Irma Yunita, 9 tahun, tewas karena kelalaian yang tak masuk akal sehat. Sabtu, dua pekan lalu, ia terperosok ke lubang di perempatan Jalan Ir. Juanda, Medan. Ada lubang di trotoar. Entah mengapa tak ditutup, dan luput dari perhatian karena genangan air hujan. Medan gempar. Mayat Irma baru ditemukan esok siangnya di Sungai Deli. Artinya, Irma hanyut dari lubang tadi, menelusuri riol tertutup sepanjang 800 meter, ke pipa induk pembuangan di muara Deli. Ayah Irma, Bachtiar, 42 tahun, mengadukan kasus itu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Ia bertekad menggugat Pemerintah Daerah (Pemda) Medan. "Agar jadi pelajaran bagi mereka," katanya. LBH kini sedang menyiapkan gugatan Rp 1 milyar. Kisah ini terjadi ketika Irma bersama dua abangnya, Arizal, 13 tahun, dan Safrizal, 11 tahun, lewat magrib, berjalan menuju rumah nenek mereka. Di persim~pangan naas itu, tiba-tiba Irma, yang berlari-lari kecil, raib. Dalam gelap, Arizal mencoba memegang tangan adiknya yang menggapai-gapai dari bawah genangan air di atas trotoar. Ia sempat menggenggam gapaian tangan itu,tapi tarikan air lebih kuat, dan Irma hilang ditelan riol sedalam satu meter itu. "Sua~ranya seperti air terjun," kata Arizal. Abang adik itu terpaku sejenak, lalu lari bergegas ke rumah. Bachtiar terpontang-panting bersama tetangganya ke sana. Beberapa pemuda terjun ke dalam riol. Dengan senter mereka masuk ke pipa induk drainase berdiameter 2,4 meter itu, merenangi lumpur sepinggang selama satu jam. Hasilnya sia-sia. Tim SAR datang belakangan. Namun, baru beberapa menit mereka turun, sudah naik. Mereka berkilah udara di dalam sangat pengap. Maka, tak ada jalan lain, menunggu di muara. Esoknya pukul sebelas, seorang pemuda yang berjaga semalaman, melihat sosok anak kecil terapung perlahan menuju su~ngai. Itulah Irma, berkaus lurik warna-warni, dan rok katun putih. Segera setelah itu, media massa menyerang Pemda dan Dinas PU, yang sejak tahun 1982 membangun Medan untuk menjadi kota metropolitan. Rencananya meliputi perba~ikan drainase, kampung, dan kota. Dananya US$ 170 juta. Sumbernya dari anggaran pembangunan dan kredit Asian Develoment Bank. Nah, pipa induk ke Sungai Deli itu memang sedang dibangun. Pimpinan proyek, Ir Bambang Goeritno, mengelak. Musibah itu, katanya, terjadi bukan karena pipa induk yang sedang diba~ngun, tapi saluran penampung airhujan di tepi jalan. Pejabat Hubungan Masyarakat Pemda Medan, Gong Matua Siregar, masih juga berkilah. "Medan kan luas," kata Gong. Karena itu, Pemda terpaksa pilih-pilih memelihara trotoar. Gong menganggap tempat jatuhnya Irma sepi daripejalan kaki. Padahal, ada sebuah halte bus tak jauh dari situ. Pemda menawarkan uang duka sebesar Rp 3 juta melalui Lurah setempat. Bachtiar, tukang jahit berpendapatan Rp 7.000 sehari itu, menolak. Kisah serupa pernah terjadi pada tahun 1985 lalu. Waktu itu, Galung Hutabarat, kini 74 tahun, bersama cucunya terperosok ke lubang yang juga digenangi air. Karena luka-luka, Galung melalui LBH Medan, menggugat Pemda agar membayar ganti rugi sebesar Rp 70.815. Mahkamah Agung, Februari tahun lalu, mengukuhkan putusan penga~dilan yang mengabulkan gugatan itu. Tunggukorban ketiga? Bersihar Lubis & Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini