Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dunia yang beragam perlu ambiguitas.
Paranoia melihat perbedaan.
Pemikir Iran dan Mesir menekankan ambiguitas bahkan dalam membaca teks Kitab Suci.
DUNIA penuh ambiguitas meskipun mungkin Taliban dan Pentagon tak mau tahu. Dunia selalu punya dua sisi yang berbarengan yang tak niscaya saling meniadakan untuk selama-lamanya. Sejarah menunjukkan hidup menyimpan kekayaan itu—kekayaan yang membawa kebingungan tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah di tahun 1976, Nina Hagen, seorang penyanyi punk Jerman, dengan biji mata dikepung hitam dan rambut berbentuk kapal bugis, membawakan lagu ini:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ich glotz’ von Ost nach West, 2, 5, 4
Ich kann mich gar nicht entscheiden,
Ist alles so schön bunt hier!
Ich glotz’ TV
Aku lihat dari Timur ke Barat, 2, 5, 4
Aku tak bisa memutuskan
Semua menawan, warna-warni
Aku lihat di Televisi
Thomas Bauer (yang tak dikenal sebagai pengamat punk) mengutip lagu itu ketika penelaah dunia Arab dan Islam dari Universitas Münster ini menulis tentang ambiguitas dalam kebudayaan sekarang. Judulnya panjang dan muram: Die Vereindeutigung der Welt. Über den Verlust an Mehrdeutigkeit und Vielfalt—“Penyeragaman Dunia. Tentang Susutnya Ambiguitas dan Kebhinekaan”.
Bauer melihat ambiguitas—orang lain akan menyebutnya “kemajemukan”—sedang pelan-pelan terdesak. Peradaban berubah. Dalam masyarakat kapitalis, dalam tatanan hidup di mana sains, teknologi tinggi, dan administrasi membentuk hidup manusia, ambiguitas tak punya tempat. Yang diutamakan pemikiran dan konsep yang persis, pasti, jelas. Ambiguitas, di mana keadaan “ya” dan “tidak” hadir berbarengan, dianggap kekacauan.
Sementara itu, dengan menghambur dan riuh-rendahnya hal-hal baru—berkat inovasi ataupun interaksi dunia—orang pun bingung. “Aku tak bisa memutuskan”, kata Nina Hagen. “Semua indah dan berwarna-warni, Ist alles so schön bunt hier!”
Tapi dunia modern menuntut segala sesuatu efisien dan efektif, tegas dan tajam, bukan bengong dan bimbang. Dampaknya ke mana-mana. Ajaran ethis jadi doktrin yang tegar, pertentangan politik jadi pertentangan ideologi yang mutlak seperti di Timur Tengah dan Afganistan.
Imbasnya ke kehidupan beragama juga tampak ketika kaum “fundamentalis”, yang ingin meniadakan kemungkinan tafsir yang berbeda-beda dalam membaca Kitab Suci, mengadopsi dorongan modern itu. Mereka lebih mengutamakan teks sebagai dokumen hukum: tertulis, konsisten, pasti, dan membentuk kesatuan pengertian.
Bauer, dalam bukunya yang lebih terkenal, versi Inggrisnya A Culture of Ambiguity (terbit Juni 2021), mencatat terdesaknya tradisi lisan oleh pembakuan penulisan. Dalam arti tertentu ini mereduksi variasi pembacaan Quran dalam qirā ah. “Teks yang disebut sebagai yang dibawakan para pembaca Quran masa awal tak identik satu dengan yang lain,” tulis Bauer. Meskipun umumnya itu perbedaan prosodi, tapi “cukup berarti jumlah pembacaan yang tak seragam (variant readings) dalam melafalkan huruf vokal dan konsonan”.
Tapi kini ada sejenis paranoia yang mewabah dalam melihat perbedaan dan ambiguitas. Penyeragaman pun diutamakan. Sejalan dengan itu, para penelaah modern di dunia Islam maupun di Barat sangat mengandalkan perdebatan dan penalaran para theolog dalam ilmu kalām, meskipun, menurut Bauer, dalam renungan tentang Tuhan dan Rasul-Nya, semula ilmu kalām tak seberwibawa ungkapan para pakar qirā āt. Pada saat yang sama, “Kebanyakan pengarang yang menulis konsep Islam tentang Quran tak menyadari bahwa karya tentang ilm al- qirā āt telah mengembangkan sebuah ontologi yang jelas berbeda dari ontologi para theolog.”
Ambiguitas disisihkan. Akhirnya agama hanya jadi bangunan theori yang baku dan hukum-hukum. Dengan kata lain, agama kian jauh dari pengalaman religius. Di tahun 1968 saya pernah memberanikan diri menulis agar kita tak memperlakukan Kitab Suci sebagai semacam KUHP. Bagi saya, Tuhan terdengar dalam puisi. Puisi, dengan perlambang-perlambangnya, dengan nada dan iramanya, dengan seluruh semangatnya, tidaklah mendikte. Puisi adalah pembicaraan ke dalam hati, yang mengimplikasikan pengakuan orang kedua sebagai person, dengan segala kemungkinannya menafsir ambiguitas.
Waktu itu saya agak gentar. Tahun 1968 bukan tahun yang mudah bicara bebas, apalagi dalam soal agama. Itu tahun ketika cerita pendek “Langit Makin Mendung” di majalah Sastra dikeroyok ramai-ramai. Sekian tahun kemudian saya senang menemukan kata-kata Navid Kermani, cendekiawan muslim Jerman, dalam Zwischen Koran und Kafka: West-östliche Erkundungen (2014) yang menyebut bahwa pemikir Iran, Abdolkarim Soroush, dan pemikir Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, menekankan ambiguitas dalam teks Kitab Suci.
Kermani melihat yang indah dalam Quran, sebagaimana ia merasakan yang indah dalam karya Kafka. Dan siapa yang membaca cerita-cerita Kafka akan ingat: dalam misteri yang tak kunjung jelas di sana, ada ruang rahasia di mana tafsir yang tak terduga-duga disambut.
“Apa saja yang penting, bernilai, berarti, selalu ambigu—cinta dan kematian, Tuhan dan derita, benar dan salah, masa lalu dan masa depan”. Saya suka Bauer mengutip kata-kata John D. Caputo dalam In Praise of Ambiguity itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo