Markas Yon Zipur Ujungberung seakan-akan pindah ke Mahkamah Militer Bandung. Tiga orang berpangkat kopral dua, 15 prajurit satu, dan 3 prajurit dua dari kesatuan Yon Zipur, duduk di kursi terdakwa. Mereka diadili karena mengeroyok tiga polisi muda yang sedang bertugas. Seorang di antaranya meninggal. Senin pekan lalu, tiga dari mereka, Pra~tu. Azhari, 28 tahun, Pratu. Sudio Sukemi, 28 tahun, dan Prada. Mohamad Umar, 25 tahun, divonis tiga tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Letnan Kolonel C.H.K. Cok Raka Pemayun. Ketiganya dipecat dari ABRI. Karena, "Mereka merusak citra ABRI," kata Cok Raka. Majelis juga menghukum 12 terdakwa lainnya, antara 1 dan 3 tahun pen~jara. Tapi, enam lainnya dibebaskan. Persoalan di balik perkara itu memang urusan peka: masalah piring nasi. Soal "tukang ojek" (menjual jasa mengantar de~ngan motor) pekerjaan sambilan beberapa prajurit Asrama Yon Zipur Ujungberung untuk menambah penghasilan. Pada 25 september 1991, seperti biasa, Pratu Iskandar "mencari makan" dengan motor ojeknya. Ia melintas kencang dari arah Pasar Terminal Ujungberung. Waktu itu, di jalur ojeknya, serombongan siswa polisi kebetulan sedang latihan jasmani. Maka, beberapa orang provost, yang juga pelatih siswa polisi itu, mencegat Iskandar, yang sedang membawa penumpang. Iskandar berhenti. Dan terjadilah pertengkaran mulut soal ngebut. Tiba-tiba, "plak," tangan seorang provost mendarat di kepala Iskandar, yang tak mengenakan helm. Pertikaian bisa dihindari setelah para polisi mengetahui identitas Iskandar. Muncul pula upaya mencegah pertengkaran itu berbuntut panjang. Esoknya, wakil kedua kesatuan menutup perselisihan dengan perdamaian tertulis. Namun, rekan-rekan Iskandar di asrama tetap tak bisa menerima perlakuan para polisi. Entah mengapa, mereka sepakat menyerbu pos polisi di dekat Pasar Terminal Ujungberung. Ketika itu, Sersan Dua (Serda.) Polisi Y.F. Ruhiyar Sudrajat, 21 tahun, sedang bertugas melancarkan kemacetan lalu lintas. Ia langsung menjadi sa~saran amukan pu~luhan tentara berpakaian preman. Ruhiyar, bujangan yang baru tiga bulan menjadi polisi, roboh bersimbah darah. Sedikitnya terdapat 17 bekas tu~sukan sangkur, gunting, dan logam tajam lainnya di tubuh bintara muda itu. Dua rekan Ruhiyar, Serda. Taufik Hidayat dan Serda. Hatma, mencoba menolong Ruhiyar. Tapi, mereka pun tersungkur dilanda serangan itu. Amukan itu baru berhenti setelah puluhan polisi dari markas polisi Bandung Timur berdatangan. Namun, tak seorang pun dari para penyerang bisa ditangkap. Semua pengeroyok tadi kabur berpencaran, masuk kembali ke asrama. Taufik dan Hatma, yang luka parah, dilarikan ke rumah sakit. Ruhiyar meninggal di tempat. Polisi Militer mengusut kejadian ini dan menciduk 21 anggota Yon Zipur yang diduga melakukan pengeroyokan. Ternyata tak semuanya dianggap bersalah. Enam dari mereka dibebaskan karena dianggap tidak ikut melakukan pengeroyokan. Enam lagi masih bertugas. "Setelah bertugas di Timor Timur, mereka akan kami hadapkan ke Mahkamah," kata Oditur Militer Mayor C.H.K. Achmad Hasyim Achmad. Setelah keputusan dijatuhkan, suasana tegang meliputi ruang sidang Mahkamah. Para terdakwa dikawal ketat dan tak diperkenankan berbicara dengan siapa pun. Mereka tampak kuyu -- konon, mereka me~nyatakan banding. Dan itulah dilema prajurit. Ketika perilaku tempur yang dibawa dari medan peperangan belum lagi surut, mereka sudah harus menghadapi persoalan sehari-hari. Di Ujungberung mereka menghadapi ke~miskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini