener," ujar Sudarno. Namun, peraturan yang disebut Sudarno belum diterapkan menyeluruh. Menurut Guninto, di lingkungannya hanya satu desa yang telah menerapkan Perda tahun 1987 itu. Hasil tanah bengkok disimpan di BRI, setiap bulan diambil untuk menggaji pamong desa. Tapi, di sebagian besar desa, para pamong masih menguasai tanah bengkok. G.Sugrahetty Dyan K. dan Zed Abidin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini