Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Supadmi dari hutan jati

Sidang pengadilan perkara usaha pembunuhan tentang ny. supadmi yang dilakukan oleh dua orang perwira polisi ja-tim, letkol suyono dan kapten bastari. mahmilti tinggal membuktikan motifnya. (krim)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH "hantu" dari Jurang Gupit diungkapkan kembali. Dengan berbagai luka di tubuhnya, yang telanjang bulat dan berlumuran darah, Nyonya Supadmi Sulistyowati mencoba menghentikan beberapa kendaraan yang kebetulan lewat tengah malam itu di hutan jati. Satu-dua kendaraan. umumnya truk, melewatinya begitu saja. Sopir kendaraan umum mana, yang biasa lewat di situ, tak kenal keangkeran Jurang Gupit di Bojonegoro (Ja-Tim)? Hampir saja nyonya berusia 32 tahun tersebut melintangkan badannya di tengah jalan. Untunglah beberapa sopir dan petugas kehutanan mau juga menghampirinya untuk membuktikan perempuan telanjang bulat di tempat yang angker itu bukan hantu penunggu hutan. Setelah beberapa kali jongkok-bangun menuruti permintaan para penolongnya -- para penolongnya berpendapat mana ada hantu mau disuruh jongkok-bangun? Nyonya Supadmi mendapat pertolongan. Ia dibawa ke Puskesmas terdekat. Dari situ, sebelum dirawat lebih lanjut di RS Bhayangkara Kediri, ia ditolong di RSU Cepu. Dalam perjalanan itulah nyonya yang malang itu -- takut keburu mati, katanya kemudian -- meminta para penolong mencatat kesaksiannya. Ia telah dianiaya secara kejam oleh dua orang perwira polisi. Nama, pangkat dan jabatan mereka tak lupa disebutkan secara lengkap: Letkol Suyono dan Kapten Bastari, masing-masing perwira intel pada Kepolisian Jawa Timur (Kodak X). Menggugurkan Kandungan Mula-mula sulit dipercaya -- masak dua perwira polisi melakukan kejahatan seperti itu? Tapi, Oditur Militer Letkol Iskandar Zulkarnain Bais memang mengungkapkan cerita yang sama, ketika membacakan tuduhan di hadapan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) di Surabaya awal bulan ini. Suyono (52 tahun), Kepala Seksi Intelpam Kodak X, berkenalan dengan Nyonya Supadmi sekitar tiga tahun lalu. Hubungan mereka, tuduh oditur, sangat intim "seperti halnya hubungan suami-istri." Tapi belakangan sering cekcok soal keuangan. Yang terakhir soal biaya pengobatan setelah Supadmi menggugurkan kandungan. Suyono, yang tak mau direcoki soal uang terus-terusan, sudah berusaha melepaskan diri dari wanita itu. (lihat box). Berbagai usaha gagal. Usaha "menyadarkan" melalui bawahannya, Kapten Bastari, juga tak berhasil. Meski Bastari, yang dikenal di lingkungan kerjanya biasa membawakan doa bila ada upacara tertentu, telah melakukan pendekatan agama. Akhirnya, tuduh oditur selanjutnya, kedua perwira tersebut bersepakat melenyapkan Supadmi. Mula-mula, 21 Agustus 1980, sekitar pukul 4 sore, Suyono dan Bastari menjemput Supadmi dari sebuah salon kecantikan di Tambakrejo. Sekitar dua jam kemudian, dengan sebuah jip dinas bernomor preman, mereka bertolak ke luar kota. Setahu Supadmi mereka hendak berpiknik ke Sarangan -- karena begitulah yang dikatakan dengan mesra oleh Suyono sebelum berangkat. Bastari memegang kemudi. Supadmi duduk di sebelahnya bersama Suyono. Di Mojokerto mereka istirahat dan makan. Suyono mengambil alih kemudi dan Bastari pindah ke belakang. Beberapa waktu kemudian secara tiba-tiba Bastari memukul Supadmi dari belakang. Nyonya itu berteriak kesakitan. Suyono, yang diminta wanita itu agar menolongnya, tak mempedulikannya. Perlawanan Supadmi lumayan juga. Bastari kerepotan. Kedua belah tangannya tak mampu mencekik leher korbannya. Usahanya menjerat leher korbannya dengan seutas tali, menurut oditur, juga tak berhasil menghentikan perlawanan Supadmi. Akhirnya Bastari mencabut pistolnya dan menodongkannya ke depan. Supadmi masih melawan. Dia mencengkeram ujung senjata api tersebut dengan sebelah tangannya. Tapi, malang, Bastari menarik picu pistolnya dua kali. Sebuah peluru menembus telapak tangan dan sebuah lagi mengenai dahi korbannya. Supadmi tak berdaya lagi. Penganiayanya menyangka ia telah mati. Itulah sebabnya Bastari mempreteli pakaiannya luar-dalam. Apa yang dilakukan kedua perwira tersebut kemudian persis seperti diceritakan Supadmi beberapa waktu lalu. Mereka meminggirkan kendaraan ke tepi hutan jati. Sebelum menggelundungkannya ke jurang, untuk memastikan kematian korbannya, Bastari menyarangkan sebuah pelurunya lagi ke rahang Supadmi. Mahmilti berlangsung secara maraton. Majelis Hakim yang dipimpin Brigjen Karyono Yudho hendak memeriksa tuduhan Oditur Adakah kedua perwira polisi tersebut sengaja dan telah merencanakan pembunuhan terhadap Supadmi -- yang hanya karena "hal-hal luar biasa" sajalah korban terhindar dari kematian. Suyono sendiri membantah merencanakan dan sengaja membunuh Supadmi. Hal itu dilakukan semata-mata di luar kesadarannya. Ia bingung, katanya, Supadmi yang dikatakannya wanita tunasusila tersebut meminta nafkah Rp 150 ribu setiap bulan. Sedangkan gajinya sebagai perwira polisi hanya Rp 175 ribu. Untuk menuntut biaya hidupnya, kata tertuduh lagi Supadmi tak segan-segan membuka percekcokan di kantor. Kapten Bastari (49 tahun) tak mungkir. "Tembakan terakhir," katanya, "saya lakukan karena saat itu kurang keseimbangan." Ia menghantam Supadmi dari belakang, mencekiknya, kemudian menembaknya, katanya karena perempuan itu bertengkar dan merecoki Suyono yang sedang memegang kemudi. Sidang masih berlangsung -- lancar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus