KISAH "hantu" dari Jurang Gupit diungkapkan kembali. Dengan
berbagai luka di tubuhnya, yang telanjang bulat dan berlumuran
darah, Nyonya Supadmi Sulistyowati mencoba menghentikan beberapa
kendaraan yang kebetulan lewat tengah malam itu di hutan jati.
Satu-dua kendaraan. umumnya truk, melewatinya begitu saja. Sopir
kendaraan umum mana, yang biasa lewat di situ, tak kenal
keangkeran Jurang Gupit di Bojonegoro (Ja-Tim)?
Hampir saja nyonya berusia 32 tahun tersebut melintangkan
badannya di tengah jalan. Untunglah beberapa sopir dan petugas
kehutanan mau juga menghampirinya untuk membuktikan perempuan
telanjang bulat di tempat yang angker itu bukan hantu penunggu
hutan. Setelah beberapa kali jongkok-bangun menuruti permintaan
para penolongnya -- para penolongnya berpendapat mana ada hantu
mau disuruh jongkok-bangun? Nyonya Supadmi mendapat pertolongan.
Ia dibawa ke Puskesmas terdekat. Dari situ, sebelum dirawat
lebih lanjut di RS Bhayangkara Kediri, ia ditolong di RSU Cepu.
Dalam perjalanan itulah nyonya yang malang itu -- takut keburu
mati, katanya kemudian -- meminta para penolong mencatat
kesaksiannya. Ia telah dianiaya secara kejam oleh dua orang
perwira polisi. Nama, pangkat dan jabatan mereka tak lupa
disebutkan secara lengkap: Letkol Suyono dan Kapten Bastari,
masing-masing perwira intel pada Kepolisian Jawa Timur (Kodak
X).
Menggugurkan Kandungan
Mula-mula sulit dipercaya -- masak dua perwira polisi melakukan
kejahatan seperti itu? Tapi, Oditur Militer Letkol Iskandar
Zulkarnain Bais memang mengungkapkan cerita yang sama, ketika
membacakan tuduhan di hadapan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
di Surabaya awal bulan ini.
Suyono (52 tahun), Kepala Seksi Intelpam Kodak X, berkenalan
dengan Nyonya Supadmi sekitar tiga tahun lalu. Hubungan mereka,
tuduh oditur, sangat intim "seperti halnya hubungan
suami-istri." Tapi belakangan sering cekcok soal keuangan. Yang
terakhir soal biaya pengobatan setelah Supadmi menggugurkan
kandungan. Suyono, yang tak mau direcoki soal uang
terus-terusan, sudah berusaha melepaskan diri dari wanita itu.
(lihat box).
Berbagai usaha gagal. Usaha "menyadarkan" melalui bawahannya,
Kapten Bastari, juga tak berhasil. Meski Bastari, yang dikenal
di lingkungan kerjanya biasa membawakan doa bila ada upacara
tertentu, telah melakukan pendekatan agama. Akhirnya, tuduh
oditur selanjutnya, kedua perwira tersebut bersepakat
melenyapkan Supadmi.
Mula-mula, 21 Agustus 1980, sekitar pukul 4 sore, Suyono dan
Bastari menjemput Supadmi dari sebuah salon kecantikan di
Tambakrejo. Sekitar dua jam kemudian, dengan sebuah jip dinas
bernomor preman, mereka bertolak ke luar kota. Setahu Supadmi
mereka hendak berpiknik ke Sarangan -- karena begitulah yang
dikatakan dengan mesra oleh Suyono sebelum berangkat.
Bastari memegang kemudi. Supadmi duduk di sebelahnya bersama
Suyono. Di Mojokerto mereka istirahat dan makan. Suyono
mengambil alih kemudi dan Bastari pindah ke belakang. Beberapa
waktu kemudian secara tiba-tiba Bastari memukul Supadmi dari
belakang. Nyonya itu berteriak kesakitan. Suyono, yang diminta
wanita itu agar menolongnya, tak mempedulikannya.
Perlawanan Supadmi lumayan juga. Bastari kerepotan. Kedua belah
tangannya tak mampu mencekik leher korbannya. Usahanya menjerat
leher korbannya dengan seutas tali, menurut oditur, juga tak
berhasil menghentikan perlawanan Supadmi. Akhirnya Bastari
mencabut pistolnya dan menodongkannya ke depan.
Supadmi masih melawan. Dia mencengkeram ujung senjata api
tersebut dengan sebelah tangannya. Tapi, malang, Bastari menarik
picu pistolnya dua kali. Sebuah peluru menembus telapak tangan
dan sebuah lagi mengenai dahi korbannya.
Supadmi tak berdaya lagi. Penganiayanya menyangka ia telah mati.
Itulah sebabnya Bastari mempreteli pakaiannya luar-dalam. Apa
yang dilakukan kedua perwira tersebut kemudian persis seperti
diceritakan Supadmi beberapa waktu lalu.
Mereka meminggirkan kendaraan ke tepi hutan jati. Sebelum
menggelundungkannya ke jurang, untuk memastikan kematian
korbannya, Bastari menyarangkan sebuah pelurunya lagi ke rahang
Supadmi.
Mahmilti berlangsung secara maraton. Majelis Hakim yang dipimpin
Brigjen Karyono Yudho hendak memeriksa tuduhan Oditur Adakah
kedua perwira polisi tersebut sengaja dan telah merencanakan
pembunuhan terhadap Supadmi -- yang hanya karena "hal-hal luar
biasa" sajalah korban terhindar dari kematian.
Suyono sendiri membantah merencanakan dan sengaja membunuh
Supadmi. Hal itu dilakukan semata-mata di luar kesadarannya. Ia
bingung, katanya, Supadmi yang dikatakannya wanita tunasusila
tersebut meminta nafkah Rp 150 ribu setiap bulan. Sedangkan
gajinya sebagai perwira polisi hanya Rp 175 ribu. Untuk menuntut
biaya hidupnya, kata tertuduh lagi Supadmi tak segan-segan
membuka percekcokan di kantor.
Kapten Bastari (49 tahun) tak mungkir. "Tembakan terakhir,"
katanya, "saya lakukan karena saat itu kurang keseimbangan." Ia
menghantam Supadmi dari belakang, mencekiknya, kemudian
menembaknya, katanya karena perempuan itu bertengkar dan
merecoki Suyono yang sedang memegang kemudi.
Sidang masih berlangsung -- lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini