Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah membuat program Gerilya untuk menyediakan energi baru dan terbarukan.
Dari segi semantik penamaannya sesuai makna mencegah krisis iklim.
Bagaimana mengeksekusinya?
ENERGI baru dan terbarukan (EBT) bisa dikatakan sebagai frasa ampuh untuk membangun kedaulatan dan kemandirian energi di tengah krisis iklim dan lingkungan. Isu ini makin prominen di Indonesia tatkala lewat cuitan di Twitter Coldplay—grup musik ternama asal Inggris—mengajak Presiden Joko Widodo bergabung dalam Ban Ki-moon Centre untuk berkomitmen menjalankan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) dalam #GlobalCitizen Live.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ajakan berkoalisi untuk mengadvokasi krisis iklim dari Coldplay selayaknya menjadi catatan merah bagi pemerintah. Apalagi pemerintah telah mengusung target EBT sebesar 23 persen pada 2025. Saat ini bauran EBT baru 13,55 persen. Pemerintah punya program Gerilya—akronim dari Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya—untuk mencapainya. Gerilya adalah kolaborasi pemerintah dengan akademikus, praktisi, hingga badan usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan ini menyasar generasi milenial kampus dan dimasukkan ke program Belajar Merdeka Kampus Merdeka milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Targetnya mencetak aktivis energi bersih melalui pemakaian energi surya. Kampanye ini setidaknya memuat dua hal penting: transisi energi bersih melalui EBT dan kontribusi generasi muda sebagai sejawat pemerintah.
Preferensi akronim “Gerilya” agaknya menjadi siasat bahasa pemerintah dalam mencekal isu sosial-politik. Identitas baru ini menjadi pakem menggerus krisis iklim dan lingkungan makin dalam. Aktivitas ini memangkas lamunan akan ketakutan memenuhi keterikatan pada Kesepakatan Paris 2015, kesepakatan yang menuntut Indonesia menahan kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat Celsius. Pemilihan kata “Gerilya” bisa menangkap pesan optimisme target bauran EBT.
Dalam konteks sejarah, kata “gerilya” melekat kuat pada taktik perlawanan. Jenderal Abdul Haris Nasution, penulis buku Pokok-Pokok Gerilya (1953), mengulas strategi perang keluar dari penindasan kolonialis. Konon, pengalaman atas kejeniusan taktik ini menjadi acuan pendidikan militer dunia. Nasution cerdik mengombinasikan pengalaman dan teori.
Kisah serupa diungkapkan oleh Mr Susanto Tirtoprojo, Menteri Kehakiman di Kabinet Hatta I, dalam Nayaka Lelana: Menteri Bergerilya (1984). Buku bersarat tembang Jawa ini mengisahkan liku-liku pelarian Susanto menghindari serangan agresi militer Belanda kedua. Pelariannya dari Tawangmangu menuju Gunung Wilis sampai ke Gunung Lawu menjadi catatan sahih perjuangan kemanusiaan.
Keterikatan fakta sejarah menempel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Gerilya” diposisikan sebagai kata benda dan secara harfiah diartikan sebagai cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba). Secara leksikal, pedoman kebahasaan mengartikulasikan “gerilya” sebagai perang kecil-kecilan dan tidak terbuka.
Mengusung imaji tersebut, pemerintah agaknya mencoba mengadopsi semangat perang dengan menyelaraskan kebijakan terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan capaian target bauran EBT.
Hal penting lain berupa ekspresi kebahasaan. Pembangkit listrik tenaga surya atap—sebagai bagian dari kata “Surya” pada Gerilya—sebagai sasaran output dianggap punya nilai ekonomis. Riset Institute for Essential Services Reform menyebutkan rooftop solar memiliki kekuatan mewujudkan demokrasi energi. Artinya, produksi energi tak lagi dimonopoli oleh Perusahaan Listrik Negara. Masyarakat punya hak memproduksi, mendapatkan, dan menggunakan sumber energi pilihan sendiri, sejalan dengan tren global dalam menjual energi bersih.
Ekspresi kebahasaan ini mengingatkan pada pesan David Crystal dalam The Cambridge Encyclopedia of Language (2010). Dia menulis bagaimana konstruksi sosial, waktu, dan tempat bisa menggeser pemaknaan bahasa, menjadi informasi baru, dan menjelma dalam diskursus. Kekuatan ini bisa diintervensi menjadi sebuah perspektif bahasa baru.
Kendati begitu, terminologi “gerilya” sebagai label kebijakan mesti dipakai hati-hati. Jangan sampai mereduksi makna leksikal simbol perjuangan. Ia layak diapresiasi jika bisa mengakomodasi identitas “anyar” dalam mencegah krisis iklim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo